Kamis, 17 September 2009

Lebaran dan Tradisi Mudik

BEBERAPA hari belakangan berita-berita di media massa mulai menyoroti aktivitas "mudik" masyarakat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Pemudik terus saja membanjiri terminal, stasiun, pelabuhan, hingga bandara.

Lalu dari mana sebenarnya asal muasal istilah mudik? Tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. Istilah mudik sendiri tercatat di Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poewadarminta (1976), di dalam kamus tersebut mudik berarti "Pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Lebaran".

Di dalam ajaran Islam, tradisi mudik tidak dikenal. Usai melaksanakan puasa selama sebulan penuh, umat Islam hanya diperintahkan mengeluarkan zakat fitrah dan melaksanakan salat Ied di tanah lapang, serta melarang berpuasa di hari pertama dan kedua Idul Fitri.

Namun, ada juga yang menafsirkan arti dari Idul Fitri yaitu kembali ke fitrah sebagai "kembali kepada asal muasal". Sehingga para perantau di kota-kota besar berondong-bondong kembali ke kampung halamannya atau dikenal mudik.

Sementara menurut Umar Kayam (2002), mudik awal mulanya merupakan tradisi primordial masyarakat petani jawa. Keberadaannya jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa-dewa di Khayangan.

Tradisi ini bertujuan agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tidak diselimuti masalah.

Namun, masuknya pengaruh Islam ke Tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan terkikis, karena dianggap perbuatan syirik. Meski begitu, peluang kembali ke kampung halaman setahun sekali ini muncul lewat momen Idul Fitri.

Makanya, tidak heran kebanyakan masyarakat Jawa yang mudik selalu menyempatkan diri untuk ziarah dan membersihkan kuburan.

Kini, teknologi semakin maju. Sudah ada hape, internet, hingga teleconference yang memudahkan komunikasi dari jarak jauh. Namun, meskipun biaya komunikasi lewat hape dan internet sudah terjangkau, masyarakat merasa tradisi mudik tidak lagi bisa tergantikan.

Menurut sosiolog Universitas Gajah Mada Arie Sudjito, ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan tradisi mudik. Salah satunya, disebabkan teknologi tersebut belum menjadi bagian dari budaya yang mendasar di Indonesia, terutama pada masyarakat pedesaan.

Sehingga para perantau rela berdesak-desakan mengantre tiket, naik kereta hanya demi tiba di kampung halaman sebelum Lebaran. Namun, bukan berarti tradisi mudik tidak bisa hilang. Tradisi mudik bisa saja hilang, namun dalam waktu yang relatif lama.

Setidaknya ada 4 hal yang menjadi tujuan orang untuk melakukan mudik dan sulit digantikan oleh teknologi. Pertama, mencari berkah dengan bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan tetangga. Kedua, terapi psikologis. Kebanyakan perantau yang bekerja di kota besar memanfaatkan momen lebaran untuk refreshing dari rutinitas pekerjaan sehari-hari. Sehingga ketika kembali bekerja, kondisi sudah fresh lagi.

Ketiga, mengingat asal usul. Banyak perantau yang sudah memiliki keturunan, sehingga dengan mudik bisa mengenalkan mengenai asal-usul mereka.

Dan yang terakhir, adalah unjuk diri. Banyak para perantau yang menjadikan mudik sebagai ajang unjuk diri sebagai orang yang telah berhasil mengadu nasib di kota besar.

Jadi, rupanya memang sulit untuk menghilangkan tradisi mudik di Indonesia. Asalkan pengelolaan dari pihak terkait berjalan lancar, mudik juga insya allah berjalan lancar. Selamat Mudik!. (uky/okezone)

Minggu, 13 September 2009

Let's go to I'tikaf

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعتكف العشر الأواخر من رمضان. متفق عليه .

Dari Ibnu Umar ra. ia berkata, Bahwasannya Rasulullah saw. biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis tersebut memberi isyarat tentang adanya sunnah Rasul yang khusus dalam menghadapi sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadhan. Pada hari-hari itu, Rasul biasa mengisinya dengan berbagai macam kegiatan ibadah yang menunjukkan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT. salah satunya dalam bentuk i'tikaf.

I’TIKAF, dalam pengertian bahasa berarti "berdiam diri" yakni tetap di atas sesuatu. Sedangkan dalam pengertian syari'ah agama adalah berdiam diri, tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.

Beri’tikaf bisa dilakukan kapan saja. Namun, Rasulullah saw. sangat menganjurkannya di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra. di atas.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. ditegaskan kembali :

عن أبي هريرة رضى الله عنه قال كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف عشرين يوماـ رواه البخاري.

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata, Bahwasannya Rasulullah SAW. biasa beri'tikaf pada tiap bulan Ramadhan sepuluh hari, dan tatkala pada tahun beliau meninggal dunia beliau telah beri'tikaf selama dua puluh hari. (Hadist Riwayat Bukhori).


Tujuan I'tikaf

I’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati beri’tikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah,” begitu kata Ibnu Qayyim.

Ruh kita memerlukan waktu berhenti sejenak untuk disucikan. Hati kita butuh waktu khusus untuk bisa berkonsentrasi secara penuh beribadah dan bertaqarub kepada Allah saw. Kita perlu menjauh dari rutinitas kehidupan dunia untuk mendekatkan diri seutuhnya kepada Allah saw., bermunajat dalam doa dan istighfar serta membulatkan iltizam dengan syariat sehingga ketika kembali beraktivitas sehari-hari kita menjadi manusia baru yang lebih bernilai.

Di samping itu, dengan beri’tikaf berarti kita telah menghidupkan sunnah (kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah saw.) dalam rangka pencapaian ketakwaan hamba; juga sebagai salah satu bentuk penghormatan kita dalam mensyiarkan bulan suci Ramadhan yang penuh Berkah dan Rahmat dari Allah swt.


Jenis I'tikaf

I’tikaf yang disyariatkan ada dua jenis, yaitu i'tikaf sunnah dan i'tikaf wajib :

I’tikaf sunnah, yaitu i’tikaf yang dilakukan secara sukarela semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah swt., seperti halnya i’tikaf 10 hari di akhir bulan Ramadhan. Sedangkan i'tikaf wajib, adalah i’tikaf yang didahului oleh nadzar atau qaul. Seseorang yang berjanji, “Jika Allah swt. mentakdirkan saya lulus ujian, saya akan beri’tikaf....” maka i’tikaf-nya menjadi wajib.

Menurut mazhab Syafi'i I'tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu apa saja, dengan tanpa batasan lamanya, begitu seseorang masuk ke dalam masjid dan ia niat i'tikaf maka syahlah i'tikafnya. Namun untuk memulainya diutamakan setelah shalat subuh, sebagaimana hadist Rasulullah saw. :

وعنها رضى الله عنها قالت كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا أراد أن يعتكف صلى الفجر ثم دخل معتكفة ـ متفق عليه .

Dan dari Aisyah rah., ia berkata bahwasannya Nabi saw. apabila hendak beri'tikaf beliau shalat subuh kemudian masuk ke tempat i'tikaf. (HR. Bukhori-Muslim)


Syarat dan Rukun I’tikaf

Ada tiga syarat umum orang beri’tikaf, yaitu muslim, berakal (mumayyiz), dan suci (dari janabah, haid atau nifas). Bagi muslimah, ada dua syarat tambahan (khusus), pertama ia harus mendapat izin suami atau orang tuanya, yang apabila izin telah dikeluarkan, tidak boleh ditarik lagi; dan kedua, tempat pelaksanaan i’tikafnya sesuai dengan tujuan syariah.

Sedangkan rukun i'tikaf yaitu : Niat (yang ikhlas), sebab semua amal sangat tergantung pada niatnya; dan Berdiam atau menetap di masjid.

Berdasarkan hadist Rasulullah saw, i'tikaf dianggap syah bila dilakukan di dalam masjid (jami'), yang biasa digunakan untuk sholat Jum'at.

ولا اعتكاف إلا في مسجد جامع ـرواه أبو داود.

"Dan tiada i'tikaf kecuali di masjid jami'" (HR. Abu Daud)

Hal-hal sunnah yang bisa dilakukan dalam i'tikaf adalah : Memperbanyak ibadah dan taqarub kepada Allah dengan melaksanakan shalat sunnah, tilawah, bertasbih, tahmid, dan tahlil; Memperbanyak istighfar, bershalawat kepada Rasulullah saw., dan berdoa. Sampai-sampai Imam Malik meninggalkan aktivitas ilmiahnya, beliau memprioritaskan menunaikan ibadah mahdhah dalam i’tikafnya.

Meski demikian, orang yang beri’tikaf bukan berarti tidak boleh melakukan aktivitas keduniaan. Rasulullah saw. pernah keluar dari tempat i’tikaf karena mengantar istrinya Shafiyah, ke suatu tempat. Orang yang beri’tikaf juga boleh keluar masjid untuk keperluan seperti buang hajat, makan, minum, dan semua kegiatan yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid. Tapi begitu selesai menunaikan hajatnya, ia harus kembali lagi ke masjid. Orang yang beri’tikaf juga boleh menyisir, bercukur, memotong kuku, membersihkan diri dari kotoran dan bau, bahkan, membersihkan masjid. Masjid harus dijaga kebersihan dan kesuciannya ketika orang-orang yang beri’tikaf makan, minum, dan tidur di dalamnya.

I’tikaf dikatakan batal jika mu'takif (orang yang beri’tikaf) meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar. Sebab, ia telah mengabaikan satu rukun, yaitu berdiam di masjid. Atau, orang yang beri’tikaf murtad, hilang akal karena gila atau mabuk. I’tikaf juga batal kalau yang melakukannya jima’ atau berhubungan badan suami-isteri.

Agar i’tikaf dapat memperkokoh keislaman dan ketakwaan, tidak ada salahnya jika dalam beri’tikaf dibimbing oleh orang-orang yang ahli dan mampu mengarahkan dalam membersihkan diri dari dosa dan cela. (ASF/dari banyak sumber).

Sabtu, 12 September 2009

Menjaring Lailatul Qadar

LAILATUL QADAR

Margasatwa tak berbunyi
gunung menahan nafasnya
angin pun berhenti
pohon-pohon tunduk
dalam gelap malam
pada Bulan Suci
Qur’an turun ke bumi
Qur’an turun ke bumi .....

Inilah malam seribu bulan
ketika cahaya sorga menerangi bumi
ketika cahaya sorga menyinari bumi
Inilah malam seribu bulan
ketika Tuhan menyeka airmata kita
ketika Tuhan menyeka dosa-dosa kita

*****

Bait-bait puisi Taufiq Ismail yang dimusikalisasi apik oleh Grup Kasidah Bimbo di atas, setidaknya dapat memberikan sedikit gambaran kepada kita tentang keagungan dan makna (malam) “Lailatul Qadar”, malam yang nilainya lebih baik daripada 1.000 bulan (=83 tahun 4 bulan), sebagaimana tertuang dalam Surat Al-Qadar Ayat 1-5.

Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu, dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahalaNya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari dan Muslim).

Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly dan Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid mengatakan : Lailatul Qadar memiliki keutamaan sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur'anul Karim yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Ummat Islam yang mengikuti sunnah Rasul-nya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini (malam Lailatul Qodar/Nuzul Qur’an, pen.), akan tetapi mereka bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.

Memang, kapan tepatnya Lailatul Qadar terjadi? Wallahu a’lam bis-shawaab. Namun banyak riwayat yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu terjadi pada (malam ganjil) sepuluh hari terakhir. Pendapat ini didasarkan pada hadits ‘Aisyah rah. yang mengatakan :

Rasulullah saw. beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda, (yang artinya) "Carilah malam Lailatur Qadar di (malam ganjil) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan”. (HR Bukhari dan Muslim).

Juga dari ‘Aisyah rah., (dia berkata), "Adalah Rasulullah saw. bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (hari terakhir), yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya”. (HR Muslim).

Dengan kata lain, bahwa malam tersebut saat ini sedang berada di tengah-tengah kita, atau di sekeliling orang-orang beriman yang sekarang ini sedang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan pada hitungan ke-21 ini. Sungguh beruntung orang yang memperoleh kesempatan untuk beribadah di malam tersebut, seolah-olah ia telah beribadah selama 83 tahun 4 bulan. Ini merupakan Karunia yang sangat besar dari Allah swt. Bagi orang yang mau menghargainya, ini adalah Nikmat yang sangat tinggi. Dan alangkah sangat meruginya bagi mereka yang melewati moment berharga ini begitu saja, sebab belum tentu di tahun berikutnya masih ada kesempatan untuk menjumpainya kembali.


Lantas, bagaimana mestinya kita bersikap?
.
Hadits-hadits berikut ini kiranya dapat menjadi acuan :

Dari Aisyah rah, "Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencangkan kainnya (menjauhi wanita yaitu istri-istrinya karena ibadah, menyingsingkan badan untuk mencari Lailatul Qadar), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya”. (HR Bukhari dan Muslim).

Telah diriwayatkan dari sayyidah ‘Aisyah rah., (dia) berkata, "Aku bertanya, Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan?" Beliau menjawab, "Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii. Yaa Allah, Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku”. (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, dari Aisyah, sanadnya shahih).

Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), "Barangsiapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR Bukhari dan Muslim)

Adapun qiyamul-lail di dalamnya yaitu menghidupkan malam tersebut dengan shalat, membaca Al-Qur'anul Karim, berdzikir, berdo'a, beristighfar dan taubat kepada Allah swt. Sebagian ulama menganjurkan mengisi malam lailatul qadar dengan melaksanakan shalat Tasbih dan shalat Lailatul Qadr.


Shalat Tasbih

SHALAT TASBIH adalah shalat sunnah 4 rakaat yang di dalamnya dibacakan “kalimat tasbih” sebanyak 75 kali pada tiap rakaatnya. Shalat ini boleh dikerjakan di siang hari ataupun malam hari --pada waktu yang dianjurkan dan bukan pada waktu terlarang shalat--. Bila dikerjakan malam hari, shalat tasbih dilakukan dalam dua salam, sedangkan di siang hari cukup dilakukan dalam satu salam dengan satu tahiyat, namun tidak ada larangan dikerjakan dalam dua salam.

Shalat Tasbih lebih utama dikerjakan secara perorangan (tidak berjama'ah), boleh secara bersamaan dalam waktu dan tempat yang sama, asalkan tidak ada imam dan tidak ada makmum. Namun ada sebagian ulama membolehkan shalat tasbih dilaksanakan secara berjama’ah, khususnya di bulan Ramadhan mengingat keagungan pahalanya.

Kalimat tasbih yang dibaca pada shalat tasbih adalah sebagai berikut :

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْذُ لِلَّهِ وَلاَ الَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ

Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah tidak ada Tuhan selain Dia dan Dia Maha Besar

ada juga yang melengkapi dengan menambahkan kalimat “tahawwul” di belakangnya, sehingga bacaannya menjadi :

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْذُ لِلَّهِ وَلاَ الَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ،لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِااللهِ الْعَلِّيِ الْعَظِيْمِ

Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah tidak ada Tuhan selain Dia dan Dia Maha Besar; Tidak ada daya (untuk menghindar dari maksiat) dan tidak ada kekuatan untuk taat, kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha agung"

Shalat tasbih ini sangat dianjurkan oleh Baginda Rasulullah saw. Sebagaimana hadits yang dirawatkan Dari Ibnu ‘Abbas bahwasanya Rasulullah saw. bersabda kepada ‘Abbas bin ‘Abdul Muththolib (paman nabi) : “Wahai ‘Abbas, maukah saya berikan padamu?, maukah saya anugerahkan padamu?, maukah saya berikan padamu?, saya akan tunjukkan suatu perbuatan yang mengandung 10 keutamaan yang jika kamu melakukannya maka diampuni dosamu, yaitu dari awalnya hingga akhirnya, yang lama maupun yang baru, yang tidak disengaja maupun yang disengaja, yang kecil maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang nampak. Semuanya 10 macam; Kamu shalat 4 raka’at setiap raka’at kamu membaca Al-Fatihah dan satu surah. Jika telah selesai maka bacalah "سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْذُ لِلَّهِ وَلاَ الَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرْ" sebelum ruku’ sebanyak 15 kali, kemudian kamu ruku’ lalu bacalah kalimat itu di dalamnya sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari ruku’ baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian sujud baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari sujud baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian sujud lagi dan baca lagi sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari sujud sebelum berdiri baca lagi sebanyak 10 kali, maka semuanya sebanyak 75 kali setiap raka’at. Lakukan yang demikian itu dalam empat raka’at, lakukanlah setiap hari, kalau tidak mampu lakukan setiap pekan, kalau tidak mampu setiap bulan, kalau tidak mampu setiap tahun dan jika tidak mampu maka lakukanlah sekali dalam seumur hidupmu". (Abu Dawud, shohih Huzaimah, Ibnu Majah, At-Thabrany, dan lain-lain.)


Tata cara Shalat Tasbih

Berdasarkan materi hadits di atas, shalat tasbih dilakukan dengan urutan-urutan yang didahului dengan niat. Adapun niat yang dilafalkan adalah :

اُصَلِّيْ سُنَّةَ ا لتَّسْبِيْحِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى

"Aku niat Shalat Tasbih dua raka’at karena Allah Ta’ala"

Kemudian takbiratul ihram, membaca Surat Alfatihah dan surat-surat pilihan (Rakaat awal Surat At-Takatsur, rakaat kedua Surat Al-‘Asyr, rakaat ketiga Surat Al-Kafiruun, dan rakaat akhir Surat Al-Ihlash. Namun ini bukan ketentuan baku, artinya surat yang dibaca boleh apa saja). Selanjutnya sebelum melakukan ruku’ membaca tasbih sebanyak 15 kali. Tasbih berikutnya dibaca 10 kali-10 kali pada setiap rukun-rukun shalat :

Ketika ruku' sesudah membaca do'a ruku’;
Ketika i’tidal sesudah membaca do'a i’tidal;
Di waktu sujud pertama sesudah membaca do'a sujud;
Ketika duduk antara dua sujud (duduk iftirosy) sesudah membaca do'a duduk iftirosy; kemudian
Di waktu sujud kedua sesudah membaca do'a sujud; dan
Pada saat duduk istirahah sebelum berdiri ke raka’at kedua.

Pada rakaat terakhir, bacaan tasbih 10 kali dibaca ketika duduk tahiyat akhir sebelum membaca do'a/dzikir tahiyat dan tasyahud.

Bila dikalkulasi, bacaan tasbih yang dilafalkan berjumlah 75 kali dalam satu rakaat. Dengan demikian bila dikerjakan dalam 4 rakaat, seluruh bacaan tasbih yang dilafalkan berjumlah 300 kali.

Kemudian setelah semua rukun shalat selesai dikerjakan (dalam 4 rakaat), ditutup dengan membaca do'a berikut ini :

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ اْلعَالَمِينْ اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَدٍ وَاَلِهِ وَصْحَبِهِ أَجْمَعِينْ اَللَّهُمَّ اِنِّي اَسْأَلُكَ تََوْفِيقََ أَهْلِ الهُدى وَأَ عْمَال َ أَهْلِ الْيَقِيْنِ، وَمُنَاصَحَةَ أَهْلِ التَّوْ بَةِ، وَعَزْ مَ أَهلِ الصَّبْرِ، وَجِدَّ أَهلِ الخَشْيَةِ، وَطَلْبَ اَهْلِ ا لرَّغبَةِ، وَتَعَبُّدَ اَهْلِ الوَرَع، وَعِرْفَانَ أَهلِ العِلْمِ حَتَّى أَخَافَكَ. اَللَّهُمَّ اِنِّيْ اَسْأَلُكَ مَخَافَةَ تُحْجِزُني عَنْ مَعَاصِيكَ حَتَّى اَعْمَلَ بِطَاعَتِكَ عَمَلاً اَسْتَحِقُّ بِهِ رِضَاكَ، وَحَتَّى اُنَاصِحَكَ بِالتَّوْ بَةِ خَوْفًا مِنْكَ وَحَتَّى أُخلصَ لَكَ النَّصِيْحَةَ حَيَاءً مِنْكَ وَحَتَّى اَتَوَ كَّلَ عَلَيْكَ فِيْ الاُمُوْرِ حُسْنَ ظَنِّ بِكَ سُبْحَانَ خَالِقِ ا لنُّوْرِ وَصَلَّى للهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَاَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ، سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَا يِصِفُوْنَ وَسَلاَ مْ عَلَى المُرْسَلِيْنَ وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ عَدَدَ خَلْقِهِ وَرِضَى نَفْسِهِ وَزِنَةَ عَرْشِهِ وَمِدَادَ كَلِمَاتِهِ


Shalat Lailatul Qadr

SHALAT LAILATUL QADR adalah shalat sunnah 2 rakaat yang dikerjakan pada malam hari (Lailatul Qadr) di 10 hari terakhir bulan Ramadhan, dengan Niat sebagai berikut :

اُصَلِّيْ سُنَّةَ فى ليلة القدر رَكعَتين لِلَّهِ تَعَالَى

"Aku niat Shalat (malam) Lailatul Qadar dua raka’at karena Allah Ta’ala"

Setelah takbiratul ihram membaca Surat Alfatihah kemudian diteruskan Surat Al-Ikhlas sebanyak 7 kali, demikian juga di rakaat yang kedua.

Disebutkan dalam hadits (yang artinya) : Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw bersabda : “Barangsiapa mengerjakan shalat dua rakaat pada malam qadar, sedang pada tiap-tiap rakaat dia membaca Al-Fatihah sekali dan Surat Al-Ihlas tujuh kali, dan setelah salam dia membacaأستغفر الله واتو اليهsebanyak 70 kali, maka dia tidak bisa berdiri di tempatnya sehingga Allah swt. mengampuni dia dan kedua orang tuanya, dan Allah akan mengirim para malaikat ke sorga guna menanam baginya beberapa pohon untuk membangun gedung istana dan mengalirkan air sungai. Dan dia tidak keluar dari dunia (mati) sehingga dia melihat semua itu” (Tafsir Hanafi)


Do'a-do'a yang dianjurkan pada (malam) Lailatul Qadar

"Ya Allah, perbaikilah untukku agamaku yang merupakan penjaga urusanku, dan perbaikilah untukku duniaku yang di dalamnya adalah kehidupanku, dan perbaikilah untukku akhiratku yang kepadanya aku kembali, dan jadikanlah kehidupan (ini) menambah untukku dalam setiap kebaikan, dan kematian menghentikanku dari setiap kejahatan. Ya Allah bebaskanlah aku dari (siksa) api Neraka, dan lapangkanlah untukku rizki yang halal, dan palingkanlah daripadaku kefasikan jin dan manusia, Wahai Dzat Yang Maha Hidup lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya)"

"Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan jagalah kami dari siksa Neraka. Wahai Dzat Yang Maha Hidup lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), wahai Dzat Yang Memiliki Keagungan dan Kemuliaan"

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon hal-hal yang menyebabkan (turunnya) rahmat-Mu, ketetapan ampunan-Mu, keteguhan dalam kebenaran dan mendapatkan segala kebaiikan, selamat dari segala dosa, kemenangan dengan (mendapat) Surga serta selamat dari Neraka. Wahai Dzat Yang Maha Hidup lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya), Wahai Dzat yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan "

"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu pintu-pintu kebajikan, kesudahan (hidup) dengannya serta segala yang menghimpunnya, secara lahir-batin, di awAl-maupun di akhirnya, secara terang- terangan maupun rahasia. Yaa Allah, kasihilah keterasinganku di dunia dan kasihilah kengerianku di dalam kubur serta kasihilah berdiriku di hadapanmu kelak di akhirat. Wahai Dzat Yang Maha Hidup, yang memiliki Keagungan dan Kemuliaan"

"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, 'afaaf (pemeliharaan dari segala yang tidak baik) serta kecukupan"

"Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, mencintai pengampunan maka ampunilah aku"

"Ya Allah, aku mengharap Rahmat-Mu maka janganlah Engkau pikulkan (bebanku) kepada diriku sendiri meski hanya sekejap mata, dan perbaikilah keadaanku seluruhnya, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau"

"Ya Allah, jadikanlah kebaikan sebagai akhir dari semua urusan kami, dan selamatkanlah kami dari kehinaan dunia dan siksa akhirat"

"Ya Tuhan kami, terimalah (permohonan) kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, wahai Dzat Yang Maha Hidup, yang memiliki keagungan dan kemuliaan”.

"Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, segenap keluarga dan para sahabatnya"

*****

Dengan mengetahui keutamaan-keutamaan malam yang agung ini --yang ia terbatas hanya pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan-- maka seyogyanya kita bersemangat dan bersungguh-sungguh menyongsongnya, dengan shalat, dzikir, do'a, taubat dan istighfar. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang dapat menjaring keagungannya, Allahumma amien ...... (ASF/dari banyak sumber)

Rabu, 09 September 2009

Keutamaan 10 Hari Terakhir Ramadhan

Oleh : Ulis Tofa, Lc. (dakwatuna.com)



Bulan Ramadhan merupakan momentum peningkatan kebaikan bagi orang-orang yang bertaqwa dan ladang amal bagi orang-orang shaleh. Terutama, sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Sebagian ulama kita membagi bulan ini dengan tiga fase: fase pertama sepuluh hari awal Ramadhan sebagai fase Rahmat, sepuluh di tengahnya sebagai fase Maghfirah dan sepuluh akhirnya sebagai fase Pembebasan dari api neraka. Sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Salman Alfarisi: “Adalah bulan Ramadhan, awalnya Rahmat, pertengahannya Maghfirah dan akhirnya pembebasan dari api neraka

Dari ummul mukminin, Aisyah ra., menceritakan tentang kondisi Nabi saw. ketika memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan : “Beliau jika memasuki sepuluh hari terkahir Ramadhan, mengencangkan ikat pinggang, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya

Apa rahasia perhatian lebih beliau terhadap sepuluh hari terakhir Ramadhan? Paling tidak ada dua sebab utama:

Sebab pertama, karena sepuluh terakhir ini merupakan penutupan bulan Ramadhan, sedangkan amal perbuatan itu tergantung pada penutupannnya atau akhirnya. Rasulullah saw. berdo’a :

اللهم اجعل خير عمري آخره وخير عملي خواتمه وخير أيامي يوم ألقاك

Ya Allah, jadikan sebaik-baik umurku adalah penghujungnya. Dan jadikan sebaik-baik amalku adalah pamungkasnya. Dan jadikan sebaik-baik hari-hariku adalah hari di mana saya berjumpa dengan-Mu Kelak

Jadi, yang penting adalah hendaknya setiap manusia mengakhiri hidupnya atau perbuatannya dengan kebaikan. Karena boleh jadi ada orang yang jejak hidupnya melakukan sebagian kebaikan, namun ia memilih mengakhiri hidupnya dengan kejelekan.

Sepuluh akhir Ramadhan merupakan pamungkas bulan ini, sehingga hendaknya setiap manusia mengakhiri Ramadhan dengan kebaikan, yaitu dengan mencurahkan daya dan upaya untuk meningkatkan amaliyah ibadah di sepanjang sepuluh hari akhir Ramadhan ini.

Sebab kedua, karena dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan diduga turunnya lailatul qadar, karena lailatul qadar bisa juga turun pada bulan Ramadhan secara keseluruhan, sesuai dengan firman Allah swt.

إنا أنزلناه في ليلة القدر

Sesungguhnya Kami telah turunkan Al Qur’an pada malam kemulyaan

Allah swt. juga berfirman:

شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان

Bulan Ramadhan, adalah bulan diturunkan di dalamnya Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan dari petunjuk dan pembeda -antara yang hak dan yang batil-

Dalam hadits disebutkan : “Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan di dalamnya ada lailatul qadar, malam lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa diharamkan darinya maka ia diharamkan mendapatkan kebaikan seluruhnya. Dan tidak diharamkan kebaikannya kecuali ia benar-benar terhalang -mahrum-

Al-Qur’an dan hadits sahih menunjukkan bahwa lailatul qadar itu turun di bulan Ramadhan. Dan boleh jadi di sepanjang bulan Ramadhan semua, lebih lagi di sepuluh terakhir Ramadhan. Sebagaimana sabda Nabi saw.:

التمسوها في العشر الأواخر من رمضان

Carilah lailatul qadar di sepuluh terakhir Ramadhan

Pertanyaan berikutnya, apakah lailatul qadar di seluruh sepuluh akhir Ramadhan atau di bilangan ganjilnya saja? Banyak hadits yang menerangkan lailatul qadar berada di sepuluh hari terakhir. Dan juga banyak hadits yang menerangkan lailatul qadar ada di bilangan ganjil akhir Ramadhan. Rasulullah saw. bersabda :

التمسوها في العشر الأواخر وفي الأوتار

Carilah lailatul qadar di sepuluh hari terakhir dan di bilangan ganjil

إن الله وتر يحب الوتر

Sesungguhnya Allah ganjil, menyukai bilangan ganjil

Oleh karena itu, kita rebut lailatul qadar di sepuluh hari terakhir Ramadhan, baik di bilangan ganjilnya atau di bilangan genapnya. Karena tidak ada konsensus atau ijma’ tentang kapan turunya lailatul qadar.

Di kalangan umat muslim masyhur bahwa lailatul qadar itu turun pada tanggal 27 Ramadhan, sebagaimana pendapat Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab dan Ibnu Umar radhiyallahu anhum. Akan tetapi sekali lagi tidak ada konsensus pastinya.

Sehingga Imam Ibnu Hajar dalam kitab “Fathul Bari” menyebutkan, “Paling tidak ada 39 pendapat berbeda tentang kapan lailatul qadar

Ada yang berpendapat ia turun di malam ke-21, ada yang berpendapat malam 23, 25, bahkan ada yang berpendapat tidak tertentu. Ada yang berpendapat lailatul qadar pindah-pindah atau ganti-ganti, pendapat lain lailatul qadar ada di sepanjang tahun. Dan pendapat lainnya yang berbeda-beda.

Untuk lebih hati-hati dan antisipasi, hendaknya setiap manusia menghidupkan sepuluh hari akhir Ramadhan.

Apa yang disunnahkan untuk dikerjakan pada sepuluh hari akhir Ramadhan?

Adalah qiyamullail, sebelumnya didahului dengan shalat tarawih dengan khusyu’. Qira’atul qur’an, dzikir kepada Allah, seperti tasbih, tahlil, tahmid dan takbir, istighfar, do’a, shalawat atas nabi dan melaksanakan kebaikan-kebaikan yang lainnya.

Lebih khusus memperbanyak do’a yang ma’tsur:

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قُلْت : يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَأَيْت إنْ عَلِمْت أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ، مَا أَقُولُ فِيهَا ؟ قَالَ : قُولِي : اللَّهُمَّ إنَّك عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah, bahwa beliau berkata : Saya berkata : "Wahai Rasul, apa pendapatmu jika aku mengetahui bahwa malam ini adalah lailatul qadar, apa yang harus aku kerjakan?" Nabi bersabda: “Ucapkanlah : Allahumma innaka afuwwun tuhibbul afwa fa’fu ‘anni(Ya Allah, Engkau Dzat Pengampun, Engkau mencintai orang yang meminta maaf, maka ampunilah saya” (Ahmad dan disahihkan oleh Al-Albani)

Patut kita renungkan, wahai saudaraku muslim-muslimah: “Laa takuunuu Ramadhaniyyan, walaakin kuunuu Rabbaniyyan. Janganlah kita menjadi hamba Ramadhan, tapi jadilah hamba Tuhan” Karena ada sebagian manusia yang menyibukkan diri di bulan Ramadhan dengan keta’atan dan qiraatul Qur’an, kemudian ia meninggalkan itu semua bersamaan berlalunya Ramadhan.

Kami katakan kepadanya: “Barangsiapa menyembah Ramadhan, maka Ramadhan telah mati. Namun barangsiapa yang menyembah Allah, maka Allah tetap hidup dan tidak akan pernah mati

Allah cinta agar manusia ta’at sepanjang zaman, sebagaimana Allah murka terhadap orang yang bermaksiat di sepanjang waktu. Dan karena kita ingin mengambil bekalan sebanyak mungkin di satu bulan ini, untuk mengarungi sebelas bulan selainnya.

Semoga Allah swt. menerima amal kebaikan kita. Amin

تقبل الله منا ومنكم صالح الأعمال.

Minggu, 06 September 2009

Melacak Sejarah Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadr

Oleh : Sufriyansyah *)

*****

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ. سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al-Qadr : 1-5).

*****

BULAN RAMADHAN adalah bulan yang memiliki banyak keistimewaan dan tercatat dalam sejarah beberapa peristiwa besar pernah terjadi di bulan ini. Pada bulan Ramadhan, umat Islam yang dipimpin Rasulullah untuk pertama kalinya berperang melawan kafir Quraisy dalam sebuah perang yang disebut Perang Badar.

Dalam perang ini umat Islam berhasil mengalahkan kaum kafir. Demikian juga peristiwa Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) terjadi di Bulan Ramadhan (Aidh Abdullah Al-Qarni, Renungan di Bulan Ramadhan, 2006 : 121).

Selain dari dua peristiwa tersebut, yang paling besar dan agung adalah peristiwa turunnya Alqur’an (Nuzulul Qur’an) pada sebuah malam yang disebut Lailatul Qadr, yaitu satu malam yang oleh Alquran digambarkan sebagai “malam yang lebih baik dari seribu bulan”.

Pembicaraan mengenai Nuzulul Qur’an (turunnya Alqur’an) pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dengan Lailatul Qadr dan Bulan Ramadhan. Hubungan antara tiga hal tersebut diperkuat dengan penjelasan Alqur’an sendiri. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Alqur’an) pada malam kemuliaan (Lailatul Qadr)”. (QS. Al-Qadr : 1); “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan” (QS. Ad-Dhukhan : 3). Dan pada ayat lain dijelaskan : “Bulan Ramadhan adalah bulan dimana di dalamnya diturunkan (permulaan) Alqur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan batil)...” (QS. Al-Baqarah : 185)

Melalui dalil-dalil di atas tidak diragukan bahwa Alqur’an diturunkan pertama kali bertepatan dengan malam yang disebut Lailatul Qadr. Secara etimologi (harfiyah), Lailatul Qadr terdiri dari dua kata, yakni ‘lail’ atau ‘lailah’ yang berarti malam hari dan ‘qadr’ yang berarti ukuran atau ketetapan. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Quran (2004 : 312-313) memberi tiga arti mengenai kata ‘qadr’, yaitu penetapan, kemuliaan dan sempit.

Menurutnya, secara maknawi ketiga arti kata ‘qadr’ itu semuanya bisa jadi benar. Malam ‘qadr’ atau ketetapan dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia, sebagaimana dikuatkan dalam surah Ad-Dukhan ayat 3. Lailatul Qadr diartikan juga sebagai malam kemuliaan.

Malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya karena ia terpilih sebagai malam turunnya Alqur’an. Sementara ‘qadr’ yang berarti sempit, maksudnya bahwa malam tersebut sempit dan sesak karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi. Pada malam itu, malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan bagi Muslim yang terpilih mendapatkan Lailatul Qadr.


Benarkah Nuzulul Qur’an Jatuh Pada Malam 17 Ramadhan?

Peristiwa turunnya Alquran atau sering disebut sebagai Nuzulul Qur’an merupakan hal yang sampai saat ini selalu diperingati oleh sebagian umat Islam di dunia. Di seluruh negara Arab dilakukan tradisi syiar atau menyemarakkan bulan Ramadhan dengan berbagai kegiatan. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah dengan memperingati Lailatul Qadr yang biasanya ini serempak dirayakan oleh umat Islam di seluruh negara Arab pada malam ke-27. (Musthafa Luthfi, Harian Pelita, 01 September 2009).

Sementara itu, dalam memperingati turunnya Alqur’an, di Indonesia dilaksanakan peringatan “Nuzulul Qur’an” pada malam ke-17 Ramadhan. Berbeda dengan umat Islam di Arab, di Indonesia, banyak umat Islam yang menyangka peristiwa Nuzulul Qur’an itu berbeda dengan Lailatul Qadr. Padahal jika dilihat dalam sejarah, kedua hal ini sebenarnya tidak bisa dipisahkan. Lantas, mengapa umat Islam Indonesia memperingati turunnya Alqur’an pada malam 17 Ramadhan?

Bila kita melihat catatan kaki dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya versi Depag pada surat ad-Dhukhan ayat 3 di sana ditulis: “Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi [1370] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan”. Adapun catatan kaki bernomor [1370] di atas diberi penjelasan sebagai berikut: ‘Malam yang diberkahi ialah malam Alqur’an pertama kali diturunkan. Di Indonesia umumnya dianggap jatuh pada tanggal 17 Ramadhan.’

Tidak diketahui pasti dari mana sumber yang diambil Tim penterjemah dalam menjelaskan surat ad-Dhukhan ayat 3 tersebut. Namun, berdasarkan catatan kaki di atas agaknya bisa ditemukan salah satu penyebab mengapa Nuzulul Qur’an di Indonesia diperingati pada tanggal 17 Ramadhan.

Selain itu, dalam situs wikipedia dijelaskan bahwa awal diperingatinya Nuzulul Qur’an di Indonesia, yaitu ketika Presiden Soekarno mendapat saran dari Buya Hamka untuk memperingati Nuzulul Qur’an setiap tanggal 17, karena bertepatan dengan tanggal Kemerdekaan Indonesia, dan sebagai rasa syukur kemerdekaan Indonesia. Memang, dari dahulu telah ada perbedaan pendapat para ulama mengenai tanggal pasti turunnya Alqur’an pertama kalinya, yang kemudian diperingati sebagai malam Nuzulul Qur’an.

