Jumat, 30 Desember 2011

Perayaan "Tahun Baru" dalam Perspektif Islam

(MagarsariPost) - Tahun baru sudah di ambang pintu, dalam hitungan waktu kita tinggal menunggu pergantian tahun dari 2011 menjadi 2012. Moment ini biasanya dirayakan secara meriah dan suka cita oleh penduduk bumi dengan mengadakan pesta-pora, hura-hura, dan kesenangan duniawi lainnya. Bukan cuma penduduk yang ada di kota-kota besar, tapi juga di kota kecil seperti kediaman penulis di Kec. Ketanggungan, Brebes. Bahkan fenomena ini sudah merambah luas di pelosok pedesaan (yang latah dengan ala kota).

Namun sebenarnya bagaimana awal munculnya istilah "tahun baru" tersebut, dan bagaimana pula pandangan Islam tentang merayakannya?


Sejarah Penanggalan Tahun Baru

Tahun baru adalah suatu perayaan dimana suatu budaya merayakan berakhirnya masa satu tahun dan menandai dimulainya hitungan tahun selanjutnya. Budaya yang mempunyai kalender tahunan semuanya mempunyai perayaan tahun baru; seperti umat Yahudi, memperingati Rosh Hashanah yang dirayakan pada bulan September atau awal Oktober; umat Hindu merayakan tahun baru Saka (Caka), Bangsa Cina atau Tionghoa merayakan tahun baru Imlek, dan sebagian umat Islam juga merayakan tahun baru Hijriyah yang jatuh pada setiap tanggal 01 Muharam.

Hari tahun baru di dunia umumnya jatuh pada tanggal 01 Januari karena mayoritas negara-negara di dunia mengadopsi kalender Gregorian (kalender Masehi yang ditetapkan Paus Gregorius XIII pada tahun 1582), termasuk bangsa Indonesia.

Perayaan tahun baru pertama kali diselenggarakan pada tanggal 01 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai Kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.

Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 01 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini.

Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustinus, menjadi bulan Agustus.


Perayaan Tahun Baru (Masehi) dalam Perspektif Islam

Ada sekian banyak pendapat yang berbeda tentang hukum merayakan tahun baru masehi. Sebagian mengharamkan dan sebagian lainnya membolehkannya (namun) dengan syarat.

Mereka yang mengharamkan perayaan malam tahun baru masehi, berhujjah dengan beberapa argumen.
  1. Perayaan "Malam Tahun Baru" pada hakikatnya adalah (ritual) peribadatan orang Kafir, yang sebagian besar pemeluknya adalah bangsa-bangsa di Benua Eropa (Barat). Sejak masuknya ajaran agama Nasrani ke Eropa, beragam budaya paganis (keberhalaan) masuk ke dalam ajaran itu. Salah satunya adalah perayaan malam tahun baru. Bahkan menjadi satu kesatuan dengan perayaan Natal (Merry Christmas & Happy New Year...., pen.) yang dipercaya secara salah oleh bangsa Eropa sebagai hari lahir Nabi Isa. Walhasil, perayaan malam tahun baru masehi itu adalah perayaan hari besar agama kafir, maka hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam;
  2. Perayaan "Malam Tahun Baru" menyerupai orang kafir. Meski barangkali ada yang berpendapat bahwa perayaan malam tahun tergantung niatnya, namun paling tidak seorang muslim yang merayakan datangnya malam tahun baru itu sudah menyerupai ibadah orang kafir. Dan sekedar menyerupai itu pun sudah haram hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW : "Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka dia termasuk bagian dari mereka".
  3. Perayaan "Malam Tahun Baru" penuh Maksiat. Sulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, berzina, tertawa dan hura-hura. Bahkan bergadang semalam suntuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Padahal Allah SWT telah menjadikan malam untuk berisitrahat, bukan untuk begadang sepanjang malam, kecuali bila ada anjuran untuk shalat malam. Maka mengharamkan perayaan malam tahun baru buat umat Islam adalah upaya untuk mencegah dan melindungi umat Islam dari pengaruh buruk yang lazim dikerjakan para ahli maksiat.
  4. Perayaan Malam Tahun Baru adalah Bid'ah Dhalalah (kegiatan yang mengada-ada dan menyesatkan). Oleh karenanya perayaan ini tidak pantas diikuti oleh umat Islam.
Adapun pendapat yang membolehkan, berangkat dari argumentasi bahwa perayaan malam tahun baru Masehi tidak selalu terkait dengan ritual agama tertentu, semua tergantung kepada niatnya. Kalau diniatkan untuk ikut-ikutan sebagaimana yang dilakukan orang kafir, maka hukumnya haram. Tetapi kalau bukan itu tujuannya, maka sah-sah saja (mubah) kita melakukannya, atau bahkan dianjurkan, seperti kita memperingatinya dengan bermujahadah atau beristigotsah kepada Allah Swt.

Secara cermat, kita dapat mengambil sisi positif dari moment tahunan ini, diantaranya :

  • Di akhir tahun ini kita memanjatkan Syukur kepada Allah Swt., karena masih diberikan penghidupan pada tahun sebelumnya, dan berharap (do'a) penghidupan di tahun berikutnya akan lebih baik lagi;
  • Di akhir tahun ini kita renungi pencapaian yang didapat selama satu tahun, introspeksi, ber-muhasabah tentang amaliyah kita, manakah yang lebih dominan; sayyi'ah ataukah khasnah(?). Umar bin Khattab berkata : "hisablah dirimu sebelum dihisab (di Akhirat nanti)";
  • Menjalin hubungan kebersamaan dan kekerabatan, karena biasanya malam tahun baru adalah waktu yang pas untuk berkumpul bersama dengan teman, handai taulan, ataupun keluarga. Wallahu a’lam.
Selamat (merenungi) Tahun Baru! (ASF).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar