BEBERAPA hari belakangan berita-berita di media massa mulai menyoroti aktivitas "mudik" masyarakat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Pemudik terus saja membanjiri terminal, stasiun, pelabuhan, hingga bandara.
Lalu dari mana sebenarnya asal muasal istilah mudik? Tidak ada yang bisa menjawab secara pasti. Istilah mudik sendiri tercatat di Kamus Umum Bahasa Indonesia WJS Poewadarminta (1976), di dalam kamus tersebut mudik berarti "Pulang ke udik atau pulang ke kampung halaman bersamaan dengan datangnya hari Lebaran".
Di dalam ajaran Islam, tradisi mudik tidak dikenal. Usai melaksanakan puasa selama sebulan penuh, umat Islam hanya diperintahkan mengeluarkan zakat fitrah dan melaksanakan salat Ied di tanah lapang, serta melarang berpuasa di hari pertama dan kedua Idul Fitri.
Namun, ada juga yang menafsirkan arti dari Idul Fitri yaitu kembali ke fitrah sebagai "kembali kepada asal muasal". Sehingga para perantau di kota-kota besar berondong-bondong kembali ke kampung halamannya atau dikenal mudik.
Sementara menurut Umar Kayam (2002), mudik awal mulanya merupakan tradisi primordial masyarakat petani jawa. Keberadaannya jauh sebelum Kerajaan Majapahit. Awalnya kegiatan ini digunakan untuk membersihkan pekuburan atau makam leluhur, dengan disertai doa bersama kepada dewa-dewa di Khayangan.
Tradisi ini bertujuan agar para perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan tidak diselimuti masalah.
Namun, masuknya pengaruh Islam ke Tanah Jawa membuat tradisi ini lama-kelamaan terkikis, karena dianggap perbuatan syirik. Meski begitu, peluang kembali ke kampung halaman setahun sekali ini muncul lewat momen Idul Fitri.
Makanya, tidak heran kebanyakan masyarakat Jawa yang mudik selalu menyempatkan diri untuk ziarah dan membersihkan kuburan.
Kini, teknologi semakin maju. Sudah ada hape, internet, hingga teleconference yang memudahkan komunikasi dari jarak jauh. Namun, meskipun biaya komunikasi lewat hape dan internet sudah terjangkau, masyarakat merasa tradisi mudik tidak lagi bisa tergantikan.
Menurut sosiolog Universitas Gajah Mada Arie Sudjito, ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan tradisi mudik. Salah satunya, disebabkan teknologi tersebut belum menjadi bagian dari budaya yang mendasar di Indonesia, terutama pada masyarakat pedesaan.
Sehingga para perantau rela berdesak-desakan mengantre tiket, naik kereta hanya demi tiba di kampung halaman sebelum Lebaran. Namun, bukan berarti tradisi mudik tidak bisa hilang. Tradisi mudik bisa saja hilang, namun dalam waktu yang relatif lama.
Setidaknya ada 4 hal yang menjadi tujuan orang untuk melakukan mudik dan sulit digantikan oleh teknologi. Pertama, mencari berkah dengan bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan tetangga. Kedua, terapi psikologis. Kebanyakan perantau yang bekerja di kota besar memanfaatkan momen lebaran untuk refreshing dari rutinitas pekerjaan sehari-hari. Sehingga ketika kembali bekerja, kondisi sudah fresh lagi.
Ketiga, mengingat asal usul. Banyak perantau yang sudah memiliki keturunan, sehingga dengan mudik bisa mengenalkan mengenai asal-usul mereka.
Dan yang terakhir, adalah unjuk diri. Banyak para perantau yang menjadikan mudik sebagai ajang unjuk diri sebagai orang yang telah berhasil mengadu nasib di kota besar.
Jadi, rupanya memang sulit untuk menghilangkan tradisi mudik di Indonesia. Asalkan pengelolaan dari pihak terkait berjalan lancar, mudik juga insya allah berjalan lancar. Selamat Mudik!. (uky/okezone)
buat yg mudik : hati2 di jalan - buat orang jakarta : Hore Jakarta Bebas Macet :))
BalasHapus