Ternyata mobil itu digunakan Third Secretary Information and Culture kedutaan besar Jepang untuk Indonesia, Mr Takayuki Kawai. Ia mewakili Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Kojiro Shiojiri, menghadiri peresmian perpustakaan “Endang Bunko” di SDN II Ender.
Sejak acara dimulai, baru Radar dan reporter The Daily Jakarta Shimbun, Yasuhiro Okasaka yang meliput. Hadir di tempat yang sama pembuat film Mas Endang Miyuki Inuoe, dan 15 orang kaum ibu serta anak muda Jepang anggota Jakarta-Japan Networking (J2Net). Mereka adalah istri-istri staf kedubes Jepang di Indonesia dan istri pengusaha Jepang yang beraktivitas di Indonesia. “Ini kedatangan saya kedua ke Cirebon. Sebelumnya, tahun lalu saya sempat berkeliling di Kota Cirebon”, kata Takayuki dengan bahasa Indonesia aksen Jepang.
Kepala SDN Ender II, Hj. N. Amanah SP.d mengaku salut atas upaya Miyuki yang membuat film tentang kematian Endang, warga Desa Ender Kecamatan Pangenan di Jepang. Film itu disambut hangat penonton hingga mengucurkan banyak sumbangan bagi mereka yang berhubungan dengan Endang di Indonesia. Di antaranya SDN II Ender dimana Endang alumnus tahun 1999. SD yang terletak di jalan arah masuk Pesantren Gedongan tersebut mendapat sumbangan pembangunan sebuah gedung perpustakaan berikut isi. “Nilai bangunannya sekitar Rp300 juta”, terang Amanah seraya menyebutkan perjuangan Miyuki sangat mulia dan gadis Jepang itu dianggap termasuk pahlawan tanpa tanda jasa.
Miyuki serius dengan pendirian gedung “Endang Bunko”. Ia menjelaskan bunko adalah bahasa Jepang untuk perpustakaan kecil. Maka tak tangung-tanggung, 2 arsitek dari Jepang dipercaya untuk membangunnya. Ada Ikko Kobayashi dan asisten profesor dari Tokyo University of the arts, Fumi Kashimura. Mereka menyelesaikan pembangunan selama 6 bulan. “Bangunan ini mengadopsi gaya Terakoya”, ujar Ikko seraya menjelaskan Terakoya adalah sekolah rakyat masa Jepang sebelum moderen di era 1800-an yang berada di lingkungan kuil.
Bangunan “Endang Bunko” seluas 8,4 x 8,4 meter sekelilingnya dibuat dari beton dengan banyak jendela di tiap sisi. Atap menggunakan kayu dan anyaman bambu dimanfaatkan sebagai eternit. Pintu masuk utama merujuk konsep pintu geser khas rumah tradisionil Jepang. Tak hanya bagian luar yang bercita-rasa Jepang. Bagian dalam terlihat lebih kentara. Sebuah sudut cukup luas digunakan untuk membaca secara lesehan. Sementara furnitur rak buku dilapisi anyaman bambu.
Ayah Endang, H. Mamat Wasji (52) dan ibu Hj. Saeni (48), mengaku terharu dengan perhatian warga Jepang terhadap kepergian puteranya 4 tahun lalu. Atas film Mas Endang yang dibuat Miyuki, Mamat sempat diundang secara khusus oleh pemerintah Jepang pada 2008. Di Tokyo, Mamat menyaksikan pemberian penghargaan gelar pahlawan dari pemerintah Jepang untuk Endang. Pada 2009, sisi lain keluarga Mamat setelah ditinggal anak kedua dari tiga bersaudara makin mengemuka, sebab hadir di acara talkshow Kick Andy. “Apa yang dikatakan Miyuki ingin memberi bantuan, di antaranya terwujud lewat pembangunan perpustakaan ini”, kata lelaki yang berprofesi petani itu.
Dalam sambutannya, perwakilan Dubes Jepang Mr. Takayuki mengungkapkan, semoga apa yang telah dilakukan Endang dengan berkorban diri menolong orang lain bisa menjadi inspirasi kebaikan bagi semua. Ia berharap perpustakaan yang didirikan mampu meningkatkan kecerdasan adik-adik kelas Endang. “Kami orang Jepang terbiasa dengan budaya membaca. Dengan membaca akan menambah ilmu dan wawasan”, tuturnya.
Acara peresmian berakhir pukul 12.00. Anggota J2Net unjuk kebolehan menghibur hadirin dengan menyuguhkan teater boneka gaya Jepang. Sebelumnya, Senin malam (28/3), anggota J2Net membaur bersama masyarakat sekitar SDN II Ender, bersama menyaksikan pemutaran film Mas Endang.
TAK TERPENGARUH TSUNAMI
Sebuah komitmen luar biasa, ketika negeri dirundung musibah, warga Jepang di Indonesia khususnya yang bertugas di Kedubes Jepang tetap menjalankan pekerjaan sebaik mungkin. “Tidak ada yang pulang ke Jepang. Semua masih bekerja di Indonesia”, kata Third Secretary Information and Culture kedutaan besar Jepang untuk Indonesia, Mr. Takayuki Kawai, menjelaskan staf Kedubes termasuk Dubes Jepang untuk Indonesia Kojiro Shiojiri, masih tetap di Indonesia pasca bencana tsunami menghantam Jepang 11 Maret lalu.
Takayuki sendiri memiliki keluarga besar di Tokyo. Jadi tak terkena dampak bencana gempa dan tsunami yang parah. “Tapi kalau ekses seperti listrik sering mati saat ini di Tokyo, keluarga saya pasti mengalami”, ujar lelaki berkacamata itu. Ditanya soal tsunami, Takayuki mengangguk-angguk tanda penghormatan khas Jepang pada Radar. “Terima kasih, terima kasih”, katanya memaksudkan pertanyaan tentang tsunami dirasakan sebagai bentuk perhatian. (ron)
sumber berita : http://radarcirebon.com/
gambar photo diperoleh dari : http://www.halojepang.com/sosial-iptek/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar