Jumat, 23 Desember 2011

Haramnya Kaum Muslim Ikut Natalan

(MagarsariPost) - Menjelang perayaan Natal bagi umat Kristiani, ada perkara yang harus difahami oleh umat Islam agar tidak terjerumus dalam perbuatan haram dan syirik. Yaitu, tentang hukum mengikuti perayaan Natal bersama yang dilakukan oleh umat Kristiani. Sebab, biasanya mereka mengajak umat Islam untuk mengikutinya sebagai balasan dari kebiasaan mereka ikut acara halal bihalal atau acara Maulid umat Islam. Umat Islam dalam hal ini tidak boleh menganggap hal itu sekedar sebagai hubungan sosial, tapi harus merujuk kepada hukum agama, bagaimana menurut agama Islam. Boleh atau tidak? Halal atau haram?

Dalam masalah mengikuti natalan bersama umat Kristiani ini, MUI telah mengeluarkan fatwa pada tahun 1981 di masa Ketua Umum MUI Prof. Dr. Buya Hamka.

Fatwa MUI yang ditandatangtani Ketua Komisi Fatwa KH. Syukri Ghazali dan Sekretaris H. Masudi tersebut intinya sebagai berikut :

Pertama, bahwa ummat Islam tidak boleh mencampuradukkan aqidah dan peribadatan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain berdasarkan :

  1. Al-Qur‘an surat Al-Kafirun [109] ayat 1-6 : “Katakanlah hai orang-orang kafir, 'aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”.
  2. Al-Qur‘an surat Al-Baqarah [2] ayat 42 : “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui”. (FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG PERAYAAN NATAL BERSAMA point B)

Kedua, bahwa barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih daripada satu, Tuhan itu mempunyai anak Isa Al-Masih itu anaknya, bahwa orang itu kafir dan musyrik, berdasarkan atas:

  1. Al-Qur‘an surat Al-Maidah [5] ayat 72 : "Sesungguhnya telah kafir orang-orang yang berkata, 'Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putera Maryam'. Padahal Al Masih sendiri berkata, 'Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu'. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah Neraka, tidak adalah bagi orang zhalim itu seorang penolong pun
  2. Al-Qur‘an surat Al-Maidah [5] ayat 73 : “Sesungguhnya kafir orang-orang yang mengatakan, 'Bahwa Allah itu adalah salah satu dari yang tiga (Tuhan itu ada tiga)', padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu pasti orang-orang kafir itu akan disentuh siksaan yang pedih
  3. Al-Qur‘an surat At-Taubah [9] ayat 30 : “Orang-orang Yahudi berkata Uzair itu anak Allah, dan orang-orang Nasrani berkata Al-Masih itu anak Allah. Demikianlah itulah ucapan dengan mulut mereka, mereka meniru ucapan/perkataan orang-orang kafir yang terdahulu, dilaknati Allah-lah mereka bagaimana mereka sampai berpaling”.(FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG PERAYAAN NATAL BERSAMA point D).

Islam mengajarkan Bahwa Allah SWT itu hanya satu, berdasarkan atas Al Qur‘an surat Al Ikhlas :

Katakanlah, 'Dia Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun/sesuatu pun yang setara dengan Dia”.
Ketiga, Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah SWT serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan, berdasarkan atas :

  1. Hadits Nabi SAW dari Nu‘man bin Basyir : “Sesungguhnya apa apa yang halal itu telah jelas dan apa apa yang haram itu pun telah jelas, akan tetapi diantara keduanya itu banyak yang syubhat (seperti halal, seperti haram) kebanyakan orang tidak mengetahui yang syubhat itu. Barang siapa memelihara diri dari yang syubhat itu, maka bersihlah agamanya dan kehormatannya, tetapi barang siapa jatuh pada yang syubhat maka berarti ia telah jatuh kepada yang haram, semacam orang yang menggembalakan binatang makan di daerah larangan itu. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai larangan dan ketahuilah bahwa larangan Allah ialah apa-apa yang diharamkan-Nya (oleh karena itu hanya haram jangan didekati)”.
  2. Kaidah Ushul Fiqih :
Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahatan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan masholihnya tidak dihasilkan).” (point F dan G).
Berdasarkan tiga pertimbangan di atas, MUI memfatwakan :
  • Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
  • Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
  • Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.

(Jakarta, 01 Jumadil Awal 1401 H, 07 Maret 1981, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Ketua K. H. M SYUKRI GHOZALI Sekretaris Drs. H. MAS‘UDI, Sumber: Himpunan Fatwa Mejelis Ulama Indonesia 1417H/ 1997, halaman 187-193).


Camkan!

Fatwa MUI itu memfokuskan haramnya mengikuti upacara natal. Dan agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal. Oleh karena itu, di dalam hari-hari perayaan Natal oleh Umat Kristiani, kita umat Islam cukup dengan memberikan sikap toleran, yakni dengan membiarkan mereka merayakannya dan tidak mengganggunya.

Namun kita tetap tegas untuk tidak mengikuti perayaan tersebut karena semata menjaga kesucian agama Islam dan menjaga kemurnian aqidah kita serta keikhlasan kita dalam memeluk agama Allah SWT. Tidak mencampurkan dengan aqidah dan kepercayaan lain, apalagi sudah diterangkan kekeliruan dan kebatilannya sebagaimana dasar-dasar pertimbangan fatwa MUI di atas. Marilah kita resapi Firman Allah Swt. : ”Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al Kahfi 120).

Sahabat Nabi saw., Ibnu Abbas r.a, dalam tafsirnya mengatakan bahwa Tuhan Yang Esa dalam ayat tersebut adalah Tuhan yang tanpa anak dan tanpa sekutu.

Itulah Allah Swt., Tuhan yang benar-benar Esa dan kita diwajibkan mengesakan-Nya atau mentauhidkan-Nya.

Shodiq Ramadhan http://www.suara-islam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar