Minggu, 18 April 2010

tulisan pertamaku di blog-ku

Refleksi Sapendak (1 tahun) MagarsariPost

Ketika menulis posting Menjelang Haul Gedongan’ (4/8), pikiran saya terkenang pada tulisan dengan judul ‘Catatan Sungkrah Haul Gedongan’ yang saya tulis hampir satu tahun silam.

Yah, satu tahun silam. Sepertinya masa itu baru saja kemarin, kemarin yang lalu, kemarin dulu, ketika saya pertama kali menulis ‘tulisan pertamaku di blog-ku’.

Tulisan pertamaku berjudul : "Gedongan" Antara Kata, Nama, dan Makna, yang dipublikasikan di blog-ku MagarsariPost | Minggu, 19 April 2009, adalah sebuah curahan kegundahan di tengah maraknya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini melalui akses yang disebut “internet”.

Internet, adalah interkoneksi antar jaringan (web) yang saling terhubung tanpa mengenal batas teritorial, yang secara umum dapat disebut sebagai sumber daya informasi, suatu database atau perpustakaan multimedia yang sangat besar dan lengkap. Namun, jangan dikira bahwa informasi di internet ada dengan sendirinya tanpa ada yang mengelola, tidak. Informasi harus ada yang menggali juga membagi, supaya ketika sewaktu-waktu diperlukan akan dapat disampaikan, sehingga tidak membuat orang gundah seperti pengalaman yang pernah saya alami.

Saya gundah --hal lumrah yang bisa dialami oleh siapa saja-- ketika tidak menjumpai informasi yang saya cari di internet. Kegundahan saya oleh karena data yang saya butuhkan --data tentang Gedongan-- tidak diketemukan, nihil. Meski bagi orang lain data itu tidak penting, tapi bagi saya “Gedongan” memiliki nilai sejarah, karena di sanalah “tempat lahir beta”, yang memendam banyak kenangan dan kisah.

Bermuara dari sinilah akhirnya tumbuh ghirah saya untuk berbagi kepada dunia (maya), ber-tutur tinular tentang Gedongan (dikupas tuntas dalam ‘tulisan pertamaku di blog-ku’). Melalui washilah blog-ku yang kupilihkan nama "MagarsariPost" inilah akhirnya tulisan pertamaku "Gedongan" Antara Kata, Nama, dan Makna terpublikasikan (posting).

Tanpa terasa, peristiwa itu kini telah satu pendak berlalu, telah 31536000 detik terlewati, ketika jari-jemari ini asyik memainkan tombol ketik menguntai kata merangkai kalimat informasi, yang kemudian untaian-untaian kalimat tersebut tersusun dalam bait-bait berirama membentuk paragraf siap posting. Ada asa yang terbersit, ada cita yang tersirat bahwa setiap posting akan jadi informasi dan pengetahuan bagi orang lain. Lembaran-lembaran posting itu kini telah terkumpul, mewarnai ragam cerita yang muncul di jagat maya, menambah perbendaharaan khasanah keilmuan.

Mengenang ‘tulisan pertamaku di blog-ku’, terkenang sapendak perjalanan blog-ku.

Selamat ulang tahun blog-ku!
Hepi besday tu yu...... (ASF).

Kamis, 15 April 2010

Memahami Aswaja

Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah dalam pandangan An-Nahdhiyyah

Seorang teman nun jauh di sana (bertemu dan menjadi kenal di fesbuk) pernah mengajukan usulan untuk menyisipkan kata “Aswaja” pada logo grup fesbuker “batur dhewek”. Satu dari sekian usulan-usulan yang diterima sebagai bentuk apresiasi “wong dewek” atas terbentuknya Forum Komunikasi Braya lan sedulur (FKBS) Gedongan – Cirebon. Saya mengira-ngira, mungkin maksud usulan tersebut supaya lebih menonjolkan identitas kesantrian, mengingat grup batur dhewek lahir dan dibidani oleh wong Gedongan yang notabene dapat dikatakan sebagai kaum santri.

Namun maaf --1000 kali-- bukan berarti mengabaikan kalau akhirnya usulan tersebut belum bisa direalisasikan. Menghindari retorika yang hanya sekedar slogan, akan lebih baik bila kita sama-sama memahami lebih dalam kemudian mengamalkan ajarannya.

ASWAJA adalah kependekan dari “Ahlu Sunnah wal Jama’ah”. Dari segi bahasa ahlu berarti “kelurga”, As-Sunnah berarti “cara (jalan) Nabi”, Al- Jama’ah berarti “kelompok yang terorganisir”. Sedangkan secara luas pengertian Aswaja adalah kaum yang mengikuti jalan dan kepercayaan yang dianut oleh Nabi Muhammad Saw serta sahabatnya. Dalam sebuah hadis Nabi, kalimat ini sudah dikenal;

عن عبد الله بن عمرو ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «ستفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة ، كلها في النار إلا واحدة ما أنا عليها اليوم وأصحابي

Artinya : Dari Abudullah bin Amr, beliau mengatkan, Nabi telah bersabda : "Akan pecah umatku menjadi tiga puluh tiga kelompok, semua akan masuk ke neraka, kecuali satu, apa yang Aku berada di atasnya bersama sahabatku".

