Jumat, 03 Februari 2012

Perayaan Maulid Nabi dan Kontroversi Ma'na Bid’ah

Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah amalan bid'ah adalah peryataan sangat tidak tepat, karena bid'ah adalah sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari dari Al-Qur'an dan as-Sunah. Adapun maulid walaupun suatu yang baru di dalam Islam akan tetapi memiliki landasan dari Al-Qur'an dan as-Sunah.

Pada maulid Nabi di dalamya banyak sekali nilai ketaatan, seperti: sikap syukur, membaca dan mendengarkan bacaan Al-Quran, bersodaqoh, mendengarkan mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu, mendengarkan kembali sejarah dan keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang kesemuanya telah dimaklumi bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama dan ada dalilnya di dalam Al-Qur'an dan as-Sunah.

 

Pengukhususan Waktu

Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid'ah adalah adanya pengkhususan (takhsis) dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena takhsis yang dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan cara meyakini atau menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan dari syar'i sendiri(Dr Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir: hal.27).

Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat.

Pengkhususan waktu maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar'i tersebut, akan tetapi masuk kategori tartib (penertiban).

Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat di sana (HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan: "Bahwa hadis ini disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian hari-hari tertentu dengan amal-amal salihah dan dilakukan terus-menerus".(Fathul Bari 3: hal. 84)

Imam Nawawi juga berkata senada di dalam kitab Syarah Sahih Muslim. Para sahabat Anshor juga menghususkan waktu tertentu untuk berkumpul untuk bersama-sama mengingat nikmat Allah,( yaitu datangnya Nabi SAW) pada hari Jumat atau mereka menyebutnya Yaumul 'Urubah dan direstui Nabi.

Jadi dapat difahami, bahwa pengkhususan dalam jadwal Maulid, Isro' Mi'roj dan yang lainya hanyalah untuk penertiban acara-acara dengan memanfaatkan momen yang sesui, tanpa ada keyakinan apapun, hal ini seperti halnya penertiban atau pengkhususan waktu sekolah, penghususan kelas dan tingkatan sekolah yang kesemuanya tidak pernah dikhususkan oleh syariat, tapi hal ini diperbolehkan untuk ketertiban, dan umumnya tabiat manusia apabila kegiatan tidak terjadwal maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan dan akhirnya dilupakan atau ditinggalkan.

Acara maulid di luar bulan Rabiul Awal sebenarnya telah ada dari dahulu, seperti acara pembacaan kitab Dibagh wal Barjanji atau kitab-kitab yang berisi sholawat-sholawat yang lain yang diadakan satu minggu sekali di desa-desa dan pesantren, hal itu sebenarnya adalah kategori maulid, walaupun di Indonesia masyarakat tidak menyebutnya dengan maulid, dan jika kita berkeliling di negara-negara Islam maka kita akan menemukan bentuk acara dan waktu yang berbeda-beda dalam acara maulid Nabi, karena ekpresi syukur tidak hanya dalam satu waktu tapi harus terus menerus dan dapat berganti-ganti cara, selama ada nilai ketaatan dan tidak dengan jalan maksiat.

Semisal di Yaman, maulid diadakan setiap malam jumat yang berisi bacaan sholawat-sholawat Nabi dan ceramah agama dari para ulama untuk selalu meneladani Nabi. Penjadwalan maulid di bulan Rabiul Awal hanyalah murni budaya manusia, tidak ada kaitanya dengan syariat dan barang siapa yang meyakini bahwa acara maulid tidak boleh diadakan oleh syariat selain bulan Rabiul Awal maka kami sepakat keyakinan ini adalah bid'ah dholalah.

 

Tak Pernah Dilakukan Zaman Nabi dan Sohabat

Di antara orang yang mengatakan maulid adalah bid'ah adalah karena acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Pendapat ini muncul dari orang yang tidak faham bagaimana cara mengeluarkan hukum(istimbat) dari Al-Quran dan as-Sunah. Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat –dalam term ulama usul fiqih disebut at-tark – dan tidak ada keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.

Sebagaimana diketahui pengertian as-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan beliau. Adapun at-tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi atau sohabat mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan hal itu adalah haram atau wajib. Disini akan saya sebutkan alasan-alasan kenapa Nabi meninggalkan sesuatu:

  1. Nabi meniggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk di dalam ayat atau hadis yang maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat: "Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.''(QS Al-Haj: 77). Kebajikan maknanya adalah umum dan Nabi tidak menjelaskan semua secara rinci.
  2. Nabi meninggalkan sesutu karena takut jika hal itu belai lakukan akan dikira umatnya bahwa hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya, seperti Nabi meninggalkan sholat tarawih berjamaah bersama sahabat karena khawatir akan dikira sholat terawih adalah wajib.
  3. Nabi meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan sahabat, seperti apa yang beliau katakan pada siti Aisyah: "Seaindainya bukan karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan Ka'bah dan kemudian saya bangun kembali dengan asas Ibrahim as. Sungguh Quraiys telah membuat bangunan ka'bah menjadi pendek." (HR. Bukhori dan Muslim) Nabi meninggalkan untuk merekontrusi ka'bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah agar tidak terganggu.
  4. Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di dalam hadis: Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan tangannya untuk memakannya, maka ada yang berkata: "itu biawak!", maka Nabi menarik tangannya kembali, dan beliu ditanya: "apakah biawak itu haram? Nabi menjawab: "Tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi kaumku, saya merasa jijik!" (QS. Bukhori dan Muslim) hadis ini menunjukan bahwa apa yang ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya beliu terima hal itu tidak berarti hal itu adalah haram atau dilarang.
  5. Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan yang lebih afdhol. Dan adanya yang lebih utama tidak menunjukan yang diutamai (mafdhul) adalah haram.dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain (untuk lebih luas lih. Syekh Abdullah al Ghomariy. Husnu Tafahum wad Dark limasalatit tark)

Dan Nabi bersabda : "Apa yang dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya maka itu adalah halal, dan apa yang diharamkan adalah haram dan apa yang didiamkan maka itu adalah ampunan maka terimalah dari Allah ampunan-Nya dan Allah tidak pernah melupakan sesuatu, kemudian Nabi membaca : "dan tidaklah Tuhanmu lupa". (HR. Abu Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga bersabda: "Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban maka jangan enkau sia-siakan dan menetapkan batasan-batasan maka jangan kau melewatinya dan mengharamkan sesuatu maka jangan kau melanggarnya, dan dia mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat bagi kamu tanpa melupakannya maka janganlah membahasnya". (HR.Daruqutnhi)

Dan Allah berfirman : "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya." (QS.Al Hasr:7) dan Allah tidak berfirman dan apa yang ditinggalknya maka tinggalkanlah.

Maka dapat disimpulkan bahwa "at-Tark" tidak memberi faidah hukum haram, dan alasan pengharaman maulid dengan alasan karena tidak dilakukan Nabi dan sahabat sama dengan berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil!

Imam Suyuti menjawab peryataan orang yang mengatakan: "Saya tidak tahu bahwa maulid ada asalnya di Kitab dan Sunah" dengan jawaban: "Tidak mengetahui dalil bukan berarti dalil itu tidak ada", peryataannya Imam Suyutiy ini didasarkan karena beliau sendiri dan Ibnu Hajar al-Asqolaniy telah mampu mengeluarkan dalil-dalil maulid dari as-Sunah. (Syekh Ali Jum'ah. Al-Bayanul Qowim, hal.28)

Zarnuzi Ghufron
Ketua LMI-PCINU Yaman dan sekarang sedang belajar di Fakultas Syariah wal Qonun Univ Al-Ahgoff, Hadramaut, Yaman
http://www.nu.or.id/Ubudiyyah/

Rabu, 01 Februari 2012

Muludan, Momen Mensuriteladani Nabi Muhammad Saw.

Mulud atau muludan berasal dari kata maulid yang berarti kelahiran. Kata muludan sangat familier bagi orang-orang Cirebon, namun buat wilayah lain seperti Jakarta mengenalnya dan menyebutnya sebagai Maulid Nabi Muhammad. Terlepas dari pendapat pro dan kontra mengenai peringatan maulid nabi atau muludan saya tidak mau berpolemik tentang hal ini.
Mendengar kata muludan “isun dadi kelingan ning Cirebon, kelingan nig wong tuo, ning sedulur, batur-batur, sekabene, tumplek dadi siji”. Walaupun dahulu saya tidak ngerti sama sekali apa itu muludan, tapi saya bisa merasakan bahagia dan gembira kala muludan di Trusmi itu tiba.
Mari kita suri tauladani sifat-sifat beliau yang mudah tapi susah, yaitu: Sidik [jujur], Amanah [dipercaya], Tabligh [menyampaikan], Fathonah [cerdas]. Mudahnya karena mungkin serdari kecil sudah hafal diluar kepala [mudah dihafal] dan susahnya karena mungkin kita masih berada di sifat-sifat mustahilnya, yaitu Kizib [dusta], Khianat [ingkar], Kitman [menutupi], Baladah [bodoh]. Semoga Allah membimbing kita dapat mesuritauladani sifat-sifat beliau yang sangat mulia itu.
Rasulullah bersifat sidik atau jujur [terang/jelas], murni, lurus. Karenanya Rasulullah itu amanah [dipercaya] atas kesidikannya, kejujurannya [terang/jelas], kemurniannya, kelurusannya. Output-nya [Tabligh] Rasulullah adalah sidik itu sendiri, yang bukan rekayasa, bukan perkiraan dan tidak mengada-ada, bukan angan-angan, tetapi kesaksiannya Beliau disampaikan dengan jujur [terang/jelas], murni lagi lurus. Sidik di tabligh [disampaikan] tetap jadi sidik, tidak ada amanah yang berubah, tidak ada yang ditambah-tambah, tidak ada yang melenceng, karenaya disebut fathonah [cerdas] spiritualnya.
Kesimpulannya: Jika sidik [jujur] maka akan amanah [dipercaya], jika amanah [dipercaya] maka tablignya [penyampainnya] pasti sidik [jujur] dan amanah [dipercaya] kejujurannya [sidiknya], dan jika bertabligh maka tablighnya fathonah [tidak ada yang berubah] yaitu jujur [terang/jelas], murni lagi lurus.
Dengan peringatan muludan, mari kita mengenal Muhammad Rasulullah dengan mensuritauladani ahlak-Nya. Dengan peringatan maulid Nabi Muhammad mari kita sampaikan shalawat dan salam kepada belaiu, sebagaimana Allah dan para malaikatnya menyampaikan shalawat serta salam kepada nabi Muhammad.
Cirebon yang di kenal religius, mempunyai warisan dari para wali yang telah menyalakan nuansa agamis di setiap sendi kehidupan. Sehingga setiap upacara yang di warisi sejak jaman nenek moyang, di usahakan bermakna dan bernilai ibadah baik ibadah ritual maupun ibadah sosial. Beranjak dari hal itu, tak mengherankan jika cirebon sangat kental dengan ritual keagaaman di setiap peristiwa.\
Bulan robiul awal atau bulan maulud adalah salah satu bulan yang mempunyai nilai lebih di bandingkan bulan lainnya. Di bulan mulud lahirlah seorang manusia pilihan, dan rosul utusan Allah SWT, nyakni Nabi Muhammad SAW. Dan Cirebon sebagai tanah wali yang merupakan penerus sang nabi, pasti akan mengagungkan kelahiran nabi junjungan tersebut. Di Keraton kasepuhan dan kanoman, sejak ratusan tahun silam, pada bulan mulud diadakan serangkaian acara ritual memperingati bulan maulud nyakni muludan biasa orang cirebon menyebutnya, sampai hari ini bulan mulud berarti keramaian persisinya di alun-alun kasepuhan dan kanoman. Sayangnya masyarakat sebagian besar hanya tahu malam pelal panjang jimat saja( suatau prosesi benda2 keraton dan makanan khas muludan di arak menuju masjid di depan keraton), padahal acara muludan telah di mulai 41 hari sebelum pelal panjang jimat, tepatnya tanggal 1 bulan safar.