Rasulullah Saw. pernah mengabarkan tentang kapan akan datangnya malam Lailatul Qadr. Beliau bersabda: “Carilah malam Lailatul Qadr di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan” (HR. Bukhari dan Muslim); dalam Hadis yang lain juga dijelaskan: “Berusahalah untuk mencarinya pada sepuluh hari terakhir, apabila kalian lemah atau kurang fit, maka jangan sampai engkau lengah pada tujuh hari terakhir” (HR. Bukhori dan Muslim). Berdasarkan hadis di atas, diketahui bahwa Lailatul Qadr terjadi pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan yaitu pada malam-malam ganjilnya 21, 23, 25, 27 atau 29 Ramadhan.

Keterangan bahwa turunnya Alqur’an pada 10 hari terakhir Ramadhan diperkuat oleh Syeikh Safiur Rahman Mubarakpuri, penulis Sirah Nabawiyah. Mubarakpuri dalam buku Cahaya Di Atas Cahaya (2008 : 40) menjelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. mendapat wahyu pertama pada malam senin, tanggal 21 Ramadhan (10 Agustus 610 M.).

Menurut kalender yang didasarkan pada perputaran bulan (Qamariyah), saat itu Nabi berusia 40 tahun 6 bulan 12 hari. Sedangkan menurut kalender Masehi, Nabi berusia 39 tahun 3 bulan 22 hari. Keterangan Mubarakpuri di atas menguatkan pernyataan bahwa Alqur’an pertama sekali turun pada tanggal 21 Ramadhan dan bukan pada tanggal 17 Ramadhan.


Penutup


Berdasarkan berbagai keterangan di atas, Alqur’an diturunkan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. pertama kalinya pada malam Lailatul Qadr, yang oleh sumber sejarah dijelaskan bahwa Nabi menerima wahyu pada malam 21 Ramadhan.

Jadi peristiwa Nuzulul Qur’an pertama sekali terjadi pada tanggal 21 Ramadhan, tepatnya pada hari senin, sebab sebagian besar ahli sejarah sepakat bahwa diangkatnya beliau menjadi Nabi adalah pada hari Senin. Dalil ini dianggap kuat karena Rasulullah ketika ditanya tentang puasa Senin beliau menjawab: “Di dalamnya aku dilahirkan dan di dalamnya diturunkan (wahyu) atasku” (HR. Muslim).

Peristiwa turunnya Alqur’an (Nuzulul Qur’an) sebagaimana yang biasa diperingati oleh umat Islam Indonesia pada dasarnya tidak dicontohkan oleh Rasulullah, para sahabatnya dan para tabi’in. Jika pun perayaan Nuzulul Qur’an tetap diperingati dengan niat dan alasan yang baik, hendaknya bukanlah sekadar seremonial belaka, tetapi melalui peringatan tersebut esensi Al-Qur’an sebagai ‘peringatan bagi umat manusia’ dapat membawa bekas dalam diri umat Islam yang memperingatinya.

Sebagaimana Alqur’an menjelaskan: “Ini adalah sebuah kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya, supaya kamu memberi peringatan dengan kitab itu (kepada orang kafir) dan menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman” (Al-A’raaf : 2).

Wallahu A‘lam

*) Penulis adalah Guru dan Peminat Masalah Sosial

Jumat, 04 September 2009

Awas! Misionaris Berkedok Pelajaran Sekolah “Trapsila”

Yang penulis sajikan kali ini bukan berita baru, tapi berita lama yang bersumber dari situs http://swaramuslim.net oleh : Fakta, 28 Jan, 07:00 pm dengan judul yang sama; Awas! Misionaris Berkedok Pelajaran Sekolah “Trapsila”. Namun demikian, tidak ada kadaluarsa untuk berita tentang Misionaris dan Kristenisasi di Indonesia, karena sudah jelas-jelas diterangkan oleh Allah swt. dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah Ayat yang berbunyi :

ولن ترضى عنك اليهود ولا النّصارى حتّى تتّبع ملّتهم

Orang-orang Yahudi dan Nasrani sekali-kali tidak akan rela kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka” (QS. 2 : 120).

Artinya, sampai kapan pun --
hingga kamu mengikuti agama mereka-- orang-orang Yahudi (melalui muslihat dan tipu daya) juga orang-orang Nasrani (melalui tangan-tangan para misionaris) sekali-kali tidak akan (pernah) surut melakukan propaganda sesat dan serangan bertubi-tubi terhadap kaum muslimin di dunia, termasuk di Indonesia.

Berbagai upaya pun terus dilakukan untuk menggoyahkan akidah umat Islam. Di Kota Cirebon, upaya misionaris bahkan menyerang anak-anak muslim yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Bukan dengan kedok bantuan ekonomi ataupun pengobatan gratis, melainkan dengan menyelipkan ayat-ayat Injil ke dalam mata pelajaran "Trapsila" yang diajarkan di sekolah.

TRAPSILA merupakan salah satu mata pelajaran muatan lokal (mulok) yang diajarkan kepada seluruh siswa SMP dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Kota Cirebon. Kata Trapsila itu diambil dari Basa Cerbon, ‘Ngetrapke Susila’ yang berarti menerapkan susila. Maksudnya, melalui pelajaran tersebut, para siswa akan diajarkan penerapan budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari.

Di Jawa Barat, Cirebon --sebagai Kota Wali-- memang satu-satunya kota yang dijadikan pilot project penerapan pelajaran tersebut. Selain digarap oleh Dinas Pendidikan (Disdik) setempat, ‘kelahiran’ mata pelajaran itu pun dibantu pihak asing, dalam hal ini UNICEF. Namun ternyata, materi yang diajarkan dalam pelajaran tersebut terkesan hanya mencampuradukkan berbagai sumber ilmu. Termasuk di dalamnya mengutip pelajaran berbagai agama, diantaranya Islam dan Kristen.


Trapsila Campuraduk Islam-Kristen

Campuraduk itu seperti yang terlihat di halaman 14–16 dari buku pegangan Trapsila. Dalam lembar tersebut, tercantum materi tentang ‘Melakukan Perintah dan Menghindari Larangan sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa’, maupun materi tentang ‘Keselarasan Hidup Untuk Kepentingan Dunia dan Akhirat’. Namun, penjelasan dari kedua topik bahasan tersebut mengambil sumber dari ayat-ayat Injil. Padahal, buku itu juga dibagikan kepada siswa yang beragama Islam, termasuk siswa MTs.