Dalam hadis lain, sabahat bertanya kepada Nabi : ”siapa yang selamat?” Nabi menjawab : "ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah”.

Di sisi lain, hadis ini redaksinya sangat banyak, sehingga para ulama menetapkan hadis ini sebagai hadis shahih. Wong NU menjadikan hadis di atas sebagai dasar pengambilan kalimat ”ahlussunnah wal jama’ah”.

Jadi, ajaran Aswaja adalah ajaran Allah SWT yang telah diwahyukan kepada para pengikutnya. Para sahabat sebagai generasi terbaik juga mengamalkan ajaran Aswaja, yang kemdudian diajarkan kembali kepada generasi berikutnya hingga saat ini.

Beberapa pakar ulama’ berkomentar tentang makna ”Aswaja”, secara umum makna Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pembanding Syi’ah, termasuk Mu’tazilah dan kelompok lainnya, sedangkan makna khâshsh-nya, wong NU mengatakan bahwa “Aswaja” adalah kelompok Asy’ariyah (pengikut mazhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari). Al-Maturidiyah adalah sebuah konsep “aqidah” yang selaras dengan al-Asariyah, tidak seperti Mu’tazilah dan Jabariyah. Dalam urusan fikih, Imam Syafii adalah madzhabnya, mereka juga mengakui Madzhab Imam Abu Hanifah, Maliki dan Ibnu Hambal.

Pengertian yang diusung oleh Dr. Ahmad ‘Abd Allah At-Thayyar dan Dr. Mubarak Hasan Husayn dari Universitas Al-Azhar mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mendapat petunjuk Allah Swt, dan mengikuti sunnah Rasul, serta mengamalkan ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara praktik dan menggunakannya sebagai manhaj (jalan pikiran) dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Semua kelompok keagamaan juga mengaku pengikut Aswaja, termasuk Arab Saudi. Mereka, orang Saudi (Wahabi), seringkali mengklaim bahwa mereka adalah kelompok yang paling berpegang teguh pada sunnah. Begitu juga, beberapa kelompok, seperti Salafi, Muhammadiyah, Persis, HT (Hizbut Tahrir), serta banyak lagi. Syeh Yusul al-Qodowi mengatakan bahwa yang dimaksud Aswaja adalah ”kelompok yang benar-benar mengikuti sunnah Nabi dan tidak bertengtangan dengan Sunnah”. Adapun keberadaan kelompok-kelompok kegamaan yang berkembang sekarang, perlu dibuktikan sejauhmana mereka berpegang teguh dan mengamalkan sunnah Nabi. Jika kelompok tersebut keluar dari koridor sunnah, maka tidak berhak mengklaim “Aswaja”.

Dalam kontek Wong NU, Aswaja itu meliputi tiga unsur; peratma (akidah), kedua (Syariah), dan ketiga Akhlaq (al-Ihsan). Ketiga unsur itu, merupakan satu kesatuan ajaran yang mencakup semua aspek prinsip keagamaan Islam. Wong NU tidak hanya cukup dengan tiga unsur, urusan suluk (prilaku) tasawwuf berkiblat pada Imam al-Ghozali dan Imam al-Junaidi. Jadi, NU selalu mengedepankan “Tawassut dan I’tidal”, artinya wong NU tidak mendewakan Akal, dan juga tidak meniadakan dalil. Keseimbangan dan tengah adalah ciri khas ajaran Aswaja wong NU.

Maksud tawassut (tenggah-tenggah) adalah suatu sikap yang mempertahankan budaya lama yang masih relevan dan tidak bertentangan dengan syariat, dan menerima budaya baru yang lebih baik. Jadi Wong NU selalu terbuka, tidak apriori terhadap masalah-masalah tertentu yang sedang berkembang.

Jadi, wajar jika sering kita temukan sikap NU yang selalu mengambil jarak terhadap persoalan-pesoalan politik, budaya, dll. Wong NU yang berhalaun Aswaja juga tidak 'galak' (keras) seperti FPI, HTI, dan juga tidak 'lembek' yang tidak berani menyuarakan kebenaran. Seringkali NU dianggab kelompok ahli Bid’ah, syirik, khurafat, bahkan tidak sedikit orang mendengar NU bersikap acuh, bahkan terkesan menghina. Sebaliknya, Wong NU seringkali melihat para pelajar Timur Tengah dengan sinis ”Mereka Wahabi”, sehingga belum ada titik temunya antara Aswaja NU vs Aswaja di luar NU. Setelah berkali-kali dicari titi temunya, tenyata memang tidak bisa ketemu kecuali menjunjung sikap “tasammuh”.

mengutip dari http://new-media.kompasiana.com/

Minggu, 11 April 2010

Ihwal tradisi Haulan dan Muludan

oleh : Hamzah Sahal *)

Dalam sebuah hajatan haulan (peringatan hari kematian) almaghfurlah KH. Ali Ma’shum di Pondok Pesantren Krapyak Jogjakarta, almaghfurlah KH. Fuad Hasyim (Pengasuh Pondok Pesantren Buntet Cirebon) menjelaskan pentingnya menyelenggarakan haulan seorang tokoh. ”Ada tiga alasan kenapa disunnahkan menyelenggarakan haulan seorang tokoh masyarakat” kata Kang Fuad –demikian KH Fuad Hasyim biasa dipanggil.

Pertama, pentingnya arti mengingat kematian. Kita harus selalu ingat bahwa Allah SWT siap mengambil nyawa kita tanpa perlu permisi. Alasan kedua, kita butuh mengenang jasa-jasa orang saleh seperti kiai atau ulama. Kenapa kebutuhan? Jawabnya, agar kita bisa meniru, menghidupkan lagi, menyebarkan, amal-amal saleh yang telah dilakukan olehnya. Dengan kata lain, haulan adalah sebuah upaya melanjutkan sunnah hasanah (tradisi baik) yang telah dilakukan almarhum. Kalau ini bisa dilakukan dengan baik, maka pahala bukan hanya kita yang mendapatkan, tapi juga bagi almarhum.

Alasan ketiga, kata Kang Fuad, tak kalah pentingnya adalah, mendoakan almarhum. Orang Jawa biasa menyebutnya dengan kirim dungo, mengirimkan do'a. Ritual kirim dungo yang dilakukan secara berjama’ah tidak hanya berdimensi transendental (Tuhan), tapi juga sosial. Haulan merupakan forum perjumpaan dan solidaritas sosial (silaturahim). Sebab, dengan berkumpul atau berjama’ah, jaring-jaring sosial akan semakin kukuh.

Saya masih ingat, bagaimana gaya almarhum Kang Fuad menjelaskan makna dan fungsi haulan dengan panjang lebar, namun tetap ringan, mudah dipahami dan menghibur. Kang Fuad memang dikenal "singa podium". Ia bukan saja alim ilmu agama dan sempurna menguasi retorika, tapi juga bersuara merdu, sehingga ia selalu menyelipkan dua atau tiga lagu berbahasa Arab atau Jawa dalam tiap cermahnya, tentu saja shalawat kepada Nabi SAW tak ketinggalan. “Hebatnya”, Kang Fuad tidak selalu menyelipkan dalil-dalil agama (nash Al-Qur’an, hadits, serta pendapat para ulama). Kenapa “hebat”? Karena ia yakin bahwa “tindakan agama” tidak musti disandarkan pada “dalil-dalil agama” (tekstual/nash, Al-Quran dan hadits). Dan memang, ritual haulan tidak ada dalil agamanya, secara khusus dan tersurat.

Kenapa bukan muludan (hari kelahiran) yang diperingati?” tanya Kang Fuad kepada jama’ah. Lalu Kang Fuad menjawab pertanyaannya sendiri dengan fasih dan lancar. “Inilah perbedaan antara kita sebagai manusia biasa dengan Nabi Muhammad sebagai rasul Tuhan. Peringatan muludan hanya layak kita rayakan untuk Baginda Nabi Muhammad SAW, karena kelahirannya membawa cahaya dan kabar gembira, juga peringatan. Kehadirannya dipastikan akan memberi jalan untuk mendapatkan hidayah Tuhan, mengejawantahkan akhlak mulia dan beradaban, mewujudkan kemaslahatan bagi semua, serta bergerak untuk keadilan sosial di muka bumi ini. Semuanya pasti akan dilakukan oleh Muhammad sebagai sang rasul. Sementara kita, hanya manusia biasa, tidak punya tugas seberat seperti Rasulullah. Peringatan ulang tahun (muludan) Muhammad diselenggarakan untuk mengingatkan akan fungsi kenabiannya”.

Bagaimana dengan pesta ulang tahun yang sudah membudaya di masyarakat kita?” Kang Fuad bertanya lagi. Lalu ia menjawab sendiri dengan singkat tapi gamblang, “Peringatan ulang tahun atau biasa disingkat dengan "ultah" sebetulnya bukan tradisi kita. Namun, kita tidak bisa menghentikan kebiasaan/kultur (‘adah) yang sudah melekat kuat di masyarakat dengan serta-merta dan semena-mena”.

Kita, sebagai umat Islam yang toleran dan kreatif musti bisa ‘memasuki’ perayaan ultah supaya tidak melanggar aturan agama. Lebih dari itu, kita wajib menggunakan sarana ultah biar muncul manfaatnya. Biar berisi, tidak hanya tiup lilin dan makan-makan saja”.

Pertanyaan penting dilontarkan lagi sesaat kemudian, “Bagaimana sikap kita kepada orang yang menghukumi bid’ah, baik acara haulan ataupun muludan? kata mereka bid’ah itu sesuatu yang tidak diajarkan agama atau Nabi Muhammad. Semua bid’ah itu sesat. Dan tiap kesesatan adalah dosa”.

Pertanyaan teologis itu hanya dijelaskan saja oleh Kang Fuad, “Kita tidak usah menghiraukan pendapat orang yang belum mengerti itu. Selagi tidak mengganggu, tidak apa-apa, biarkan saja. Tidak perlu dihardik. Pada suatu saat nanti mereka akan mengerti, dan melihat ada manfaat pada ibadah haulan dan muludan itu. Dan mereka akan mengikutinya

***

Saya teringat kembali isi ceramah KH Fuad Hasyim di atas lantaran bulan-bulan pertama tahun ini melihat perayaan-perayaan muludan (baik kelahiran orang, gerakan sosial tertentu, organisasi, dll.) atau haulan itu marak diselenggarakan di kota-kota, bahkan di komunitas yang dulu getol melontarkan istilah bid’ah dengan tidak bersahabat. Ingatan itu masih terekam dengan baik, karena saya mencatatnya dalam buku harian yang kini bau debu, kumal dan tidak menarik.

Pada bulan Februari, orang-orang Islam di kota telah memperingati hari kelahiran KH. Abdul Karim Amrullah yang keseratus tahun, atau seabad. Profil Buya Hamka –demikian nama populer KH. Abdul Karim Amrullah- diseminarkan, karya-karya dan pemikirannya diulas kembali di media-media masa, manakib-nya diwiridkan di depan massa yang berkumpul di masjid Agung Al-Azhar Jakarta, dll. Semuanya digelar untuk mengenang jasa-jasanya yang memang besar dan bermanfaat bagi generasi sesudahnya.

Bulan berikutnya, Maret, publik juga melihat peringatan 85 tahun Fatmawati. Dengan performence yang lebih “art”, Fatmawati yang istri Bung karno ini dihadirkan kembali lewat pameran lukisan, pakaian, pernak-pernik, semua benda-benda peninggalannya, dll. Tentu juga menyajikan pidato-pidato yang berkenaan dengan “Sang Penjahit” merah-putih.

Hal serupa, peringatan kelahiran, juga digelar untuk mengenang 100 tahun Sutan Takdir Alisahbana (STA). Dan meskipun samar-samar, lewat sebuah artikel, penggemar almarhum Nurkholis Madjid memperingati 1000 hari kematiannya.

Bulan Februari dan Maret yang sudah berlalu ini kita banyak menyaksikan perayaan-perayaan seorang tokoh, tak lupa, di dalamnya ada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, tentu orang Islam yang merayakannya. Di bulan April ada peringatan hari Kartini. Sebad Kebangkitan Nasional juga dirayakan dengan gegap gempita bulan Mei.

Dengan segala bentuk dan caranya, hari peringatan, baik muludan maupun haulan, merupakan fenomena rakyat yang telah memasyarakat selama berabad-abad. Dalam rumusan antropolog Victor Turner, aktivitas haulan ataupun muludan yang reguler diistilahkan dengan momentum “liminal”.

Disebut “liminalitas” karena di dalamnya melibatkan partisipasi komunitas/jama’ah (bukan individu) serta dilaksanakan secara istiqomah pada waktu dan tempat yang telah disepakati bersama, yang tentunya terbuka. Momentum liminalitas ini banyak ditemui pada komunitas masyarakat tradisional di negeri ini. Sekedar menyebutkan contoh, di Aceh ada Hari Raya Megang, Yogyakarta ada Sekaten, di Klaten ada Yaqawiyyu, di Cirebon ada Syawalan dan Muludan, di Lombok ada Mandi Safar, dll., dan tentunya ritual-ritual hari raya agama (Lebaran, Nyepi, Natal, dll.). Momentum liminal ini diyakini memiliki makna yang dalam bagi pelakunya dan akan ikut mengubah perjalanan pada yang lebih baik, orang Jawa menyebutnya Berkah.

Nah, liminalitas haulan dan muludan ini berasal dari imajinasi kolektif bahwa peristiwa tersebut merupakan momentum penting yang diharapkan dapat menyegarkan dan menambah pengalaman kehidupan sosial di hari depan.

Sudah barang tentu, ritual haulan dan muludan mensyaratkan ongkos, baik material ataupun nonmateri. Tapi ongkos itu bukanlah kemubadziran atau kesiasiaan, apalagi bid’ah dhalalah, seperti yang kerap dituduhkan. Ongkos itu dikeluarkan dengan sadar dan ikhlas demi memupuk spiritualitas, menjalin tali solidaritas, dan perjumpaan antar sesama yang lebih manusiawi.

*) Alumni PP. Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta

sumber : http://www.pondokpesantren.net/
[untuk keperluan artikel, sengaja tidak disertakan penulisan tahun]

Kamis, 08 April 2010

Menjelang Haol Gedongan

Tidak kurang satu bulan ke depan dari hari ini, Pondok Pesantren Gedongan-Cirebon akan menggelar hajat tahunan “HAOL”. Hajat ini menjadi agenda rutin pesantren salaf yang berlokasi di cantilan Desa Ender Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon.

Haol di Pesantren Gedongan menjadi hal penting karena helatan ini diselenggarakan dalam rangka mengenang wafatnya Almarhum Almaghfurlah KH. Muhammad Said, pendiri pesantren yang gedhe’ pandongane, Gedongan.

Agar lebih memamahi dan dapat meresapi ritual sakral tersebut, posting kali ini sengaja membahas tentang rangkaian acara haol dan hikmah serta manfaatnya. Semoga bermanfaat!


Rangkaian Acara Haol dan Hikmahnya


Seperti pernah diuraikan dalam posting Catatan 'Sungkrah' Haol Gedongan, bahwa : ...... inti daripada helatan Haol Gedongan adalah berziarah di makbarah/kuburan Gedongan untuk melakukan tahlil massal. Sebelumnya, acara didahului dengan penyampaian atau pembacaan manaqib oleh tokoh atau ulama yang telah ditunjuk ......

Berdasarkan catatan di atas, helatan haol (yang digelar sore hari usai shalat ashar) merupakan rangkaian acara yang bila dirinci terdiri dari : ziarah kubur, tabarrukan, pembacaan manaqib, tahlil massal dan do'a untuk ahli kubur. Rangkaian acara tersebut bila ditelusuri mengandung banyak hikmah dan manfaat di dalamnya.

1. Ziarah kubur

Hikmah dan manfaat yang dapat dipetik dari ritual ini antara lain : Pertama, Ziarah kubur akan mengingatkan kita pada kematian sehingga dapat memberikan pelajaran (ibrah); Kedua, Dalam berziarah kubur kita mendo'akan keselamatan bagi orang-orang yang telah meninggal dunia dan memohonkan ampunan bagi mereka; dan Ketiga, Melakukan ziarah kubur termasuk mengamalkan dan menghidupkan sunnah yang telah diajarkan oleh Rasulullah dan para shahabatnya.

2. Tabarrukan

Tabarrukan atau ngalap berkah masih merupakan bagian dari ziarah kubur. Diyakini bahwa makam atau kuburan para nabi serta para auliya, atau shalihien juga ulama mengandung keberkahan. Seperti apa yang dikatakan Al-Imam Abul Faroj Ibnul Jauzy Al-Hanbaly dalam kitab Manaqib Ma'ruf Al-Karkhy, menukil perkataan gurunya Ibrahim Al-Harby beliau berkata : “Kuburan Ma'ruf Al-Karkhy adalah obat penawar yang ampuh”. Begitu juga halnya dengan penuturan Imam Syafi'ie ra yang mengatakan : “Setiap kali aku ada kesulitan maka aku shalat dua rakaat dan berziarah di kuburan imam Abu Hanifah, lalu hajatku terkabul berkat aku berziarah kepadanya". (Manaqib Imam Syafi'ie)

Dikisahkan pada zaman Khilafah Umar bin Khatthab ra. terjadi kemarau panjang. Kemudian ada seorang pemuda yang mendatangi kuburan Nabi saw dan dia berkata : “Wahai Rasulullah mohon hujanlah (kepada Allah) untuk ummatmu karena mereka akan binasa”. Lalu (malam harinya) Nabi saw mendatangi si pemuda tersebut dalam mimpinya, dan beliau berpesan : “Datangilah Umar dan sampaikan salam dariku. Katakan kepada mereka bahwa mereka akan disirami hujan. Dan hendaknya kamu mendahulukan orang yang pandai”.

Dalam kitab Fathul Barry disebutkan bahwa pemuda yang datang ke kuburan Nabi saw dan bermimpi tersebut adalah Bilal bin Al-Harits Al-Muzanny RA. salah seorang shahabat Nabi saw yang masyhur.

4. Manaqib


Manaqib adalah bentuk jamak dari manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang. Membaca manaqib artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya seseorang. Saat mengadakan peringatan haol dianjurkan untuk membacakan manaqib, yang tujuannya antara lain untuk meneladani dan untuk ber-husnu dzan kepada ahli kubur yang dihaoli.

Ibnu Abd Salam
mengatakan, pembacaan manaqib tersebut adalah bagian dari perbuatan taat kepada Allah SWT karena bisa menimbulkan kebaikan. Karena itu banyak para sahabat dan ulama yang melakukannya di sepanjang masa tanpa mengingkarinya.

3. Tahlil Massal


Tahlil adalah ungkapan dzikir “Laa Ilaaha Illallah” (bukan Ilaah selain Allah) yang bertujuan untuk menanamkan tauhid di tengah suasana keharuan duka yang sentimental dan sugestif. Tahlil massal merupakan pelaksanaan tahlilan yang dilakukan secara bersama-sama.

Dalam hadits dijelaskan, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Perbaharuilah imanmu!”. Seorang sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana cara memperbaharui iman?” Beliau menjawab : “Perbanyaklah tahlil”.

Ibnu Taimiyah menegaskan masalah tahlil dengan keterangannya sebagai berikut : “Jika seseorang membaca tahlil sebanyak 70.000 kali, kurang atau lebih dan (pahalanya) dihadiahkan kepada mayit, maka Allah memberikan manfaat dengan semua itu”. (Fatawa XXIV/323).

Memang berkumpul untuk membaca tahlilan ini tidak pernah diamalkan pada zamannya Rasulallah saw. dan para sahabat. Itu memang bid’ah (rekayasa), tetapi bid’ah hasanah (rekayasa baik), karena sejalan dengan dalil-dalil hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat rekayasa terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah (secara massal), bukan terletak pada bacaan yang dibaca pada majlis tersebut. Karena bacaan yang dibaca disana banyak diriwayatkan dalam hadits Rasulallah saw. Tidak lain semuanya ini sebagai ijtihad para ulama-ulama pakar untuk mengumpulkan orang dan mengamalkan hal tersebut.

Prosesi tahlilan sendiri diawali dengan pembacaan hadrah oleh imam tahlil, kemudian bersama seluruh jamaah membaca Surat Yasin, Surat Al-Ikhlas, Surat Al-Falaq dan Surat An-Naas hingga Surat Al-Fatihah, lalu diteruskan membaca sebagian surat Al-Baqarah (awwaluhu, wa awsatuhu, wa’akhiruhu), sholawat nabi, tasbih, tahawwul dan tahlil.

5. Doa untuk ahli kubur

Doa untuk ahli kubur dibacakan setelah prosesi tahlil selesai, dengan hajat agar pahala tahlil yang telah sama-sama dipanjatkan dihadiahkan untuk ahli kubur, almarhumin/almarhumat, juga agar kaum muslimin-muslimat, yang masih hidup maupun telah wafat, diampuni segala dosanya oleh Allah swt.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. selalu berziarah ke makam para syuhada di bukit Uhud pada setiap tahun. Sesampainya di Uhud beliau memanjatkan doa sebagaimana terdapat dalam surat Al-Qur’an Surat Ar-Ra’d ayat 24 yang berbunyi :

سَلاَمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ

Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.

Dan telah disebutkan sebelumnya sabda Rasulullah saw. Jika kamu menyalati mayit, maka ikhlaslah dalam berdoa. Dan juga doa Rasulullah saw. "Ya Allah ampunilah orang-orang yang hidup dan yang mati kami (umat Nabi)". Ulama’ salaf dan kholaf selalu mendoakan orang-orang mati dan mereka memohonkan kepadanya rahmat dan ampunan, tanpa seorang pun mengingkarinya.


Dalil Penyelenggaraan Haol


Dalil mengenai haol adalah berdasarkan hadits yang menerangkan bahwa junjungan kita Sayyidina Muhammad saw. Telah melakukan ziarah kubur pada setiap tahun yang kemudian diikuti oleh sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dari al-Waqidy. yang artinya demikian :

Al-Waqidy berkata : “Nabi Muhammad saw. berziarah ke makam syuhada’ uhud pada setiap tahun, apabila telah sampai di makam syuhada’ uhud beliau mengeraskan suaranya seraya berdoa : "Keselamatan bagimu wahai ahli uhud dengan kesabaran-kesabaran yang telah kalian perbuat, inilah sebaik-baik rumah peristirahatan". Kemudian Abu Bakar pun melakukannya pada setiap tahun begitu juga Umar dan Utsman.

Inilah yang menjadi sandaran hukum syar'i bagi pelaksanaan peringatan haol atau acara tahunan untuk mendoakan dan mengenang para ulama, sesepuh dan orang tua yang telah pergi mendahului kita.


Ikhtitaam


Para ulama memberikan arahan yang baik tentang tata cara dan etika peringatan haol. Dalam al-Fatawa al-Kubra Ibnu Hajar mewanti-wanti, jangan sampai menyebut-nyebut kebaikan orang yang sudah wafat disertai dengan tangisan.

Ibnu Abd Salam
menambahkan, di antara cara berbela sungkawa yang diharamkan adalah memukul-mukul dada atau wajah, karena itu berarti berontak terhadap qadha yang telah ditentukan oleh Allah SWT.

Dan hendaknya jadikan haol sebagai momen "PERINGATAN" --acara sakral yang memiliki kecenderungan kepada tadzkiroh, midanget, atau pengeling-- bukan sebagai ajang "PERAYAAN" yang lebih condong kepada keramaian, hura-hura dan pesta pora. Sebab bila yang lebih ditonjolkan adalah perayaan, maka ruh atau jatidiri daripada haol akan hilang, karena momen yang mestinya menjadi perenungan terkubur oleh kemeriahan dan hingar bingar. Walhasil, kesemerakan dan keriuhan haol bukanlah sebagai tujuan.

Wallahu a'lam bish-shawaab ...... (ASF/diolah dari berbagai sumber)

Senin, 05 April 2010

Ribuan Zairin Hadiri Haul Buntet

Ahad, 04/04/2010 - 21:03

SUMBER, (PRLM).- Ribuan Zairinn (peziarah) terutama dari kalangan nahdiyin dari berbagai daerah menghadiri puncak acara haul di Pesantren Buntet, Kab. Cirebon yang berlangsung Ahad (4/4) dini hari. Kegiatan yang dipusatkan di halaman depan masjid pusaka Buntet Pesantren peninggalan Mbah Muqoyim itu dihadiri pula oleh sejumlah tokoh ulama dan pejabat daerah maupun pusat.

Mereka yang hadir antara lain, Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Helmy Faisal Zaini, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) yang baru terpilih, KH. Said Aqil Sirodj, Kepala Badan Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan (BKPP) Wilayah Cirebon, H. Ano Sutrisno, Bupati Cirebon H. Dedi Supardi, Ketua MUI Kab. Cirebon, K.H. Dja'far Aqil Sirodj, Pemimpin Redaksi HU. Kabar Cirebon/Ketua KNPI Kab. Cirebon, Diding Karyadi, puluhan kiai, dan lainnya.

Sesepuh Pondok Pesantren Buntet, KH. Nahduddin Royandi Abbas, dalam sambutannya mengungkapkan, tujuan diadakannya haul salah satunya untuk menghormati dan mengenang jasa serta perjuangan para Kiai Buntet. Seperti Mbah Muqoyim yang telah mencontohkan keikhlasan mereka untuk menumpas penjajah dan melakukan siar Islam.

Diakuinya, para pengasuh pondok pesantren senantiasa berusaha untuk mempertinggi ilmu sekaligus membawa para santri menjadi lebih pintar. Mereka juga menjadi lebih alim. Namun, di balik itu semua kita mengutamakan akhlakul karimah kepada mereka. "Karena tidak mungkin pesantren mempertinggi keilmuwan tanpa mempertinggi akhlak bagi para santrinya," katanya. (A-146/das)***

sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/

Kamis, 01 April 2010

APRIL MOP; Tragedi Pembantaian Massal Umat Islam Spanyol

BULAN APRIL telah tiba, ada suatu kebiasaan jahiliah yang patut kita waspadai bersama sebagai seorang Muslim; 01 April diperingati sebagai hari April Mop, yang artinya hari dimana orang-orang diperbolehkan menipu dan berbohong kepada orang lain.


Fakta Sejarah tentang April Mop

Sebenarnya, April Mop adalah sebuah perayaan hari kemenangan atas dibunuhnya ribuan umat Islam Spanyol oleh tentara salib yang dilakukan lewat cara-cara penipuan. Sebab itulah, mereka merayakan April Mop dengan cara melegalkan penipuan dan kebohongan walau dibungkus dengan dalih sekadar hiburan atau keisengan belaka.

Walaupun belum sepopuler perayaan tahun baru atau Valentine's Day, budaya April Mop dalam dua dekade terakhir memperlihatkan kecenderungan yang makin akrab di masyarakat perkotaan, terutama di kalangan anak muda. Bukan mustahil, ke depan akan meluas ke masyarakat yang tinggal di pedesaan. Ironisnya, masyarakat dengan mudah meniru kebudayaan Barat ini tanpa mengkritisinya terlebih dahulu, apakah budaya itu baik atau tidak, bermanfaat atau sebaliknya.

Perayaan April Mop berawal dari suatu tragedi besar yang sangat menyedihkan dan memilukan? April Mop, atau The April's Fool Day, berawal dari satu episode sejarah Muslim Spanyol di tahun 1487 M, atau bertepatan dengan 892 H.

Sejak dibebaskan Islam pada abad ke-8 Masehi oleh Panglima Thariq bin Ziyad, Spanyol berangsur-angsur tumbuh menjadi satu negeri yang makmur. Pasukan Islam tidak saja berhenti di Spanyol, namun terus melakukan pembebasan di negeri-negeri sekitar menuju Perancis.

Perancis Selatan dengan mudah dibebaskan. Kota Carcassone, Nimes, Bordeaux, Lyon, Poitou, Tours, dan sebagainya jatuh. Walaupun sangat kuat, pasukan Islam masih memberikan toleransi kepada suku Goth dan Navaro di daerah sebelah barat yang berupa pegunungan.


Islam telah menerangi Spanyol

Karena sikap para penguasa Islam yang begitu baik dan rendah hati, banyak orang-orang Spanyol yang kemudian dengan tulus dan ikhlas memeluk Islam. Muslim Spanyol adalah muslim yang sungguh-sungguh mempraktikkan kehidupan secara Islami. Keadaan tenteram seperti itu berlangsung hampir enam abad lamanya. Selama itu pula kaum kafir yang masih ada di sekeliling Spanyol tanpa kenal lelah terus berupaya membersihkan Islam dari Spanyol, namun selalu gagal. Maka dikirimlah sejumlah mata-mata untuk mempelajari kelemahan umat Islam Spanyol.