Rabu, 18 Januari 2012

Manaqib Kyai Said Gedongan

Sepenggal kisah tentang Kyai Said (Almaghfurlah KH. Muhammad Said, Pendiri Pondok Pesantren Gedongan, Cirebon) ini bersumber dari tulisan Arief Rizqillah Alq di http://paman-guru.blogspot.com/ Semoga bisa menambah kecintaan kepada ulama dan dapat menambah wawasan kepesantrenan.


Jangan Bermain-main dengan Al-Qur’an

Sekali
waktu Kyai Said diundang khataman (tasyakkur khotmil qur’an) oleh Kyai Abdul Jamil (Ayahanda Kyai Abbas Buntet Pesantren). Tampaknya acara akan berjalan lancar. Sampai di penghujung acara, salah satu santri salah melafalkan Alqur’an dengan benar sesuai kaidahnya. Kontan saja Kyai Said yang sejak awal fokus mendengarkan langsung berdiri dan berteriak, “Jamil (memanggil Kyai Abdul Jamil), bocah aja dikongkon dolanan Qur’an (Jamil, anak-anak jangan disuruh bermain-main dengan Qur’an).” Begitulah Kyai Said yang selalu berhati-hati dalam setiap tindak-tanduknya.


Secarik Kertas Lebih Berat daripada Daging Sapi

Di suatu acara tahlilan, Kyai Said diminta untuk ngimami (memimpin) acara tahlil tersebut. Beliau pun mengimami tahlil tersebut. Tawassul selesai, lalu langsung beralih ke bacaan tahlil (laa ilaaha illallah). Baru tiga kali mengulangi bacaan tahlil, ternyata Kyai Said sudah mengkeraskan bacaannya, menandakan tahlil telah selesai diiringi dengan dilepasnya tasbihnya. Lalu, beliau menengadahkan tangannya, memimpin jama’ah mendoakan jenazah yang baru meninggal.

Ternyata, tahlil singkat yang dipimpin Kyai Said menuai protes dari sang sohibul hajat yang tak lain merupakan salah satu orang kaya di kampung tersebut. Penyebab protesnya sang tuan rumah tak lain dan tak bukan karena sang tuan rumah merasa telah menyiapkan acara semaksimal mungkin, sebegitu wahnya bahkan tuan rumah sampai menyembelih satu ekor sapi yang besar untuk menjamu jama’ah tahlil yang datang.

Memang dasarnya Kyai Said seorang ulama ‘alim, beliau menjawabnya dengan enteng, “lafadz tahlil 3 kali saya lebih berat dari daging sapi yang sampeyan sembelih”, tutur Kyai Said datar. Sudah bisa ditebak respon sang tuan rumah, dia tetap memprotes dan menganggap Kyai Said hanya sedang berdalih membenarkan dirinya. Kyai Said menanggapinya dengan menuliskan lafadz tahlil pada selembar kertas lalu menyuruh beberapa orang untuk mengangkat dan menimbangnya. Selanjutnya, hasil timbangan kertas tersebut dibandingkan dengan bobot daging sapi yang disembelih tuan rumah. Dan atas izin Allah, kertas bertuliskan lafadz tahlil 3 kali milik Kyai Said ternyata lebih berat dibanding daging satu ekor sapi. Maa Syaa Allah wa in lam yasya' lam yakun.

*) Kisah ini diadaptasi dari penuturan K.H. Abdullah Syifa (Buntet Pesantren) pada suatu acara tahlil yang dihadiri oleh penulis.

Minggu, 15 Januari 2012

Selamat Jalan, Gus Imam ....

Kyai Imam Lirboyo(MagarsariPost) - Segenap keluarga besar warga Magarsari Pondok Pesantren Gedongan, Kec. Pangenan Cirebon-Jawa Barat, ikut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas wafatnya salah satu Dewan Pembina (Pengasuh) Ponpes Lirboyo Kediri, KH. Imam Yahya Mahrus (Gus Imam), putra dari almarhum KH. Mahrus Aly (asal Gedongan).

Beliau meninggal dunia pada 14 Januari 2012 pukul 20.00 WIB di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya.


Semoga arwah beliau diterima di Sisi Allah subhanahu wa ta'ala dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Amin.... (ASF)

Minggu, 08 Januari 2012

Lho, Masjid Gedongan belum Sempurnakan Arah Kiblat


(MagarsariPost) - Juma’at (06/01) minggu pertama awal tahun 2012 ini saya niatkan untuk pulang ke Gedongan, silaturrahmi dengan keluarga yang masih tersisa di kampung halaman. Kegiatan ini bagian dari rutinitas bulanan saya berkunjung ke sedulur tua (kakak, mamang, dan uwak) yang biasanya dilakukan saban Juma’at Kliwon. Namun berhubung ada kesibukan yang ‘gak bisa ditunda, pada kliwonan dua pekan silam saya ‘gak bisa mudik, sebagai gantinya adalah kunjungan Juma’at minggu pertama awal tahun 2012 kali ini.

Selain keperluan silaturrahmi dengan sedulur yang masih hidup, dalam setiap kunjungan kliwonan ke Gedongan saya niatkan untuk berziarah ke makam Abah dan Bibi di areal Maqbaroh Gedongan. Juga sesekali bila ‘gak mepet dengan waktu Juma’atan, setelah berziarah --bersama anak dan istri-- saya sempatkan diri sowan ke ngarsa ndalemipun Kyai Abu (KH. Abu Bakar Sofyan) ber-tabarrukan.


Kali ini saya datang agak siang, kira-kira jam setengah sebelasan. Maklum, si “Pitung” kuda besiku memang maunya nyantai kalo diajak pergi jalan-jalan. Jadi setibanya di rumah, saya langsung bergegas menuju maqbaroh, pulangnya saya langsung berkemas bersih diri bersiap tuk pergi Juma’atan ke Masjid Gedongan. Tepat setelah adzan dzuhur berkumandang, saya sudah siap berangkat (bismillahi tawakkalu ‘alallah....).


Masuk ke dalam areal masjid, saya langsung berbaur dengan puluhan jamaah yang sedang khusuk masykuk berdzikir dan bermunajat, sebagian lainnya ada yang sedang melaksanakan shalat sunnat. Jarum pendek jam dinding yang terpasang di sebelah kanan dan kiri mihrab saat itu sama-sama menunjuk ke angka 12, dan jarum panjangnya bergeser di angka 2. Setelah menemukan lokasi yang tepat --di sela-sela shaf kosong yang masih belum teratur-- saya bertakbiratul-ihram melaksanakan 2 rakaat (shalat sunnat) tahiyyatul masjid, disusul kemudian 2 rakaat lagi qabliyah Juma’at, selanjutnya saya ikut menenggelamkan diri dalam dzikir dan munajat di tengah suasana yang terasa begitu sakral.


Dalam keheningan syahdu, naluri kemusafiranku reflek mengamati sekitar; lirik pandangku tertuju ke arah jamaah yang ada di samping kiri-kanan dan di depan, juga pada posisi permadani yang di atasnya saya sedang bersimpuh saat ini. Sejenak saya tertegun dengan posisi permadani empuk yang digelar mepet dengan posisi dinding bagian depan; tanpa ada tanda shaf, makmum akan berbaris sejajar menyesuaikan dengan posisi digelarnya permadani, tentunya. Bila demikian, sepertinya masjid Gedongan ini belum melaksanakan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyempurnakan arah kiblat dari barat ke barat laut. Lho, kok?!


Sebagaimana umumnya; permadani, kambal, atau karpet di masjid-masjid atau musholla, selain fungsi utamanya untuk alas lantai, dapat juga dijadikan sebagai sajadah yang juga dapat berfungsi sebagai penunjuk arah kiblat makmum dalam berjamaah. Artinya, para makmum yakin bahwa shalatnya telah “mustaqbilal-qiblat” dengan ia berbaris lurus mengikuti posisi digelarnya alas lantai tadi.


Seingat saya, masjid Gedongan ini --semenjak direhab awal tahun 1980an hingga sekarang saat saya akan melaksanakan shalat Juma’at-- jihat kiblatnya belum pernah berubah, menghadap sejajar bangunan masjid (karpet mepet ke tembok).



