Bagi saya, Gedongan adalah tanah tumpah darah. Jika ada yang menanyakan tentang asal-muasal, dengan pe-de saya menjawab, “Kula saking Gedongan” (Saya dari Gedongan). Setiap kali berkesempatan pergi ke suatu kota, saat berkenalan dengan orang yang baru berjumpa, saya selalu menyebut, “Saya orang Cirebon, asal Gedongan, Blok Pesantren di Wilayah Timur Cirebon (WTC)”. Dan --biasanya-- kenalan baru tersebut manggut-manggut seperti paham (atau sekedar pura-pura paham, supaya tidak terkesan mengecewakan....).
Saya asli wong Gedongan, lahir di Gedongan tahun 1975. Meski kakek-buyut keturunan Sindang, namun sudah menetap di Gedongan sejak Babat Bumi Gedongan. Mama --sampai saya beranjak besar-- bekerja sebagai Pamong Desa Ender dengan jabatan terakhir Ngabihi, dan Bibi sebagai ibu rumah tangga tulen yang memiliki sambilan sebagai toekang jahit (“Mama-Bibi” adalah sebutan kepada bapak-ibu oleh kebanyakan Wong Magarsari Gedongan).
Waktu masih muda dan belum direpotkan oleh banyak anak, konon Bibi sempat menjadi produsen jaburan yang diasong keliling kampung oleh anak-anaknya juga dititipkan di warung-warung. Bibi bilang; anak-anak Bibi seluruhnya berjumlah 14 atau 15, dan saya yang ke-13. Namun sampai saya dewasa yang tersisa tinggal 7 orang (wong pithu), 4 lelaki (di dalamnya saya), dan 3 perempuan. Dari ketujuh bersaudara, hanya seorang saja yang kini menetap di Gedongan, mendiami Rumah Pusaka. Selebihnya --termasuk saya-- menyebar di luar Gedongan mencari jalan sendiri-sendiri tuk membangun kehidupan (ma’isyah).
Saya terjangkit virus plurasisme firqah (sekte keagamaan) di Pesantren Darunnajah Jakarta, yang karenanya menjadikan saya berpendirian gamang menyikapi perbedaan amaliyah yang kerap diperselisihkan penganut firqah di Indonesia. Tapi ‘virus’ tersebut tidak saya sesali, malah saya syukuri. Karena dengannya saya dapat mengendalikan emosi, tidak mudah tersulut oleh bara pertengkaran silang pendapat antar firqah. Saya yakini sedalam-dalamnya bahwa “ikhtilaf” adalah “rahmah”, sebagai wacana/fikrah yang tidak harus dipertentangkan. Di Darunnajah sendiri, meski direkturnya berpaham NU tidak pernah ada konflik antar santri atau ustadz oleh karena beda firqah, tidak NU tidak juga Muhammadiyah, tidak Persis atau Al-Irsyad, PUI, Syiah atau apalah. Hal ini karena Darunnajah mempunyai semboyan “di atas dan untuk semua golongan”, dan saya suka itu. Hingga saya pun pernah ikut-ikutan/latah menyematkan nama saya sebagai "Muhammad eN-U".
Darunnajah sukses pula mendogma saya, sehingga begitu lulus Kelas Niha'i (pamungkas), saya tidak berorientasi harus nerus ke Kampus berbasis Diniyah semisal IAIN, STAI atau kampus lainnya yang berembel-embel agama. Saya malah menempuh jalur politeknik (informatika). Biarkan saja, lagi pula saya pintar (ilmu) agama, belum tentu saya pulang ke Gedongan menjadi ulama. Namun ini bukan berarti saya mengesampingkan ilmu diniyah, saya tetap mengkajinya dengan bekal sedikit ilmu bahasa yang saya peroleh dari Darunnajah.
