Sabtu, 25 April 2009

Gedongan bukan Gadungan

GEDONGAN adalah kampung tertinggal secara pendidikan maupun ekonomi. Dari segi pendidikan, hampir separuh kaum tuanya buta aksara latin. Mereka tidak mementingkan diri untuk belajar dan menguasai baca tulis huruf latin. Baginya belajar yang wajib adalah belajar agama, cukuplah hidup ini apabila bisa sembayang (mendirikan shalat), bisa ngaji (membaca Al-Qur'an) dan mengerti syariat Islam (yang terkandung dalam kitab fiqh). Dalam praktek ibadah amaliyah masyarakat Gedongan menyandarkan pada taqlid buta. Segala sesuatunya "sepajare Kyai", mengingat "Al-'Ulamaa'u Warotsatul Anbiyaa...... " yakni "dawuhe Kyai meniko dawuhe nabi" Walhasil petuah dan tindak tanduk 'Sang Kyai' (meskipun salah karena Kyai tidak ma'sum) harus ditaati.

Dari segi ekonomi, hampir 90% warga Gedongan hidup dalam kategori keluarga pra sejahtera --bila dilihat dari kondisi rumahnya yang berupa bangunan semi permanen, tembok geribik dengan lantai menyatu dengan tanah-- Makan dengan lauk apa adanya, variasi antara sayur bening, botok oncom, ikan asin (iwak pirik), dan cowel kangkung, namun dapat menjangkau tiga kali dalam sehari. Bagi mereka, hidup betul-betul dilakoni sebagai sebuah jembatan menuju alam akhirat. Karenanya, mereka tidak muluk-muluk untuk memiliki ini dan menguasai itu, tidak ambisius untuk mendapat kedudukan, asal pawon bisa ngebul hari ini, mereka sudah sangat nerima. Esok hari atau lusa biarlah dihadapi nanti, asalkan tetap berihtiar pasti akan ada jalan keluar. Toh, harta benda yang dipunyai di dunia ini sekarang tidaklah akan dibawa sampai mati nantinya, materi takkan berarti apa-apa bagi si empunya ketika sang jasad sudah terbujur kaku dan tertanam di dalam liang lihat.

Begitulah Gedongan, biarpun hidup dalam keminiman ekonomi, nyatanya tidak ada warganya yang sampai menderita kelaparan. Tidak ada sejarahnya --karena sebab miskinnya-- penduduk Gedongan harus menjual harga diri menjadi peminta-minta, mengemis menyambangi rumah dari pintu ke pintu atau menadahkan tangan di pasar-pasar atau trotoar jalan.


Apa rahasianya?

Jawabannya adalah, karena warga Gedongan merupakan "tameng para Kyai", warga Gedongan rela menjadi pagar demi melindungi "bunga di dalam taman" (sari), warga Gedongan adalah "Masyarakat Pagar Sari" yang urip lan matine anut sareng kyai.

'Kyai' menurut definisi orang Gedongan adalah para putra dan menantu-putra keturunan KH. Muhammad Said Almaghfurlah (Pendiri Pondok Pesantren Gedongan), hingga cucu-buyut-cicit dan seterusnya. Di luar quorum tersebut tidak diakui sebagai kyai, meskipun dia lebih 'alim. Isteri yang mendampingi sang kyai dipanggil 'Nyai', sedangkan putra-putrinya dipanggil 'Kang' (Kak). Walaupun usianya masih relatif muda, atau bahkan masih kecil sekalipun, para putra atau putri kyai sudah mendapat embel-embel 'kang' di depan nama panggilannya. Embel-embel ini akan memudar dengan sendirinya berganti menjadi gelar "kyai" sejalan dengan kematangan ilmu diniyah dan kearifan tindakan sang putra kyai tersebut.

Ada banyak Kyai di Gedongan, sehingga banyak dicari oleh para penuntut ilmu dari luar Gedongan. Mereka berbondong-bondong sengaja mendatangi Gedongan untuk bhkti menjadi santri, mengikut salah satu kyai, guna memperdalam ilmu agama Islam, seperti : Al-Qur'an dan Hadits, Tafsir, Fiqh, Ushul-Fiqh, Tarikh, Akhlaq, Nahwu, Shorof, hingga ilmu kesaktian. Keberadaan santri ini mewarnai Gedongan bukan saja aktivitas kesantriannya, tapi juga membawa "berkah" bagi warga Gedongan sebagai 'magarsari'. Dengan kata lain, kesahajaan warga Gedongan dan kelestarinya sedikit banyak dipengaruhi oleh karena keberadaan santri di tengah-tengah kampungnya, dan Insya Allah mendapat Ridha-Nya. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi saw yang artinya : “Sesungguhnya malaikat merendahkan sayapnya bagi penuntut ilmu dan ridho dengan apa yang dikerjakannya”. (al-hadits).

Oleh karenanya, di balik keserbakekurangan yang disandangnya, Gedongan yang kampung jlipung ini masih memiliki nilai lebih secara spiritual bila dibandingkan dengan kampung-kampung lainnya. Gedongan merupakan blok 'pesantren', yang menjadi kampungnya para santri, Gedongan dapat menjadi laboratorium alam sebagai pusat kajian agama Islam, Gedongan sudah diakui telah memberikan sumbang jasa yang tidak sedikit dalam perkembangan keilmudiniyahan di Indonesia, sehingganya hampir rata-rata pesantren salafiyah yang ada di pulau Jawa memiliki kedekatan historis dengan Pesantren ini.

Dengan kelebihan-kelebihan tersebut di atas, blok Gedongan secara politis menjadi diperhitungkan (oleh kalangan pemerintahan ataupun organisasi sosial politik di wilayah Kabupaten Cirebon), Gedongan menjadi lebih dikenal dan masyhur sebagai gudangnya 'kaum beriman' (kauman). Sehingga dengan sendirinya kata Gedongan dimaknai sebagai "GEDONGnya 'elmu", sumbernya ilmu diniyah, yang menjadi tujuan para pendatang santri untuk nimba kaweruh. Bukan lagi Gedongan sebagai kaum duitan, bukan juga Gedongan sebagai gedhe namun dongo- an. Tapi Gedongan yang didukung oleh tiga elemen warga kauman; Kyai, Santri, dan Magarsari, yang senantiasa ber-muwajjahah, bertaqarrub ilallah, memanjatkan Puji-pujian dan do'a demi kemaslahatan ummat, bangsa dan negara, pantaslah bila Gedongan juga dimaknai sebagai GEdhe panDONGANe, karena Gedongan bukan Gadungan.... Allahumma Amein ...... (ASF)


**********

Deskripsi tentang Gedongan ditulis berdasarkan memori penulis di awal tahun 1980-an ketika penulis baru menginjak usia 5 tahun, mohon maaf bila banyak ditemukan kesalahan, Nyuwun ngapuntene ingkang kathah, sanes ngelancangi.

Rabu, 22 April 2009

Hari Bumi, Mari Kita Bentuk Masyarakat Peduli Bumi


Hari ini 22 April kita semua sebagai penduduk bumi yang menginjakkan kaki kita di bumi memperingati hari bumi atau yang sering disebut "Earth Day".
Kita semua harusnya perihatin dengan kondisi dan keadaan bumi sekarang yang semakin rusak karena ulah manusia sendiri. Bumi kita sedang sakit dikarenakan pemanasan global yang dampaknya sudah kita rasakan. Kalau saja bumi ini bisa berkata, ia pasti akan mencaci maki manusia yang rakus, tamak, dan membiarkan isi bumi ini disedot habis-habisan. Tidak cuma itu saja sampah manusia pun semakin banyak setiap tahunnya bahkan dibeberapa kota misalnya Bandung sering dilanda masalah sampah karena bingun harus dibuang kemana.
Manusia emang lebih harimau daripada harimau sendiri. Setiap detik dengan kendaraan yang kita gunakan sudah membuah gak karbondioksida, timbal, dan karbonmonoksida ke udara yang mengakibatkan polusi udara dan menjadikannya insrtument penyebab pemanasan global.

Bumi kita semakin sakit karena persediaan bahan bakar fosil semakin menipis, sementara pembentukan bahan bakar fosil membutuhkan waktu jutaan tahun. Ironisnya manusia sendiri tidak pernah sadar bahwa menghemat energi sangat besar pengaruhnya demi kelangsungan bumi kita.
Bumi semakin panas karena terjadi penebangan hutan dimana-mana. Sudah bukan hal yang mengejutkan lagi kalau setiap harinya seluas tiga kali lapangan sepakbola hutan di Indonesia dibabat habis. Bahkan pohon-pohon di kota pun harus menangis karena ditebang untuk dijadikan perumahan atau bahkan untuk memplester dan mengecor halaman rumah kita.

Betapa panasnya bumi kita kalau ini semua terjadi terus menerus.

Dengan melihat hal ini, maka saya peribadi mengajak kepada semua pemduduk bumi terutama yang tinggal di Cirebon untuk memprakarsai dalam pembentukan sebuah komunitas "Masyarakat Cirebon Peduli Bumi"

Untuk Anda 'Wong Cirebon" yang perduli bumi, saya tunggu partisipasi Anda untuk melakukan gerakan ramah lingkungan dan penghijauan. Mari kita bentuk sebuah komunitas masyarakat peduli bumi di kota Cirebon.

Selasa, 21 April 2009

Terima kasih Kartini

RADEN AJENG (RA.) KARTINI lahir di Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879.
Door Duistermis tox Licht, “Habis Gelap Terbitlah Terang”, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya. Buku itu menjadi pendorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang.

Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini telah membuka penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.

Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.

Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.

Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.

Merasakan hambatan demikian, Kartini remaja yang banyak bergaul dengan orang-orang terpelajar serta gemar membaca buku khususnya buku-buku mengenai kemajuan wanita seperti karya-karya Multatuli "Max Havelaar" dan karya tokoh-tokoh pejuang wanita di Eropa, mulai menyadari betapa tertinggalnya wanita sebangsanya bila dibandingkan dengan wanita bangsa lain terutama wanita Eropa.

Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.

Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.

Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.

Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.

Sepanjang hidupnya, Kartini sangat senang berteman. Dia mempunyai banyak teman baik di dalam negeri maupun di Eropa khususnya dari negeri Belanda, bangsa yang sedang menjajah Indonesia saat itu. Kepada para sahabatnya, dia sering mencurahkan isi hatinya tentang keinginannya memajukan wanita negerinya. Kepada teman-temannya yang orang Belanda dia sering menulis surat yang mengungkapkan cita-citanya tersebut, tentang adanya persamaan hak kaum wanita dan pria.

Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.

Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya Allah memberikan usia yang panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan putra pertamanya.

Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.

Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya.

Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah dalam skop nasional.

Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.

Terlepas dari pro kontra tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan lainnya.

Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda. Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati dan teladani.

Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi.

Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.

Itu semua adalah sisa-sisa dari kebiasaan lama yang oleh sebagian orang baik oleh pria yang tidak rela melepaskan sifat otoriternya maupun oleh sebagian wanita itu sendiri yang belum berani melawan kebiasaan lama. Namun kesadaran telah lama ditanamkan kartini, sekarang adalah masa pembinaan.

Sumber: Album Pahlawan Bangsa Cetakan ke 18, penerbit PT Mutiara Sumber Widya; Wajah-Wajah Nasional cetakan pertama, Solichin Salam; Raden Ajeng Kartini (1879-1904) Pejuang Kemajuan Wanita, dalam http://dwiindralestari.blogspot.com/

Senin, 20 April 2009

Dhialek Cerbonan

DHIALEK CERBONAN utawa uga diarani Basa Cerbon iku sajenis dhialek basa Jawa sing dipituturake ing pesisir lor Jawa Barat utamane mulai tlatah Cilamaya (Karawang), Blanakan, Pamanukan, Pusakanagara (Subang), Indramayu, nganthi Cirebon lan Losari Wetan, Brebes, Jawa Tengah.

Biyen basa iki kanggo perdagangan ing pesisir Jawa Barat mila Cirebon dhadi salah sijining pelabuhan pratama, khususe ing abad 15-17. Sadhurunge, basa iki ora bedha karo Basa Jawa Soloan, namung pramila abad 17, basa Cerbonan mulai katon bedhane oleh kena pengaruh lokal kaliyan pengaruh Basa Sundha. Basa Cerbon uga tansah mertahanke wujud-wujud kunaning Basa Jawa Tengahan (kayata ukara-ukara lan pangucapan) sing wis ora diangge maneh karo Basa Jawa Baku.

Basa Cerbon ya diajarke ning sekolah-sekolah wilayah Cirebon kaliyan Basa Sundha. Ing tlatah Cirebon, basa iki dituturke karo mayoritas penduduke kecuali kecamatan-kecamatan sing awates Majalengka lan Kuningan sing nganggo Basa Sundha. Basa Cerbon luwih dominan ing Indramayu utawa diarani Dermayon.

Upami :

Kepriben kabare, cung? : Kepriye kabare, cah-cah?
Isun lunga sing umah : Aku lunga saka omah
Aja sok gumuyu bae : Aja gemuyu wae
Sira arep mendhi? : Kowe arep menyang endhi?


Mugi mirsani

sumber : http://jv.wikipedia.org/wiki/Dhialek_Cerbon

Minggu, 19 April 2009

Abon Babi Beredar di Wilayah Cirebon

Jum'at, 17 April 2009 , 17:07:00

CIREBON, (PRLM).- Dinas Kelautan, Pertanian, Peternakan, dan Perikanan (DKP3) Kota Cirebon, menemukan satu merek abon, yang dinyatakan Balai Besar Pengawasan Obat Makanan dan Minuman (BBPOM) mengandung bahan daging babi. Abon berbahan daging babi tersebut ditemukan saat melakukan penyisiran di sejumlah pasar tradisional dan swalayan.

Abon berbahan daging babi itu, pada kemasannya, bergambar kepala sapi dan tercantum label halal. Pada kemasannya, tercantum komposisi produk, yaitu berbahan daging sapi. Sekretaris DKP3, Ir. Djuhana mengakui temuan abon babi tersebut.

Menurut Dhuhana, penyisiran dilakukan oleh tim pemantau, yang terdiri dari DKP3, Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Indagkop) serta Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Cirebon.

Dijelaskan dia, tim melakukan penyisiran berdasarkan informasi masyarakat yang menyatakan adanya peredaran abon babi. "Kami langsung menindaklanjuti informasi tersebut. Ternyata memang kami menemukan abon bergambar kepala sapi, yang diduga, mengandung bahan daging babi," ujar Djuhana.

Menurut dia, tim berencana untuk kembali melakukan operasi gabungan di seluruh pasar, baik tradisional, maupun modern untuk mengantisipasi peredaran abon babi tersebut.

Sementara itu, Kepala Bidang Industri Dalam Negeri Disindagkop Kota Cirebon, Drs. Firdaus, mengungkapkan, kewenangan pihaknya hanya pada peredaran produk. Sedangkan pihak yang berwenang melakukan pengecekanadalah DKP3. "Kami sudah berkoordinasi dengan DKP3 dan Dinkes Kota Cirebon," katanya.

Sedangkan Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Cirebon, dr. Hj. Kaptiningsih M.Kes, mengaku akan berkoordinasi dengan pihak mana pun dalam hal peredaran abon babi. "Kami siap menggelar operasi gabungan untuk menghilangkan keresahan masyarakat," tegasnya. (A-92/A-147)***

Sintren, Kesenian Pesisir yang Nyaris Terlupakan


Kehidupan rakyat pesisiran selalu memiliki tradisi yang kuat dan mengakar. Pada hakikatnya tradisi tersebut bermula dari keyakinan rakyat setempat terhadap nilai-nilai luhur nenek moyang, atau bahkan bisa jadi bermula dari kebiasaan atau permainan rakyat biasa yang kemudian menjadi tradisi yang luhur.

Mungkin orang-orang yang dulu hidup di wilayah pesisiran tidak akan mengira kalau tradisi tersebut hingga kini menjadi makhluk langka bernama kebudayaan, yang banyak dicari orang untuk sekadar dijadikan objek penelitian dan maksud-maksud tertentu lainnya yang tentu saja akan beraneka ragam.

Salah satu tradisi lama rakyat Cirebon, adalah Sintren. Kesenian ini kini menjadi sebuah pertunjukan langka. Sintren dalam perkembangannya kini paling-paling hanya dapat dinikmati setiap tahun sekali pada upacara-upacara kelautan selain nadran, atau pada hajatan-hajatan orang gedean.

Berdasarkan keterangan dari berbagai sumber kalangan seniman tradisi Cirebon, Sintren mulai dikenal pada awal tahun 1940-an. Nama sintren sendiri tidak jelas berasal dari mana, tetapi konon sintren adalah nama penari yang masih gadis yang menjadi bintang dalam pertunjukan ini.

Menurut Ny. Juju, seorang pimpinan Grup Sintren Sinar Harapan Cirebon, asal-mula lahirnya sintren adalah kebiasaan kaum ibu dan putra-putrinya yang tengah menunggu suami/ayah mereka pulang dari mencari ikan di laut. ”Ketimbang sore-sore tidur, kaum nelayan yang ndak pergi nangkap ikan, ya mendingan bikin permainan yang menarik,” ujar Juju.

Permainan sintren itu terus dilakukan hampir tiap sore dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka, maka lama-kelamaan Sintren berubah menjadi sebuah permainan sakral menunggu para nelayan pulang. Hingga kini malah Sintren menjadi sebuah warisan budaya yang luhur yang perlu dilestarikan. Pada perkembangan selanjutnya, sintren dimainkan oleh para nelayan keliling kampung untuk manggung di mana saja, dan ternyata dari hasil keliling tersebut mereka mendapatkan uang saweran yang cukup lumayan. Dari semula hanya untuk menambah uang dapur, Sintren menjadi objek mencari nafkah hidup


Sintren dan Magis

Kesenian Sintren (akhirnya bukan lagi permainan), terdiri dari para juru kawih/sinden yang diiringi dengan beberapa gamelan seperti buyung, sebuah alat musik pukul yang menyerupai gentong terbuat dari tanah liat, rebana, dan waditra lainnya seperti: kendang, gong, dan kecrek.

Sebelum dimulai, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang dimaksudkan untuk mengundang penonton. Syairnya begini:

Tambak tambak pawon
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul.


Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu penonton sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair berikutnya:

Kembang trate
Dituku disebrang kana
Kartini dirante
Kang rante aran mang rana


Di tengah-tengah kawih di atas, muncullah Sintren yang masih muda belia. Konon menurut Ny. Juju, seorang sintren haruslah seorang gadis, kalau Sintren dimainkan oleh perempuan yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang pas, dalam hal ini Ny. Juju enggan lebih jauh menjelaskan kurang pas yang dimaksud semacam apa. ”Pokoknya harus yang masih perawan,” katanya menegaskan.

