Rabu, 23 Februari 2011

Tragedi Terbakarnya KMP Laut Teduh II


Kisah Tragis Wong Gedongan Berjibaku Mempertahankan Nyawa di Tengah Lautan

Masih ingat peristiwa Kebakaran KMP Laut Teduh II di perairan laut pulau Tempurung, Anyer Provinsi Banten, Jumat (28/1)?. Dalam peristiwa itu tercatat 13 Penumpangnya dilaporkan meninggal dunia, sementara 427 orang termasuk 31 ABK berhasil diselamatkan. Dari sekian penumpang yang selamat, 6 diantaranya adalah anggota keluarga asal Gedongan Desa Ender Kecamatan Pangenan Kabupaaten Cirebon yang berniat hendak mengunjungi keluarga mertua di Lampung sekaligus Mapag Pengangten. Keenam keluarga asal Gedongan itu adalah Maghfur alias Apung (35) beserta istrinya Marwah (25) dan anaknya Mahfudoh (3), kemudian kakak kandung Apung, Bariroh (37) serta anaknya Zakiyatul Miskia (9 bulan) dan keponakan Apung, Siti Khulah (20). Untuk bisa selamat, mereka berjibaku di tengah lautan dan berjuang melawan dinginnya air serta hantaman ombak.

Tak banyak yang dirasakan saat akan meninggalkan rumah. Hanya saja, Bariroh membawa semua baju anaknya seperti akan berpergian lama. “Mungkin ini bisa jadi firasat saya, saat mau berangkat saya senang sekali dan semua baju-baju anak saya di lemari saya bawa. Padahal keberangkatan ke Lampung sudah dicegah oleh semua keluarga, katanya nanti saja hari Senin, tapi saya maksa untuk berangkat hari Kamis (27/1), mungkin sudah harus terjadi seperti ini”, tutur Bariroh mengawali ceritanya.

Apung menceritakan kronologis tragedi KMP Roro Laut Teduh II milik PT. Bangun Putra Remaja yang hendak membawa keluarganya menuju Lampung : Ketika itu kapal sudah mulai meninggalkan dermaga Pelabuhan Merak pukul 01.00 dini hari. Kurang lebih satu jam perjalanan, Apung melihat para Anak Buah Kapal (ABK) terlihat panik membawa alat pemadam api. Sepuluh menit kemudian saat merasa api tak bisa dikendalikan, ABK mengintruksikan para penumpang menggunakan pelampung. “Kejadiannya sekitar pukul 03.00 dini hari. Alhamdulillah, saya dan keluarga setelah sampai di kapal langsung menuju ke atas kapal”, ujarnya.

Saat itu suasana gelap, karena aliran listrik padam, teriakan minta tolong, tangisan menjadi gambaran yang sangat traumatik bagi dirinya sekeluarga. Apung pun ikut berebut pelampung untuk semua anggota keluarganya. Empat pelampung didapatnya. Karena merasa pelampung yang dibutuhkan kurang, Apung kembali mencarinya. “Saya mendapatkan pelampung untuk ukuran balita sesuai yang saya butuhkan”, ucapnya.

Kepanikan bertambah saat sekoci yang hendak diturunkan tidak dapat berfungsi, akhirnya ABK mengintruksi ulang untuk naik ke tempat semula (bagian paling atas kapal). Dan sejak itulah terdengar tiga kali suara ledakan dari arah bagian bawah kapal.

Seruan untuk loncat --karena didesak keadaan kapal yang mulai terbakar pun mulai terdengar. Akhirnya ia membawa anaknya Mahfudoh (3) untuk loncat terlebih dahulu dari ketinggian kira-kira 15 meter. “Saat jatuh ke air, anak saya sempat terlepas tetapi ketika saya mencari ternyata nyangkut di kaki saya dan langsung mengangkatnya”, paparnya sambil mencoba mengenang.

Apung terjun terpisah satu sama lain. Apung bersama anaknya, Mahfudoh lalu Bariroh terjun bersama anaknya Zakiyatul Miskia dan Siti Khulah dan Marwah istrinya terpisah sendiri. “Kami terpisah selama berjam-jam, terapung-apung di tengah laut dan terbawa arus ombak. Selama berada di tengah lautan, saya dan anak masih lancar berkomunikasi. Saya pun terus membaca salawat dan bertakbir sebisanya”, jelasnya.

Setelah terapung selama tiga jam di tengah lautan, pukul 06.00 pagi Apung diselamatkan tim SAR dan dinaikkan ke kapal penyelamat. Tetapi saat itu anggota keluarga yang lain belum berkumpul. Pukul 07.00, Marwah baru diselamatkan setelah 4 jam terapung di lautan. Kemudian Bariroh, Zakiyatul Miskia dan Siti Khulah baru berhasil diselamatkan pukul 08.00. “Mereka 5 jam bergelut dengan ombak, lebih lama dibandingkan yang lainnya”, kata Apung.

Apung sekeluarga pun berkumpul dan langsung dievakuasi ke RSUD Cilegon, Banten. Sementara Siti Khulah ditangani di RS Medical Krakatau. Setelah sehari semalam berada dalam perawatan, ia dijemput oleh keluarga dari Cirebon.

Sampai saat ini, Bariroh merasa masih trauma apabila menceritakan kembali dan melihat pemberitaan di televisi. (tta)

Diadaptasi dari : Radar Cirebon Online