Di Gedongan, guru pertama yang paling berjasa menyelamatkan saya dari kebodohan baca tulis Al-Qur'an (BTQ) adalah Almarhum Almaghfurlah KH. Imam Dimyati (semoga Allah swt. meridhai dan merahmatinya). Beliau dengan telaten membimbing dan menuntun saya serta puluhan anak Magarsari lainnya membaca dan menulis Al-Qur'an dengan sahih, pada sore hari menjelang maghrib dan pagi seusai shalat subuh. Bukan cuma itu, di Majelis Ta’lim depan rumahnya, beliau juga mendermakan ilmunya kepada kami dengan menyelenggarakan kajian Kitab Safinatunnajat selepas shalat Isya'. Ngaji di sini libur setiap hari Jum'at, dan di hari Sabtunya biasanya kami para murid dengan suka rela setor ‘segendul lenga lantung’ (sebotol kecap minyak tanah) yang dibawa dari rumah sebagai syahriyah, atau sebagai imbal jasa, kami juga nimba kolah (mengisi bak mandi dari sumur) setiap diminta dan/atau jika dibutuhkan.
Hatam Qur'an di Majelis Ta’lim Kyai Imam --biasa masyarakat dan para santri memanggilnya, saya perdalam Al-Qur'an dengan berguru pada KH. Abu Bakar Sofyan Al-Haafidz. Walau hanya tutug pada hapalan Juz Amma’ saya bangga pernah menjadi santri di Madrasatul Huffadz bareng dengan Kang Emun (Maemun Fauzi, Kandidat Profesor di Institut Fertigungtechnik und Werkzeugmachinen, Universitdt Hannover Jerman).
Oleh Mama ketika itu, saya diarahkan melanjutkan sekolah di Madrasah Tsanawiyah Manbaul Hikmah (masih di Gedongan) yang ketika itu baru dalam tahap rintisan. Tiga tahun menjadi siswa, setelah lulus saya diboyong Kakang ke Jakarta, mengabdi di Parung-Bogor dan menjadi santri Darunnajah.
*****
Pada tahun 1992 --dalam kesempatan libur semesteran, saya mudik ke rumah-- saya memprakarsai teman-teman membentuk “Front Gedongan Bersatu”. Lukman cs. dan Apung/Maghfur cs. --teman ketika di SDN Ender 02-- yang mengilhami. Kedua teman tersebut dapat dibilang sebagai Gegedege bocah enom umbul Wetan dan umbul Kulon yang sedang berseteru memperebutkn Dogdog. Ironis, menurut saya; Gedongan yang hanya sebuah Blok Cantilan, dengan beberapa gelintir penghuninya harus terkotak menjadi dua kubu. Berbarengan dengan konflik tersebut, di luaran sana sedang santer isu “Gedongan diece (dilecehkan) oleh kampung seberang, namun tidak ada respon bocah Gedongan yang mengambil tindakan”. Saya berpikir; bagaimana mungkin akan bertindak, wong di dalamnya saja sedang menghadapi masalah (?).
Berangkat dari permasalahan tersebut, maka pada malam dan waktu yang disepakati, pimpinan kedua kubu berseteru beserta genx-nya dipertemukan, rembug bareng dalam satu ruangan di rumah salah satu warga. Ditempuhlah jalan damai, dan diketemukan kata “sepakat”, yang pada akhirnya digagaslah suatu wadah yang dapat mempersatukan, dan dideklarasikanlah “Front Gedongan Bersatu”.
Namun sayang, umur paguyuban yang lahir atas niat tulus untuk bersatu, murni atas inisiatif Bocah Enom Magarsari ini hanya satu malam. Alih-alih matur mohon petunjuk dari “orang yang lebih ahli dan berpengalaman”, malah paguyuban ini dianggapnya terlalu frontal hanya karena memakai embel-embel nama “Front” di depannya, dan --yang paling tidak mengenakkan-- oleh tokoh yang kala itu masih menjabat sebagai ketua cabang organisasi kepemudaan NU tingkat kabupaten tersebut dianggap tidak memiliki landasan organisasi dan AD/ART yang kokoh. Selanjutnya, setelah matur malam itu saya tidak tahu lagi nasib organisasi bocah enom Magarsari. Karena --libur sudah usai-- saya harus kembali melanjutkan studi.
Jarang yang tahu bahwa Gedongan memiliki “Lima Pusaka” (dalam catatan saya, pen.), dua pusaka terdapat di luar pemukiman warga, yakni Maqbaroh/pemakaman umum dan Sumur Gedongan; serta tiga pusaka lainnya berada di dalam pemukiman, yaitu : Masjid, Langgar/surau, dan Rumah Tinggal yang hingga kini masih dihuni oleh Kang Imroh Yusuf (Ibunda Maemun Fauzi) beserta keluarga dan santri-santrinya.
Dua pusaka masing-masing maqbaroh yang terletak di luar sebelah barat dan Sumur Gedongan terletak di luar sebelah timur pemukiman, hingga kini keberadaannya masih lestari dan masih bisa ditelusuri.
Maqbaroh atau kuburan --walaupun belum bisa menemukan faktanya, pen.-- kemungkinan adalah pusaka yang tertua di Gedongan. Di tengah areal pemakaman warga ini, waktu saya kecil dulu terdapat Wit (pohon) Walikukun --yang menjulang paling tinggi di antara pohon-pohon lainnya-- yang memiliki keramat. Konon katanya di Jaman Penjajahan, ketika Bala Tentara Belanda hendak menyerbu dusun Gedongan, mereka terhalang oleh hamparan luas samudra yang di tengahnya berdiri tegak tiang bendera, dan misipun urung diteruskan. Konon samudra adalah penampakan dari pemukiman warga Gedongan, dan tiang bendera adalah penampakan dari Wit Walikukun; begitu para pini-sepuh dahulu suka bercerita.
Sumur Gedongan menjadi pusaka karena sumur ini titik penggaliannya atas istikharah KH. Muhammad Said, Pendiri Pondok Pesantren Gedongan. Kelebihan (dapat juga disebut karomah) dari Sumur Gedongan adalah air yang ditimba dari dalam sumur ini bening tur jernih, serta berasa adem, tidak asin dan tidak anta bila diminum, sangat berbeda dengan sumur pada umumnya. Sepanjang tahun, sepanjang musim, sumur ini menjadi sumur utama warga Gedongan dan sekitarnya sebagai sumber mineral alami yang tidak pernah kering (kasatan).
Ada keyakinan sebagian Wong Gedongan bahwa setiap tanggal 15 bulan
Sya'ban atau populer disebut
Nisfu Sya'ban, Sumur Gedongan konon mengeluarkan air zam-zam pada saat sore menjelang maghrib (
surup sandakala). baca :
Fenomena Banyu Zamzam Nisfu Sya'ban di Gedongan.
Percaya atau tidak, iseng-iseng menarik garis lurus dalam situs Layanan Kiblat di
http://www.iwkz.de/, bila titik kedua pusaka ini dihubungkan garis lurus, maka akan menunjuk ke arah Masjidil Haram/Kiblat. (
Wallahu A’lam....).
Bila pusaka yang terletak di luar pemukiman warga masih lestari hingga kini, lain halnya dengan tiga pusaka yang berada di dalam pemukiman, keberadaannya sungguh-sungguh memilukan. Dari ketiganya, masih tersisa dua; yang satu Langgar (difungsikan sebagai padepokan santri Al-Qur'an/Madrasatul Huffadz asuhan KH. Abu Bakar Sofyan) dan satunya lagi Rumah Kuna bergaya arsitektur (asli) Cirebon tempat Kacung Mahrus (KH. Mahrus Ali, Kediri) dahulu menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya. Sementara masjid yang justru sebagai pusaka utama kini tinggal kenangan, yang tersisa hanya sebuah cerita. Padahal bangunan antik nan sakral tersebut pernah menjadi sentral perjuangan KH. Muhammad Said dalam "Babat Bumi Gedongan".
Sebagai gambaran tentang Masjid Gedongan, dituliskan apik dalam buku “Sekilas Sejarah Pondok Pesantren Gedongan Cirebon Jawa Barat” sebagai berikut :
.... bentuk dan potongan bangunan masjid sangat antik, separo dari luas badan masjid berbentuk panggung. Lantai teras masjid terbuat dari batu alam segi empat berukuran 70 cm persegi. Warna dasar batu dengan permukaan yang agar kasar menunjukkan pahatan tangan yang kreatif. Bagian muka masjid berupa tembok dengan jeruji kayu jati ukiran di atasnya, badan bangunan bagian depan berupa tembok tebal dengan ketinggian sempurna dan berlantai ubin kuno dengan variasi ubin kembang. Di atas ubin ini terdapat dua baris goresan panjang yang tersorot sinar matahari dari genteng yang sengaja dilubang bulat. Sorot sinar matahari yang menembus ke dalam masuk melalui genteng itulah yang dalam posisi tertentu berfungsi sebagai petunjuk waktu.