Kemudian sintren diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki, sehingga secara syariat, tidak mungkin ia dapat melepaskan ikatan tersebut dalam waktu cepat. Lalu Sintren dimasukkan ke dalam sebuah carangan (kurungan) yang ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan terus menggema, dua orang yang disebut sebagai pawang tak henti-hentinya membaca doa dengan asap kemenyan mengepul. Juru kawih terus berulang-ulang nembang:

Gulung gulung kasa
Ana sintren masih turu
Wong nontone buru-buru
Ana sintren masih baru


Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih dalam keadaan tidur. Namun begitu kurungan dibuka, sang sintren sudah berganti dengan pakaian yang serba bagus layaknya pakaian yang biasa digunakan untuk menari topeng, ditambah lagi sang sintren memakai kaca mata hitam.

Sintren kemudian menari secara monoton, para penonton yang berdesak-desakan mulai melempari Sintren dengan uang logam, dan begitu uang logam mengenai tubuhnya, maka sintren akan jatuh pingsan. Sintren akan sadar kembali dan menari setelah diberi jampi-jampi oleh pawang.

Secara monoton sintren terus menari dan penonton pun berusaha melempar dengan uang logam dengan harapan sintren akan pingsan. Di sinilah salah satu inti seni Sintren ”Ndak tahu ya, pokoknya kalau ada yang ngelempar dengan uang logam dan kena tubuh Sintren pasti pingsan, sudah dari sono-nya sih pak, mengkonon yang mengkonon,” ujar seorang pawang, Mamang Rana pada penulis.

Ketika hal ini ditanyakan pada sintrennya, Kartini (20), mengaku tidak sadarkan diri apa yang ia perbuat di atas panggung, meskipun sesekali terasa juga tubuhnya ada yang melempar dengan benda kecil.

Misteri ini hingga kini belum terungkap, apakah betul seorang sintren berada di bawah alam sadarnya atau hanya sekedar untuk lebih optimal dalam pertunjukan yang jarang tersebut. Seorang mantan sintren yang enggan disebut namanya mengatakan, ia pernah jadi sintren dan benar-benar sadar apa yang dia lakukan di atas panggung, namun lantaran tuntutan pertunjukan maka adegan pingsan harus ia lakukan.

Kesenian Sintren merupakan warisan tradisi rakyat pesisiran yang harus dipelihara, mengingat nilai-nilai budaya yang kuat di dalamnya, terlepas dari apakah pengaruh majis ada di dalamnya atau tidak. Sintren menambah daftar panjang kekayaan khazanah budaya sebagai warisan tradisi nenek moyang kita.***

Copyright © Sinar Harapan 2003
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0306/24/hib02.html

"Gedongan" Antara Kata, Nama, dan Makna

Amit ...... nggih, ngapunten. Sanes ngelancangi


Gedongan sebagai KATA

GEDONGAN siapa yang tidak kenal kata ini?. paling tidak setiap orang pernah mendengarnya walau cuma sekali (dalam seumur hidup).

Di era tahun 80-an kata yang juga menjadi istilah ini sangat populer di masyarakat, biasanya kata ini digunakan untuk menjuluki golongan elit yang berduit serta kaum terpandang (dari segi materi). Ketika itu –bahkan sampai saat ini pun-- bila mendengar istilah "orang gedongan" atau "anak gedongan" pasti imaji kita akan membayangkan ...... orang kota, parlente, yang tinggal di rumah gedong, dengan kemewahan yang dimilikinya; kendaraan pribadi, pakaian mentereng, perhiasan yang serba keminclong, aneka hidangan makanan penuh gizi, plus memiliki profesi atau status sosial (terpandang). Kalau dikondisikan untuk keadaan sekarang, mungkin yang cocok menyandang label "orang /anak gedongan" adalah para pesohor negeri atau lebih beken dikenal dengan istilah 'selebritis'.

Secara etimologi, istilah "gedongan" berasal dari kata dasar "gedong" yang mendapat imbuhan –an. Dalam KBBI Daring 'gedong' diartikan sebagai 'gedung' sedangkan imbuhan –an berfungsi sebagai kata sandang atau kata sifat. Orang Gedongan berarti 'orang yang manggon di Gedongan atau orang yang mendiami rumah gedong (gedung), gedung sendiri memiliki arti 'rumah tembok yang berukuran besar'.

Singkat kata, mengulas istilah 'gedongan' tidak lepas dari membicarakan keserbamewahan dan kemapanan ('tajir' bahasa gaulnya, pen.), sebab apapun 'kata'-nya, bila dimajemukkan dengan istilah gedongan, akan memiliki makna wahh!!, sebut saja contohnya : rumah gedongan!, mobil gedongan!, baju gedongan!, makanan gedongan!, dan lain-lain, wah!. ...... wah! ...... waaaahh!!. (gedeg-gedek kepala).


Gedongan sebagai NAMA

Namun tidak demikian jadinya bila istilah 'Gedongan' (dengan G kapital, pen.) disandangkan pada sebuah 'nama'. Dalam hal ini, Gedongan yang dimaksud adalah nama sebuah kampung yang berlokasi di wilayah timur Cirebon (WTC) Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Desa Ender Kecamatan Astanajapura (setelah ada pemekaran kini masuk dalam wilayah Kecamatan Pangenan).

Sebagai sebuah kampung (jlipung) 'Gedongan' jauh dari hingar-bingar kehidupan kota, jauh dari keramaian pasar dan supermarket, bahkan jauh dari deru mobil jalan raya, karena letaknya berada di pelosok terpencil. Hal ini berbalik 180 derajat dengan istilah 'gedongan' yang telah penulis ulas di atas.

Kampung Gedongan di era tahun 1980-an dihuni oleh sekira 500-an kepala keluarga. Mayoritas penghuninya berprofesi sebagai petani penggarap sawah dengan dua jenis tanaman, yakni padi dan palawija. Tanaman padi dikelola hanya pada musim rendeng (penghujan) dengan mengandalkan perairan tadah hujan, sistem irigasi yang ada tidak mencapai persawahan blok Gedongan, sehingga hasil panen padi hanya bisa diperoleh sekali dalam satu tahun. Setelah itu, lahan dikelola kembali, dibulud untuk ditanami palawija. Jenis tanaman palawija yang cocok berupa umbi-umbian (boled, capu), kacang-kacangan, (kacang ijo, kacang kedele dan kacang lanjaran), encung, bonteng suri, dan jagung.