Kenyataan itupun mengundang keresahan para orang tua siswa, ulama, ormas Islam, maupun guru agama yang ada di Kota Cirebon. Mereka khawatir, pelajaran Trapsila akan menimbulkan krisis keimanan bagi anak-anak muslim. Dengan adanya materi dari berbagai agama, maka tidak menutup kemungkinan akan membuat anak-anak memiliki pandangan bahwa semua agama sama.

Semestinya, untuk menanamkan pendidikan budi pekerti kepada para siswa, bisa dilakukan dengan menambah jam pelajaran agama di sekolah. Hal ini akan membuat siswa memiliki kesempatan lebih banyak untuk mempelajari nilai-nilai agama, termasuk di dalamnya budi pekerti, yang tak hanya berlaku bagi siswa muslim semata, namun juga bisa diberlakukan terhadap siswa non muslim.

Pengajaran budi pekerti di sekolah memang diperlukan, namun hal itu tidak dilakukan dengan mencampuradukkan agama. (ASF)

Kamis, 03 September 2009

Kemuliaan Layâlul Bîdh, Malam Purnama bulan Ramadhan

Diriwayatkan dalam sebuah penggalan hadits, Rasulullah saw berdabda :

شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار

…. Inilah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya merupakan pembebasan dari api neraka …. (Al-Hadits)

Terlepas dari perdebatan masalah shahih atau dhaif-nya, sebagai fadhailul a’maal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan), hadits tersebut dapat dijadikan pijakan hukum untuk melakukan suatu ibadah amaliah.

Hal ini sebagaimana yang dikatakan para ulama bahwa Hadits Dha’if (hanya) dapat diberlakukan dalam fada’ilul a’mal, yakni setiap ketentuan yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir atau hukum, yakni hadits-hadits yang menjelaskan tentang targhib wa tarhib (janji-janji dan ancaman Allah SWT).

Hadits di atas mengandung penjelasan tentang keagungan Ramadhan, dimana "bulan penuh berkah" ini, awalnya adalah Rahmat, pertengahannya Ampunan dan akhirnya merupakan Pembebasan dari api neraka.

Bila dalam 1 bulan (Hijriyah) berjumlah antara 29 atau 30, maka yang dikatakan “awwaluhu”/awalnya adalah hitungan hari mulai dari tanggal 1 hingga tanggal 10 (10 hari yang pertama); “awsathuhu”/pertengahannya adalah 10 hari kedua, yaitu tanggal antara 11 s.d 20; dan “Akhiruhu”/penghabisannya adalah 10 hari terakhir, yakni tanggal 21 s.d 29/30. Sekarang ini kita sedang berada pada “awsathuhu”, pertengahannya bulan ramadhan atau 10 hari yang kedua bulan puasa.


Ada apa di 10 hari kedua Ramadhan?

Kalau setiap bulan dalam kalender Hijriyah ada hari-hari yang disebut hari putih (Ayamul Bidh), yaitu hari yang jatuh pada tanggal 13, 14 dan 15, dimana pada hari-hari ini tersebut sangat diajukan untuk melakukan amalan ibadah puasa sunnah sebagaimana berpuasa pada hari Senin dan Kamis, atau Puasa Nabi Dawud, maka di bulan ramadhan ada Layâlil Bîdh.

LAYALUL BIDH (Layâlul jamak dari kata Laylun, artinya malam; Bîdh dari kata baydun, yang berarti putih) adalah malam-malam purnama, yaitu malam tanggal 13, 14 dan 15. Malam-malam ini termasuk malam-malam yang paling mulia di bulan Ramadhan sesudah malam-malam Al-Qadar (Laylatul-Qodr).

Dalam kitab Mafâtihul Jinân bab 2, pasal 3, yang ditulis oleh Syeikh Abbas Al-Qumi disebutkan tentang amalan-amalan yang dianjurkan pada Layâlil Bîdh, antara lain :


Malam ke-13

Pada malam ini dianjurkan untuk melakukan mandi sunnah, setelah bersuci dilanjutkan dengan shalat sunnah empat rakaat dalam dua salam, setiap selesai membaca Surat Fatihah dilanjutkan bacaan Surat Al-Ikhlash sebanyak 25 kali. Selanjutnya melakukan shalat sunnah kembali dua rakaat yang diniatan untuk menghormati datangnya malam yang mulia ini. Setiap selesai membaca Surat Al-Fatihah, dilanjutkan dengan membaca Surat Yasin, Surat Al-Mulk, dan Surat Al-Ikhlash.


Malam ke-14

Pada malam ini, amalan dimulai dengan melakukan amalan yang sama seperti amalan malam ke-13. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca doa Mujir, yang fadhilahnya untuk pengampunan dosa dan kemudahan rejeki. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa fadhilah doa ini adalah untuk pengampunan dosa-dosa walaupun sebanyak tetesan hujan dan daun pepohonan.


Malam ke-15

Malam ini adalah malam yang penuh berkah. Amalan di dalamnya diawali dengan mandi sunnah seperti pada malam 13 dan 14, kemudian berziarah (membaca doa ziarah) kepada Imam Al-Husein (sa) cucu tercinta Rasulullah saw. Doa Ziarah yang paling singkat adalah mengucapkan salam kepadanya, yaitu:

اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا اَبا عَبْدِ اللهِ، السَّلامُ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاتُهُ

Salam atasmu wahai Aba Abdillah, semoga rahmat dan keberkahan Allah tercurahkan padamu.

Selanjutnya melakukan shalat enam rakaat (setiap dua rakaat salam) dengan tatacara yang sama seperti shalat pada malam 13 dan 14, kemudian diteruskan Shalat Seratus Rakaat, setiap selesai membaca Surat Fatihah dilanjutkan bacaan Surat Al-Ikhlash sebanyak 10 kali.

Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berkata: “Barangsiapa yang melakukan shalat ini, Allah akan mengutus padanya sepuluh malaikat untuk melindunginya dari musuh-musuhnya, jin dan manusia, dan mengutus padanya tiga puluh malaikat saat kematiannya untuk menyelamatkannya dari neraka

Hari ke 15 adalah hari yang sangat mulia, bersedekah dan berbuat kebajikan pada hari ini memiliki banyak keutamaan.

Wallahu a'lam

(ASF/dari banyak sumber)