Mati beli, arep Urip Maning beli Wanih…
Oleh: Jawawi Yahdi *)
Sekitar tahun 1995, timbul semangat yang begitu kuat di antara remaja dan pemuda Magarsari blok Gedongan untuk menunjukkan eksistensi dan jati dirinya, terutama dalam berorganisasi. Kesadaran akan perlunya sebuah wadah untuk mengelola dan mengembangkan potensi-potensi tersembunyi --ataupun disembunyikan, karna blenak karo sing duwe “sari“-- memunculkan ide untuk membentuk suatu organisasi kepemudaan yang ‘independen’ dalam artian murni berakar dari pemikiran bocah Magarsari dhewek tanpa ada intervensi dari luar itu.
Maka dalam sebuah ‘rubungan bocah enom’, digagaslah sebuah organisasi yang dapat mengikat para remaja serta pemuda blok Gedongan khususnya kaum Magarsari dengan nama Ikatan Remaja & Pemuda Gedongan yang disingkat “IRPG”. Spontan, ide ini mendapat dukungan mayoritas bocah enom yang hadir.
Tanpa ada deklarasi ataupun sidang komisi --karena AD/ART maupun landasan organisasinya pun tidak ada--, IRPG lahir di Gedongan menjadi satu-satunya organisasi yang mewadahi dan mengaspirasikan fikiran, gagasan, kreasi dan keinginan bocah enom Magarsari. Perlu dicatat di sini bahwa, IRPG ada (diadakan) bukan untuk menyaingi ataupun menandingi potensi SDM yang dimiliki oleh para Kang lan Otong atawa Kacung (putra-putri keturunan Kiyai), bukan itu (tingeling). Sederhana saja, IRPG diwujudkan hanya sekedar untuk melatih kemandirian bocah enom Magarsari dalam mengorganisasikan dirinya sendiri, mengadakan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan di lingkungannya, agar setidaknya apabila ada kegiatan-kegiatan besar di lingkungan Pondok Pesantren Gedongan seperti : haul, imtihan, khataman, muludan atau rajaban, peringatan hari-hari besar Islam dan lainnya, para bocah enom ini mampu berperan dan diperankan secara maksimal. Dengan tekad yang demikian, tak heran kalau organisasi baru ini akhirnya mendapat restu dan dukungan dari kaum tua serta tokoh masyarakat Magarsari.
Terbukti kemudian, dengan terbentuknya organisasi ‘IRPG’ ini, kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang semula bersifat serabutan (beli karuan gegedege) mulai ditata dan dimenej (dikelola) baik kepengurusannya maupun pendanaannya, seperti halnya pada pengelolaan obrog-obrog (tabuhan penggugah sahur kala bulan puasa yang terdiri dari dogdog, genjring dan kecrek) serta damar kurung (lampion lilin dari kertas wajik warna-wani dengan kerangka bilah bambu), dari hasil upah jasa kegiatan ini terhimpunlah dana kas yang cukup lumayan, hingga dapat untuk merehabilitasi peralatan genjring-dogdog dan lain-lain, bahkan mampu membeli seperangkat pengeras suara berikut genset. Walhasil, bocah enom (remaja dan pemuda) Gedongan ana dedege.
Puncak ‘unjuk jati diri’ organisasi IRPG adalah dengan diadakannya kegiatan Halal Bihalal dan Pengajian Umum di lingkungan Magarsari, yang tempatnya dikonsentrasikan di halaman rumah orang tua penulis. Namun justru inilah yang menjadi anti-klimaks dari keberadaan IRPG. Karena setelah kegiatan tersebut tidak ada lagi bocah enom yang berani-sedia menjadi ketua, pengurus ataupun penanggung jawab kegiatan.
Halal Bihalal dan Pengajian Umum, in memoriam
Galibnya di masyarakat baik di perkotaan ataupun di pedesaan, setelah merayakan hari Raya Iedul Fitri, diselenggarakanlah acara yang populer dikenal dengan sebutan “Halal Bihalal” --baik diadakan oleh instansi maupun kelompok organisasi kemasyarakatan--. Biasanya, puncak acara ini diisi dengan ceramah agama atau mauidzoh hasanah. Begitu juga yang dilakukan bocah enom IRPG Gedongan. Dalam rangka menghidupkan kembali tradisi dan menysiarkan Hari Raya Idul Fitri, organisasi IRPG menggagas diadakan suatu kegiatan yang positif dan membangun yaitu “Halal Bihalal dan Pengajian Umum”.
Dilandasi semangat ingin mandiri, maka dibentuklah Panitia Halal Bihalal dan Pengajian Umum Ikatan Remaja & Pemuda Gedongan --dengan tidak melibatkan unsur Kang lan Otong atawa Kacung (putra-putri keturunan Kyai). Dan berdasarkan urun rembug panitia, maka ditetapkanlah hari “H” pelaksanaan kegiatan yaitu pada tanggal 20 Januari 2000, yang mengambil waktu ba’da Isya.
Semua persiapan terkendali dengan lancar, seluruh panitia pun optimis bahwa acara akan berjalan sesuai dengan rencana, sampai akhirnya pada pukul 17.30 WIB --menjelang surup srengenge-- peristiwa di luar skenario panitia pun terjadi, dan inilah yang penulis anggap sebagai anti-klimaks dari keberadaan organisasi IRPG.
Sore ba’da Ashar panitia yang bertugas ngaturi para kyai berangkat, semua kyai dan dzurriyahnya diundang. Berbagai komentar maupun tanggapan disampaikan kepada Panitia, kami menerimanya sebagai masukan. Namun ada komentar yang kontra-produktif dilontarkan oleh KHMD --kyai harismatik yang sangat penulis hormati-- sampai-sampai panitia –sing lagi belingsatan ngurusi persiapan- dikon teka sowan menghadap beliau KHMD. Sdr. Ketua Panitia, sdr. Ketua IRPG dan penulis sendiri langsung ganti pakaian –sarungan lan pecian, sebab lamon ngadep kyai nganggoe celana beli sopan, dusun- siap-siap menghadap.
Tiba di rumah sang kyai, seperti biasa kami uluk salam, cium tangan dan duduk bersimpuh. Beliau KHMD --masih dalam posisi nggeleng, sirahe diganjel tangan-- ‘menginterograsi’ kami bertiga, kami dicecar pertanyaan; “Apa maksud dan tujuan kegiatan, siapa yang bertanggungjawab, dan sudah minta restu kepada kyai siapa (???!!). Kami menjawab apa adanya, bahwa itu semua adalah ide murni bocah enom. Sampai akhirnya tiba-tiba beliau KHMD bangkit, berdiri sambil nyuding ning rai penulis seraya ngendhika dengan nada tinggi :
“Bocah bodoh ngaku pinter, ya sira..!!! bocah beli ngaji ngaku ngaji, ya sira...!!! Gedongan beli pantes ngana ena halal-bihalalan .... bla..... bla ..... bla....” (kurang etis untuk diceritakan semua).
Beliau KHMD mengancam akan membubarkan acara (!!&#$?”#!). Kami semua tegang, diam seribu bahasa dan bingung -cuma rada gemuyu setitik ketika Sdr. Ketua Panitia nyethuk dengan harap-harap cemas : “Kyai niku rokoke kewalik nyulede....”
Menjelang adzan maghrib, dengan penuh kehati-hatian dan rendah hati kami memohon maaf atas ke’bloonan’ dan kelancangan kami, dan memohon supaya acara tetap bisa berjalan sesuai dengan rencana. Akhirnya... permohonan kami disetujui, namun dengan catatan : “Aja maning-maning...!!”
Malam harinya, acara berjalan cukup meriah, para kyai berkenan rawuh baik dari “blok” kulon maupun wetan. Penceramah tunggal K.H. Najmuddin Ali Khaer dari Plumbon, menyampaikan materi dakwah dengan lugas. Sebagai pembuka acara kami menampilkan Grup Qasidah Remaja Magarsari yang disambut dengan penuh riuh-ria.
Kami bersuka melihat antusiasme dan responsibility masyarakat yang begitu tinggi, ini terlihat dari berbondong-bondongnya mereka hadir di acara kami.
Kami bungah menyaksikan di depan mata partisipasi warga Magarsari yang bahu-membahu menunjukkan kepedulian secara langsung seperti kesediaan terlibat dalam susunan kepanitiaan, maupun tidak langsung dengan dukungan akomodasi maupun konsumsi.
Kami bangga, karena --kalau diberi tanggungjawab atau mandate-- sebetulnya kami pun bisa!.
Namun sayangnya, langkah kami harus berhenti sampai di sini, sebagai permulaan namun juga menjadi penghabisan, karena setelah hampir satu dasawarsa peristiwa itu berlalu, hingga kini --benar-benar-- tidak pernah ada lagi bocah enom Magarsari yang berani-sedia menyelenggarakan suatu kegiatan, “Apa jare kyai!”.
Dari pengalaman kejadian yang penulis utarakan, banyak hal yang dapat diambil hikmah untuk direnungkan dan diambil pelajaran demi kemajuan bersama. Penulis sampai saat ini tetap berkeyakinan bahwa peluang --untuk bisa-- itu masih tetap ada dan terbuka, apalagi kondisi saat ini yang semakin kondusif baik di masyarakat Magarsari sendiri maupun lingkungan “jero”. Namun permasalahaanya adalah : “Kapan harus memulainya lagi... (?!)”
*****
*) Penulis lahir dan menjalani masa remajanya di Gedongan, sekarang tinggal dan menetap di “Kota Hujan” Bogor bersama istri dan kedua anaknya. Nyuwun ziyadah pendongane, saat ini penulis dalam penantian Wisuda S1 di STAI Al-Hidayah Bogor, Fakultas Syariah Jurusan Hukum Islam.
Catatan redaksi :
Tanpa mengurangi rasa bangga, tulisan ini sudah mengalami beberapa perubahan dari konsep aslinya. Dan demi menjaga kode etik jurnalistik, penyebutan nama personal sengaja dihilangkan atau diinisialkan. (red.)
Antum Memang santri tulen masss..
BalasHapusAntum memang santri tulen mass
BalasHapus