Di musim ketiga (kemarau), ladang sawah yang tidak produktif milik petani biasanya disewakan kepada pihak Pabrik Gula Karangsembung atau Sindanglaut untuk dikelola menjadi perkebunan tebu. Karena sistem pengairannya cukup memadai, tanaman tebu dapat tumbuh subur di sini. Area perkebunan yang luas menghampar ini, bila sudah mencapai 4 hingga 5 bulan setelah masa tanam, seakan seperti lautan yang menenggelamkan kampung Gedongan dan kampung-kampung yang ada di sekitarnya, karena lebat dan tingginya tanaman.

Masih di musim ketiga, untuk mengisi kekosongan, aktivitas kerja sebagian warga beralih menjadi pembuat bata merah. Ini merupakan satu-satunya kegiatan yang tergolong industri (padat karya) di blok Gedongan.

Produksi bata merah di Gedongan memanfaatkan areal kosong di pinggir Kali Pembatan, bahan baku yang digunakan adalah ladon (lempung putih) yang memang banyak terdapat di tepian kali tersebut. Proses kerjanya cukup memakan waktu lama; ladon kering yang sudah dipilih dijur dengan air kali hingga larut menjadi endut (lumpur), endut ini kemudian dicampur dengan dedek wadag (sekam padi) pada sebuah jeboran (kubangan tanah berbentuk persegi panjang 2x1 meter atau lebih dengan kedalaman mencapai dada orang dewasa) --makin besar jeboran, tentunya akan semakin banyak kandungan endut yang dihasilkan.-- Selanjutnya, masih di dalam jeboran, endut yang sudah menjadi adadon diinapkan satu malam untuk mengurangi kadar air, kemudian besok paginya dilakukan pencetakan.

Alat cetak bata merah terbuat dari lempeng kayu atau papan berbentuk kotak sepatu berukuran 12x22 cm dengan tinggi 3cm, biasanya dibuat rangkap dua gandeng. Bakal bata dicetak di atas hamparan tanah lapang yang datar, dalam sekali cetak para perajin bisa menghasilkan 500 hingga 700an bakal bata (bata mentah), tergantung seberapa banyak endut dan seberapa luas lahan cetaknya. Bakal bata yang sudah dicetak ini dijemur di bawah terik matahari hingga betul-betul kering, kemudian bakal bata kering disisiki dan ditap (disusun rapih) dalam bedeng yang sudah disiapkan. Industri bata merah akan berakhir (uwisan) dengan sendirinya saat pergantian dari musim ketiga ke musim rendeng. Sebelum saat itu tiba, para perajin harus sudah ngobong bata bila tidak ingin bakal batanya hancur, lebur kembali menjadi tanah diterjang hujan dan banjir.

Aktivitas lain warga Gedongan adalah pedagang warungan, namun ini dapat dihitung dengan lima jari saja. Terdapat beberapa lapak atau warung di Gedongan yang menjual kebutuhan sembako dan kebutuhan rumah tangga. Barang dagangan diperoleh dengan kulakan tiga sampai empat kali dalam seminggu di Pasar Tradisional Gebang yang jaraknya mencapai 7 km. Warung terbesar di Gedongan adalah warung milik Kaji Mae-Kaji Gudi (almarhum), selebihnya hanya warung-warung penyanggah dan pelengkap, yang biasanya mulai subuh hingga siang hari menjajakan bubur sayur serta jajanan ringan seperti bakwan, pia-pia, jalabia, asmun, cempora, dan lain-lain. Selain untuk memenuhi kebutuhan warga Gedongan dan santri yang tinggal di pondokan, warung-warung tersebut juga dapat menyanggah kebutuhan warga blok tetangga luar Gedongan, seperti : Kubangbango dan Ender Rakit.

Dalam catatan penulis, saat itu di Gedongan belum ada listrik, belum ada yang memiliki televisi di rumahnya, radio (transistor) pun masih orang-orang tertentu saja yang punya, karena selain memang tidak terjangkau harganya untuk dibeli, ada fatwa kyai yang mengharamkan warga Gedongan mendengarkan radio, apalagi menonton tivi. Kendaraan sebagai alat angkut yang ada hanya pit onthel dan pit jengki, itu juga belum banyak yang punya. Satu-satunya kendaraan bermotor adalah Vespa milik Man Ojang --Pegawai KUA-- yang kalau melintas di Gili Tengah, segerombolan bocah menciumi jejak rodanya, mengelus-elus tapak-nya, mengendus asap yang keluar dan corong knalpot hingga lenyap menguap.

Bila ada mobil yang melintasi Gili Tengah, giliran para bocah yang lebih besar berhamburan keluar dari dalam rumah, mengejar mobil yang memang berjalan lambat tersebut dan menggandul di belakangnya. Ini menjadi suatu hiburan yang mengasyikkan bagi mereka, dan merupakan pengalaman baru karena bisa melihat dan naik mobil walau cuma sekelebat. Sambil berjingkrak dan bersorak-sorai, mereka kegirangan, bergelayutan di bemper belakang mobil, tidak peduli orang tuanya yang berdiri di depan pintu mencak-mencak grisiyen karena khawatir anaknya akan jatuh dan terlindas mobil. Bagi para bocah, yang penting senang, karena tidak mesti dalam sebulan akan datang mobil lagi. Biasanya mereka akan menyudahi perjalanan singkat ini sampai Lor Desa, mereka akan turun sendiri-sendiri dengan meraih kepuasan tentunya. Suasana suka 'menggandul mobil' seperti ini tidak akan mereka temukan di musim rendeng, sebab para pengendara roda empat segan masuk kampung Gedongan karena khawatir mobilnya akan kepater di tengah jalanan becek berlumpur.

Itulah sepenggal potret kehidupan orang Gedongan yang hidup dengan kesahajaan dalam ketiadaan. Kendati demikian warganya hidup rukun, walau serba kekurangan namun tidak ngresula karena serba tidak ada; tidak ada rumah gedong dan tidak ada kemewahan di sana, tidak ada pakaian mentereng serta perhiasan yang serba keminclong di rak dan laci lemari mereka, juga tidak ada aneka hidangan istimewa yang menyuguhi makan mereka, yang ada hanya rasa qona'ah, nrima apa yang telah dianugerahkan Gusti Allah kelawan ikhlas.


Gedongan sebagai MAKNA

Gedongan adalah kampung tertinggal secara pendidikan maupun ekonomi. Dari segi pendidikan, hampir separuh kaum tuanya buta aksara latin. Mereka tidak mementingkan diri untuk belajar dan menguasai baca tulis huruf latin. Baginya belajar yang wajib adalah belajar agama, cukuplah hidup ini apabila bisa sembayang (mendirikan shalat), bisa ngaji (membaca Al-Qur'an) dan mengerti syariat Islam (yang terkandung dalam kitab fiqh). Dalam praktek ibadah amaliyah masyarakat Gedongan menyandarkan pada taqlid buta. Segala sesuatunya "sepajare Kyai", mengingat "Al-'Ulamaa'u Warotsatul Anbiyaa...... " yakni "dawuhe Kyai meniko dawuhe nabi" Walhasil petuah dan tindak tanduk 'Sang Kyai' (meskipun salah karena Kyai tidak ma'sum) harus ditaati.

Dari segi ekonomi, hampir 90% warga Gedongan hidup dalam kategori keluarga pra sejahtera --bila dilihat dari kondisi rumahnya yang berupa bangunan semi permanen, tembok geribik dengan lantai menyatu dengan tanah-- Makan dengan lauk apa adanya, variasi antara sayur bening, botok oncom, ikan asin (iwak pirik), dan cowel kangkung, namun dapat menjangkau tiga kali dalam sehari. Bagi mereka, hidup betul-betul dilakoni sebagai sebuah jembatan menuju alam akhirat. Karenanya, mereka tidak muluk-muluk untuk memiliki ini dan menguasai itu, tidak ambisius untuk mendapat kedudukan, asal pawon bisa ngebul hari ini, mereka sudah sangat nerima. Esok hari atau lusa biarlah dihadapi nanti, asalkan tetap berihtiar pasti akan ada jalan keluar. Toh, harta benda yang dipunyai di dunia ini sekarang tidaklah akan dibawa sampai mati nantinya, materi takkan berarti apa-apa bagi si empunya ketika sang jasad sudah terbujur kaku dan tertanam di dalam liang lihat.

Begitulah Gedongan, biarpun hidup dalam keminiman ekonomi, nyatanya tidak ada warganya yang sampai menderita kelaparan. Tidak ada sejarahnya --karena sebab miskinnya-- penduduk Gedongan harus menjual harga diri menjadi peminta-minta, mengemis menyambangi rumah dari pintu ke pintu atau menadahkan tangan di pasar-pasar atau trotoar jalan.


Apa rahasianya?

Jawabannya adalah, karena warga Gedongan merupakan "tameng para Kyai", warga Gedongan rela menjadi pagar demi melindungi "bunga di dalam taman" (sari), warga Gedongan adalah "Masyarakat Pagar Sari" yang urip lan matine anut sareng kyai.

'Kyai' menurut definisi orang Gedongan adalah para putra dan menantu-putra keturunan KH. Muhammad Said Almaghfurlah (Pendiri Pondok Pesantren Gedongan), hingga cucu-buyut-cicit dan seterusnya. Di luar quorum tersebut tidak diakui sebagai kyai, meskipun dia lebih 'alim. Isteri yang mendampingi sang kyai dipanggil 'Nyai', sedangkan putra-putrinya dipanggil 'Kang' (Kak). Walaupun usianya masih relatif muda, atau bahkan masih kecil sekalipun, para putra atau putri kyai sudah mendapat embel-embel 'kang' di depan nama panggilannya. Embel-embel ini akan memudar dengan sendirinya berganti menjadi gelar "kyai" sejalan dengan kematangan ilmu diniyah dan kearifan tindakan sang putra kyai tersebut.

Ada banyak Kyai di Gedongan, sehingga banyak dicari oleh para penuntut ilmu dari luar Gedongan. Mereka berbondong-bondong sengaja mendatangi Gedongan untuk bhkti menjadi santri, mengikut salah satu kyai, guna memperdalam ilmu agama Islam, seperti : Al-Qur'an dan Hadits, Tafsir, Fiqh, Ushul-Fiqh, Tarikh, Akhlaq, Nahwu, Shorof, hingga ilmu kanuragan. Keberadaan santri ini mewarnai Gedongan bukan saja aktivitas kesantriannya, tapi juga membawa "berkah" bagi warga Gedongan sebagai 'magarsari'. Dengan kata lain, kesahajaan warga Gedongan dan kelestarinya sedikit banyak dipengaruhi oleh karena keberadaan santri di tengah-tengah kampungnya, dan Insya Allah mendapat Ridha-Nya. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi saw yang artinya : “Sesungguhnya malaikat merendahkan sayapnya bagi penuntut ilmu dan ridho dengan apa yang dikerjakannya”. (al-hadits).

Oleh karenanya, di balik keserbakekurangan yang disandangnya, Gedongan yang kampung jlipung ini masih memiliki nilai lebih secara spiritual bila dibandingkan dengan kampung-kampung lainnya. Gedongan merupakan blok 'pesantren', yang menjadi kampungnya para santri, Gedongan dapat menjadi laboratorium alam sebagai pusat kajian agama Islam, Gedongan sudah diakui telah memberikan sumbang jasa yang tidak sedikit dalam perkembangan keilmudiniyahan di Indonesia, sehingganya hampir rata-rata pesantren salafiyah yang ada di pulau Jawa memiliki kedekatan historis dengan Pesantren ini.

Dengan kelebihan-kelebihan tersebut di atas, blok Gedongan secara politis menjadi diperhitungkan (oleh kalangan pemerintahan ataupun organisasi sosial politik di wilayah Kabupaten Cirebon), Gedongan menjadi lebih dikenal dan masyhur sebagai gudangnya 'kaum beriman' (kauman). Sehingga dengan sendirinya kata Gedongan dimaknai sebagai "GEDONGnya 'elmu", sumbernya ilmu diniyah, yang menjadi tujuan para pendatang santri untuk nimba kaweruh. Bukan lagi Gedongan sebagai kaum duitan, bukan juga Gedongan sebagai gedhe namun dongo- an. Tapi Gedongan yang didukung oleh tiga elemen warga kauman; Kyai, Santri, dan Magarsari, yang senantiasa ber-muwajjahah, bertaqarrub ilallah, memanjatkan Puji-pujian dan do'a demi kemaslahatan ummat, bangsa dan negara, pantaslah bila Gedongan juga dimaknai sebagai GEdhe panDONGANe, Allahumma Amein ...... (ASF)

**********

Tulisan ini didedikasikan bagi Pesantren Gedongan, kampung halaman yang penulis banggakan, bagi orang-orang yang penulis cintai yang kini telah tiada : Abi Ahsan madlani bin 'Afifah dan Ummi Rodliyah Minhaj binti Salikah, juga Kang Abu (Ahmad Busyairi As.) dan Kang Yani (Ahmad Yani As.), Allahummaghfir lahum warhamhum ......

Deskripsi tentang Gedongan ditulis berdasarkan memori penulis di awal tahun 1980-an ketika penulis baru menginjak usia 5 tahun, mohon maaf bila banyak ditemukan kesalahan, Nyuwun ngapuntene ingkang kathah, sanes ngelancangi.

Rabu, 15 April 2009

BUROK

Burok merupakan seni helaran yang sangat populer di Cirebon.

Kemunculan seni Burok berdasarkan tuturan para senimannya (terutama di desa Pakusamben Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon) berawal dari sekitar tahun 1934 seorang penduduk desa Kalimaro Kecamatan Babakan bernama Kalil membuat sebuah kreasi baru seni Badawang (boneka-boneka berukuran besar) yaitu berupa Kuda Terbang Buroq, konon ia diilhami oleh cerita rakyat yang hidup di kalangan masyarakat Islam tentang perjalanan Isra Mi’raj Nabi Muhamad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dengan menunggang hewan kuda bersayap yang disebut Buroq. Di samping itu dalam beberapa kesaksian orang-orang di Cirebon, selain dalam cerita rakyat, masyarakat Cirebon dikenalkan pula sosok Buroq ini dalam lukisan-lukisan kaca yang pada waktu itu cukup popular dan dimiliki oleh beberapa anggota masyarakat di Cirebon. Lukisan kaca tersebut berupa Kuda sembrani (bersayap) dengan wajah putri cantik berwajah putih bercahaya. Pendek kata orang Cirebon tak merasa asing terhadap figur Buroq ini. Maka Kalil melalui kreativitasnya melahirkan sebuah Badawang baru yang diberinama Buroq, sementara keseniannya diberi nama seni genjring Buroq. Di dalam perkembangannya dari Kalil sampai generasi keempat seni Genjring Buroq semakin digemari masyarakat, bahkan tersebar ke pelbagai daerah di luar Cirebon, seperti Losari, Brebes, Banjarharja, Karang Suwung, Ciledug, Kuningan, dan Indramayu. Dewasa ini Burok yang menonjol adalah Genjring Burok Gita Remaja dari desa Pakusamben yang dipimpin Mustofa (bukan keturunan Kalil) sejak 1969 sampai sekarang.



Pertunjukan Burok

Pertunjukan Burok biasanya dipakai dalam beberapa perayaan, seperti Khataman, Sunatan, perkawinan, Marhabaan dll. Biasanya dilakukan mulai pagi hari berkeliling kampung di sekitar lokasi perayaan tersebut. Adapun boneka-boneka Badawang di luar Buroq, terdapat pula boneka Gajah, Macan, dll. Di mana sebelumnya disediakan terlebih dahulu sesajen lengkap sebagai persyaratan di awal pertunjukan. Kemudian ketua rombongan memeriksa semua perlengkapan pertunjukan sambil membaca doa. Pertunjukan dimulai dengan Tetalu lalu bergerak perlahan dengan lantunan lagu Asroqol (berupa salawat Nabi dan Barzanji). Rombongan pertunjukan masih berjalan ditempat, setelah banyak masyarakat yang datang rombongan mulai bergerak dan semakin lama semakin meriah karena masyarakat boleh turut serta menari berbaur dengan para pelaku, sementara kalau dalam acara khitanan, anak sunat dinaikan ke atas Burok dengan pakaian sunat lengkap dan nampak dimanjakan. Sementara anak-anak desa yang ingin naik boneka-boneka Gajah, Macan, Kuda, Kera, dll.
Dipungut uang antara Rp. 500-1000,-. Pada saat arak-arakan, lagu-lagupun berubah tidak lagi lagu Asroqol tetapi lagu-lagu tarling, dangdutan, Jaipongan, seperti Limang Taun, Sego Jamblang, Jam Siji Bengi, Sandal Barepan, Garet Bumi, Sepayung Loroan, Kacang Asin, Tilil Kombinasi, bahkan lagu-lagu yang sedang popular, misalnya Pemuda Idaman, Melati, Mimpi Buruk, Goyang Dombret dll. Sepanjang pertunjukan Burok, tetap boneka Buroq lebih menarik, rupanya yang cantik, dan gerakan-gerakan kaki para pelaku yang bergerak mengikuti irama musik, menjadi disukai masyarakat.



Musik pengiring Burok

Musik pengiring Burok biasanya terdiri dari 3 buah dogdog (besar, sedang, kecil), 4 genjring, 1 simbal, organ, gitar, gitar melodi, kromong, suling, kecrek. Di dalam pertunjukan berfungsi sebagai pengiring tarian juga pengiring nyanyian. Nyanyian dibawakan oleh penyanyi pria dan wanita, kadangkala bergiliran tergantung dari karakter lagu yang dibawakan. Perangkat property atau perlengkapan pertunjukan yang terdiri dari: Sepasang boneka buroq yang biasanya dimainkan oleh empat orang (dua di depan dan dua di belakang), beberapa boneka (badawang) berbentuk binatang yaitu Gajah, Kera, Macan, Kuda, serta sering disemarakan oleh sepasang Badut dengan kostum yang lucu.



Makna pertunjukan Burok

Makna yang tersembunyi dibalik bentuk pertunjukan Burok, antara lain: Makna syukuran bagi siapapun yang menanggap Burok, terutama dianggap sebagai seni pertunjukan rakyat yang Islami; Makna sinkretis bagi yang melihatnya dari tradisi Badawang (boneka-boneka yang ada muncul dari cara berfikir mitis totemistik yang berasal dari hubungan arkaistik sebelum Islam menjadi agama dominan di Cirebon); Makna akulturasi bagi benda yang bernama Buroq (sebagai pinjaman dari daerah Timur Tengah terkait dengan kisah Isra Mi’raj Nabi Muhamad SAW yang dipercayai sebagian masyarakat Cirebon sebagai dongeng dari tempat-tempat pengajian yang diabadikan juga dalam lukisan-lukisan kaca); Makna universal bagi sosok hewan seperti Buroq, yang sebenarnya dapat ditemukan di dalam mitos-mitos bangsa tertentu, misalnya Yunani, terdapat pula mahluk seperti Buroq, yakni Centaur (mahkluk berwujud kuda bertubuh dari dada sampai kepala adalah manusia). Di mana di dalam dunia perbintangan dikenal sebagai rasi Sagitarius. Demikian pula bagi bangsa Mesir, seperti kita kenal pada Sphinx.


