(MagarsariPost) - Bagi Wong Magarsari Pesantren Gedongan-Cirebon, hari raya (bada) bukan cuma Iedul Fitri (Bada Kecil) dan Iedul Adha (Bada Besar) saja, tetapi ada satu bada lagi, yaitu Bada Kupat.
Bada Besar --kadang disebut juga 'Bada Kaji', menunjuk pada Hari Raya Idhul Adha Tanggal 10 Dzulhijjah. Bada Kecil, adalah istilah lain dari Idul Fitri (Lebaran). Sementara Bada Kupat disebut juga Bada Sawal, adalah hari raya yang merujuk pada tanggal 07 bulan Syawal, seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri.
Kata “bada” sinonim dengan kata “lebar”. Bada adalah pelafalan lidah Jawa atas kata ”bakda” yang berasal dari bahasa Arab yang artinya seteleh/sesudah. Namun demikian, istilah ”lebaran” hanya diacukan pada Idul Fitri. Mengapa? Karena orang Islam secara massif berlebaran atau menyudahi atau ”selesai dari” menjalankan puasa Ramadan selama sebulan.
Dalam praktiknya, istilah bakda (baca: bada) menunjuk pada waktu yang besar atau yang dibesarkan yang perlu diperingati terutama oleh orang Islam. Karena itu, secara sosiologis, istilah itu diduga muncul pertama kalinya dari komunitas santri.
Pada komunitas santri, terdapat tiga sel yang saling menghidupi, yaitu santri dalam arti pelajar di pesantren; kiyai (guru di pesantren); dan pranata keagamaan yang disosialisasikan dalam dunia pesantren. Di komunitas pesantren itulah kiyai men-sunnahmuaqqod-kan para santri untuk melakukan tambihus-syiam, yaitu puasa syawal.
Kalau puasa Syawal itu dikerjakan, maka kepadanya dijanjikan ampunan atas kesalahan (dosa) yang dilakukan setahun lalu. Ampunan Tuhan adalah urusan hablum minallah. Urusan sesamanya, yang disebut hablum minan-nas, juga harus diselesaikan. Jika keduanya dapat dijangkau dengan sempurna, maka ungkapkan kata : “Minal a’idin wal faidzin”.
Kata “sempurna” atau “penyempurnaan” dalam bahasa Arab disebut kaffaat atau kaffatan. Dalam lidah Jawa, kata itu dilafalkan “kupat” atau “kupatan”. Ini adalah dugaan awal mengapa pada tanggal 07 Syawal disebut “Bada Kupat“.
Pada pada saat Bada Kupat ini, mereka baru bersilaturrahim kepada kerabat dan gurunya. Dari ujung ke ujung atau berkunjung sehingga kegiatan bersillaturahim ini diberi istilah “ujung”.
Ada dua tujuan inti dari Ujung. Yang pertama, meminta maaf atau berharap untuk bisa saling memaafkan. Yang kedua, memohon (ngalap berkah) terutama dari guru atau kiai dan dari kerabat yang dituakan.
Ungkapan meminta dan memberi maaf secara massif menandai makna Bada Kupat, dan secara simbolik diilustrasikan dengan penyediaan dan penyajian kupat-lepet kepada tamu yang berkunjung.
Dalam konteks ini, kupat-lepet sebagai ungkapan mengaku lepat atau luput. Pengakuan demikian penting karena itu kata kupat jika ditarik ke ranah filosofi Jawa bisa bermakna “nyukupke kang papat” (melengkapi empat hal), atau “laku kang papat” (melakukan empat hal). Keempat hal itu ialah (1) puasa Ramadan selama sebulan, (2) membayar zakat fitri, (3) shalat Id, dan (4) puasa enam hari pada bulan syawal.