Berita Okezone Rabu (14/07/2010) judul : “MUI Fatwakan Arah Kiblat ke Barat Laut”

JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia atau MUI mengeluarkan fatwa mengenai arah kiblat. Ini dilakukan sebagai salah satu syarat sah salat bagi umat Islam. Atas fatwa tersebut, MUI mengimbau semua pihak mengikuti posisi tersebut.


MUI mengimbau kepada pengurus masjid atau musala, bagi yang kiblatnya tidak tepat perlu ditata ulang saf-nya namun tidak perlu membongkar bangunannya”, kata Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, AM. Asrorun Niam.

Ini diungkapkan Asrorus kepada wartawan di Gedung MUI, Jalan Tugu Proklamasi, Jakarta, Selasa (14/7/2010).


Dia menjelaskan, alasan penetapan posisi arah kiblat ini agar salat umat Islam tidak jauh dari kabah. “Karena posisi Indonesia ada di sebelah timur sedikit ke selatan, maka arah kiblat menghadap barat laut” tegasnya.
Posisi ini, lanjutnya, dipastikan akan berbeda disesuaikan dengan posisi dari orang tersebut tinggal. “Contohnya, arah kiblat di orang di Cirebon akan sedikit berbeda kemiringannya dengan orang yang berada di Kalimantan” paparnya.


Memastikan Arah Qiblat Kita


Untuk mendapatkan keyakinan dan kemantapan amal ibadah dengan ainul yaqin atau paling tidak mendekatinya atau bahkan sampai pada haqqul yaqin, kita perlu berusaha agar arah qiblat yang kita pergunakan mendekati kepada arah yang persis menghadap ke Baitullah. Jika arah tersebut telah ditemukan berdasarkan ijtihad para ulama (MUI) dikuatkan dengan hasil riset ilmu pengetahuan misalnya, maka kita wajib mempergunakan arah tersebut selama belum memperoleh hasil yang lebih teliti lagi.


Banyak sistem penentuan arah qiblat yang dapat dikatagorikan akurat, seperti menentukan azimuth qiblat dengan alat scientific calculator atau dengan alat teknologi yang lebih canggih semacam theodolite dan GPS (global position sistem). Atau bisa juga dengan cara tradisional, yakni melihat bayang-bayang matahari pada waktu tertentu (rashdul qiblat) setelah mengetahui data lintang dan bujur tempat serta mengetahui lintang dan bujur ka’bah (dalam lampiran almanak tahun 2011 yang diterbitkan oleh Perc. Rizquna, Kendal, Karangan Syeh Misbahchul Munir Al-Falakiy [*], metode rashdul qiblat dapat dilakukan pada tanggal, bulan, dan jam-jam tertentu setiap bulan minggu pertama penanggalan masehi. Caranya bikinlah semacam palgul bola, ujungnya ke utara dan selatan, lalu tengah gantungkanlah seutas kabel yang diberi bandul, maka bayangan tadi menuju ke arah ka’bah, pen.).


Bagaimana dengan kompas? Kompas yang selama ini beredar di masyarakat kiranya memang dapat digunakan untuk menentukan arah qiblat namun masih sebatas ancar-ancar yang masih perlu dicek kebenarannya. Karena berbagai model kompas termasuk kompas qiblat masih mempunyai kesalahan yang bervariasi sesuai dengan kondisi tempat (magnetic variation). Apalagi pada daerah yang banyak baja atau besinya, akan mengganggu penunjukkan utara-selatan magnet.


Gedongan yang notabene-nya adalah sebuah pondok pesantren (oase ilmu) mestinya menerapkan salah satu proses penentuan arah kiblat tersebut, baik dilakukan secara modern ataupun dengan cara tradisional. Selain sebagai 'sebuah pembelajaran' bagi para santri yang menimba ilmu di dalamnya, Gedongan --Insya Allah hingga kini-- masih menjadi kiblat (rujukan) bagi desa-desa lain di sekitarnya, atau bagi para alumni santri yang tersebar di penjuru nusantara. Wallahul muwafiq.... (ASF).



[*]
Syeh Misbahchul Munir Al-Falakiy, beliau adalah Pendiri, Pimpinan, dan Pengajar Pondok Pesantren “Markazul Falakiyah”; Lajnah Falakiyah PBNU; dan Guru Besar Ilmu Falak tingkat internasional.