Sumber rujukan : Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung

Jumat, 10 April 2009

Data dan Fakta tentang Gedongan

)* klik pada gambar untuk memperbesar tampilan

Dusun/Blok/Cantilan : Gedongan (dikepalai oleh seorang Lugu)
Desa : Ender, dikepalai oleh (Kuwu dan Ngabihi)
Kecamatan : Pangenan
Kabupaten : Cirebon
Propinsi : Jawa Barat
Luas wilayah : ~ ha
Batas Wilayah
- Sebelah Utara : Blok Kubangbango, Desa Ender
- Sebelah Selatan : Mitrok/Clekepu, Desa Getrakmoyan
- Sebelah Barat : Blok Rakit, Desa Ender
- Sebelah Timur : Sungai Pembatan, batas kecamatan (Pangenan-Gebang)

Kondisi Geografis
- Ketinggian tanah dari permukaan laut : ~ m
- Banyaknya curah hujan : ~ mm/tahun
- Suhu Udara Maximum/Minimum (mm) : ~˚ C

Orbitasi (Jarak dari Pusat Pemerintahan Desa)
- Jarak dari Pusat Pemerintahan Kecamatan : ~ km
- Jarak dari Pusat Pemerintahan Kota : ~ km
- Jarak dari Ibukota Propinsi : ~ km
- Jarak dari Ibu Kota Negara : ~ km

Pertanahan
- Jalan : ~ km
- Sawah ladang : ~ ha
- Bangunan Umum : ~ ha
- Pemukiman / Perumahan : 112 ha
- Jalur Hijau : ~ ha
- Pekuburan : ~ m²
- Lain-lain : ~ ha

Kependudukan
Jumlah penduduk : ~ jiwa
- Laki-laki : ~ jiwa
- Perempuan : ~ jiwa
` Kepala Keluarga : ~ KK

Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan
Lulusan Pendidikan Formal :
- TK/TPA : ~ orang
- SD/MI : ~ orang
- SMP/Tsanawiyah : ~ orang
- SMA/Aliyah : ~Orang
- Akademi/D1 – D3 : ~ orang
- Sarjana (S1 – S3) : ~ orang
Lulusan Pendidikan Non Formal :
- Pondok Pesantren : ~ orang
- Madrasah Diniyah : ~ orang
- Sekolah Luar Biasa : ~ orang
- Kursus / Keterampilan : ~ orang

Jumlah penduduk menurut mata pencaharian
- Pegawai Negeri Sipil : ~ orang
- TNI/Polri : ~ orang
- Swasta : ~ orang
- Wiraswasta/pedagang : ~ orang
- Dagang : ~ orang
- Tani : ~ orang
- Pertukangan : ~ orang
- Buruh : ~ orang
- Pensiunan : ~ orang
- Nelayan : ~ orang
- Jasa : ~ orang
- Lain-lain : ~ orang

Sarana & Fasilitas Umum
- Masjid : 1 buah
- Musholla : 2 buah
- Poliklinik/Balai Pengobatan : 1 buah
- Lapangan sepak bola : ~ buah
- Lapangan Volley : ~ buah
- Lapangan Bulu tangkis : ~ buah
- Lapangan Tenis meja : ~ buah

Alat Komunikasi
- Pemilikan Pesawat telepon : ~ buah
- Pemilikan TV : ~ buah
- Pemilikan Radio : ~ buah

Alat Transportasi
- Sepeda : ~ buah
- Gerobak : ~ buah
- Becak : ~ buah
- Sepeda Motor : ~ buah
- Angkutan Kota (Angkot) : ~ buah
- Mobil Pribadi : ~ buah
- Truck : ~ buah

Pertanian & Peternakan
- Hasil Pertanian utama : Padi dan Palawija
- Sayur-sayuran : Kacang panjang, Terong, Lombok, Bawang merah, Ketimun
- buah-buahan : Pisang, Pepaya, Semangka, Mangga, Jambu, Sirsak, Balimbing
Peternakan :
- Ayam kampung : ~ ekor
- Ayam ras : ~ ekor
- Itik : ~ ekor
- Kambing : ~ ekor

Perdagangan
- Toko/kios : ~ buah
- Warung : ~ buah
- Kaki lima : ~ buah

Rabu, 01 April 2009

Ikkikih Ingsun ......


MAGARSARI adalah predikat yang disandang bagi sekelompok kaum atau komunitas yang tinggal dalam lingkup Masyarakat Madani. Bukan cuma predikat, magarsari juga bisa sekaligus menjadi objeknya, karena magarsari merupakan kata majemuk dari "
Magar" dan "Sari", sehingga kalimat "Saya Magarsari" dapat dikatakan sebagai 'kalimat sempurna' (Aljumlah Almufidah) karena sudah mencakup subjek (fi'il), predikat (fa'il), dan objek (maf'ul) di dalamnya.

MAGAR merupakan kata dasar dari '
pagar' atau 'pager', yang sebagian orang Jawa mengartikannya gedek atau geribik, yaitu dinding dari anyaman bambu yang berfungsi sebagai 'tameng' untuk melindungi rumah dari terpaan panas, hujan, angin, debu, dan yang lainnya. Sedangkan SARI merupakan 'inti', atau bagian pokok yang terdapat dalam zat.

Arti sempitnya, MAGAR adalah rumah (
panggonan), dan SARI adalah penghuninya. Dengan demikian, MAGARSARI atau MAGERSARI dapat dikatakan sebagai kesatuan antara tempat tinggal dengan penghuniya, MAGARSARI adalah Singgasana dan Sultannya. Dalam morfologi bunga, MAGARSARI adalah "kelopak(magar) yang melindungi putik(sari)nya".

Dalam
civil society, MAGARSARI adalah komunitas yang hidup pada suatu lingkungan demi mengayomi sang "Penghulu Kaum" (orang yang diutamakan). Ini pula yang dilakukan oleh para sahabat yang setia dan bersahaja hidup 'mengawal' Rasulullah saw. dalam menciptakan MASYARAKAT MADANI.

Niat isun pen Bhakti, Urip-mati melu Kiyai ......