Selama itu pula kaum kafir yang masih ada di sekeliling Spanyol tanpa kenal lelah terus berupaya membersihkan Islam dari Spanyol, namun mereka selalu gagal. Telah beberapa kali dicoba tapi selalu tidak berhasil. Dikirimlah sejumlah mata-mata untuk mempelajari kelemahan umat Islam di Spanyol. Akhirnya mata-mata itu menemukan cara untuk menaklukkan Islam di Spanyol, yakni pertama-tama harus melemahkan iman mereka dulu dengan jalan serangan pemikiran dan budaya.

Maka mulailah secara diam-diam mereka mengirim alkohol dan rokok secara gratis ke dalam wilayah Spanyol. Musik diperdengarkan untuk membujuk kaum mudanya agar lebih suka bernyanyi dan menari ketimbang baca Qur’an. Mereka juga mengirim sejumlah ulama palsu yang kerjanya meniup-niupkan perpecahan di dalam tubuh umat Islam Spanyol. Lama-kelamaan upaya ini membuahkan hasil.

Akhirnya Spanyol jatuh dan bisa dikuasai pasukan Salib. Penyerangan oleh pasukan Salib benar-benar dilakukan dengan kejam tanpa mengenal peri kemanusiaan. Tidak hanya pasukan Islam yang dibantai, juga penduduk sipil, wanita, anak-anak kecil, orang-orang tua, semuanya dihabisi dengan sadis.

Satu persatu daerah di Spanyol jatuh, Granada adalah daerah terakhir yang ditaklukkan. Penduduk-penduduk Islam di Spanyol (juga disebut orang Moor) terpaksa berlindung di dalam rumah untuk menyelamatkan diri. Tentara-tentara Kristen terus mengejar mereka.

Ketika jalan-jalan sudah sepi, tinggal menyisakan ribuan mayat yang bergelimpangan bermandikan genangan darah, tentara Salib mengetahui bahwa banyak Muslim Granada yang masih bersembunyi di rumah-rumah.

Dengan lantang tentara Salib itu meneriakkan pengumuman, bahwa para Muslim Granada bisa keluar dari rumah dengan aman dan diperbolehkan berlayar keluar dari Spanyol dengan membawa barang-barang keperluan mereka. “Kapal-kapal yang akan membawa kalian keluar dari Spanyol sudah kami persiapkan di pelabuhan. Kami menjamin keselamatan kalian jika ingin keluar dari Spanyol, setelah ini maka kami tidak lagi memberikan jaminan!”. Demikian bujuk tentara Salib.

Orang-orang Islam masih curiga dengan tawaran ini. Beberapa dari orang Islam diperbolehkan melihat sendiri kapal-kapal penumpang yang sudah dipersiapkan di pelabuhan. Setelah benar-benar melihat ada kapal yang sudah dipersiapkan, maka mereka segera bersiap untuk meninggalkan Granada bersama-sama menuju ke kapal-kapal tersebut. Mereka pun bersiap untuk berlayar.

Keesokan harinya, ribuan penduduk Muslim Granada yang keluar dari rumah-rumahnya dengan membawa seluruh barang-barang keperluannya beriringan jalan menuju pelabuhan. Beberapa orang Islam yang tidak mempercayai tentara Salib bertahan dan terus bersembunyi di rumah-rumahnya.

Setelah ribuan umat Islam Spanyol berkumpul di pelabuhan, dengan cepat tentara Salib menggeledah rumah-rumah yang telah ditinggalkan penghuninya. Lidah api terlihat menjilat-jilat angkasa ketika para tentara Salib itu membakari rumah-rumah tersebut bersama orang-orang Islam yang masih bertahan di dalamnya.

Sedang ribuan umat Islam yang tertahan di pelabuhan hanya bisa terpana ketika tentara Salib juga membakari kapal-kapal yang dikatakan akan mengangkut mereka keluar dari Spanyol. Kapal-kapal itu dengan cepat tenggelam. Ribuan umat Islam tidak bisa berbuat apa-apa karena sama sekali tidak bersenjata. Mereka juga kebanyakan terdiri dari para perempuan dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Sedang tentara Salib itu telah mengepung mereka dengan pedang terhunus.

Dengan satu teriakan dari pemimpinnya, ribuan tentara Salib itu segera membantai dan menghabisi umat Islam Spanyol tanpa perasaan belas kasihan. Jerit tangis dan takbir membahana. Dengan buas tentara Salib terus membunuhi warga sipil yang sama sekali tidak berdaya.

Seluruh Muslim Spanyol di pelabuhan itu habis dibunuh dengan kejam. Darah menggenang di mana-mana. Laut yang biru telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman. Tragedi ini bertepatan dengan tanggal 01 April. Inilah yang kemudian diperingati oleh dunia Kristen setiap tanggal 01 bulan April sebagai April Mop (The Aprils Fool Day).

Siapapun orang Islam yang turut merayakan April Mop, maka ia sesungguhnya tengah merayakan ulang tahun pembunuhan massal ribuan saudara-saudaranya di Granada, Spanyol, 5 abad silam.

Jadi, perhatikan sekeliling Anda, anak Anda, atau Anda sendiri, mungkin terkena virus April Mop sebagaimana virus Valentine’s Day tanpa kita sadari. (rizki/eramuslim recycled)