Bagian tengah masjid hingga ke mimbar khutbah berbentuk panggung dengan lantai papan kayu jati tebal. Ada empat tiang penyangga di tengah dari kayu jati dengan ukiran indah, di setiap sudut bergantung lampu-lampu indah dan antik.
Itulah bangunan masjid (Gedongan) yang kini tinggal kenangan, masjid itu dipugar dan dibangun kembali pada tahun 1981 tanpa alasan kerapuhan bangunan, kecuali dua tiang yang dianggap keropos.... (H. Taufikurrahman Yasin, 2005 : 34).
Ironisnya, bangunan masjid yang ada sekarang tidak lebih bagus dari bangunan masjid pusaka yang pernah ada, absurd. Tidak jelas gaya arsiterktur mana yang menjadi modelnya. Dan karomah-karomah yang terkandung di dalamnya pun lambat laun kian pudar dan punah.
Masih pekat dalam ingatan di masa saya kanak-kanak dulu, kentong masjid Gedongan bila ditabuh sebagai tanda masuknya waktu, gemanya dapat didengar orang yang berada hingga di radius 5 kilometeran lebih. Kini, jangankan mencapai jarak sejauh itu, 500 meter pun sudah lamat-lamat terdengar.
Tradisi mandi hari Jum'at Kliwon di kolah (bak wudlu) masjid Gedongan pada saat iqamat shalat Jum'at (khotib turun dari mimbar), menjadi rutinitas warga (khususnya kaum ibu dan anak-anak putri) yang ingin ngalap berkah. Bukan cuma dikerumuni warga asli, tapi banyak juga penduduk luar Gedongan yang ikut-ikutan. Kini, entah apakah tradisi ini masih ada?
Dan masih banyak lagi karomah-karomah lainnya serta ketabuan, seperti tidak diperkenankannya menunjuk Memolo (mustaka) yang ada di puncak masjid, karena akan mengakibatkan tangan “cantengan” (wallahu a’lam ....)
Yang saya herankan, dulu.... setiap kali Helatan Haul Gedongan diselenggarakan, walau dari rantau di negri orang saya berupaya keras agar bisa pulang ke kampung halaman. Meski keramaian bagi saya suatu yang biasa, tapi rasanya senang dan bangga saja manakala melihat kampung sendiri ramai dan dikunjungi oleh warga dari luar daerah saat Haul Gedongan. Dan itu saya lakukan setiap tahun, tanpa bosan, mengherankan. Seakan ada sambung rasa, semacam ikatan batin, yang bikin saya (rasanya) wajib hadir saat helatan tersebut diselenggarakan. Itulah daya magi yang magnetis, pertanda aura keramat (saat itu) masih memiliki kekuatan yang mencipta daya tarik. Tapi kini, saya kehilangan rasa itu....
Pada akhirnya saya harus mengeluh; Salahkah kalau saya menyimpan kekecewaan terhadap kebijakan yang mengakibatkan masjid sebagai Pusaka Gedongan harus terbabat habis digantikan bangunan modern yang tidak jelas gaya arsiteknya. Mengapa tidak melakukan perluasan saja ketika itu dengan tetap mempertahankan bangunan aslinya?.
Tapi korban telah jatuh; nasi sudah menjadi bubur, paribasane. Arsitektur kuno pusaka utama Gedongan yang antik dan keramat, telah punah ditelan zaman....
Saat ini, ketika ditanya apa sih (bukti) peninggalan Kyai Said Gedongan? Mana sisa-sisa sejarah bahwa Gedongan pernah menjadi pusat peradaban yang menjadikannya termasuk dalam jajaran pesantren tertua di pulau Jawa? Siapa yang bisa menjawab ini semua?
Duh, Gedongan....! (ASF)
Ketanggungan, Medio Oktober 2010