Kamis, 31 Maret 2011

Jepang Bangun Perpustakaan ”Endang Bunko” di SDN Ender II

CIREBON - Satu sudut lapang di area SDN Ender II Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, dipadati warga sekolah sejak pagi hari. Sebuah panggung dinaungi tenda berdiri sederhana. Radar yang datang ke lokasi pukul 07.30 terperangah melihat sebuah sedan bernopol CD 49 11. Plat CD menunjukan mobil diplomat kedutaan asing. Mungkin tak heran bila mobil seperti itu bersliweran di jalanan ibu kota. Tapi ini? Di sebuah desa di timur Cirebon.

Ternyata mobil itu digunakan Third Secretary Information and Culture kedutaan besar Jepang untuk Indonesia, Mr Takayuki Kawai. Ia mewakili Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Kojiro Shiojiri, menghadiri peresmian perpustakaan “Endang Bunko” di SDN II Ender.

Sejak acara dimulai, baru Radar dan reporter The Daily Jakarta Shimbun, Yasuhiro Okasaka yang meliput. Hadir di tempat yang sama pembuat film Mas Endang Miyuki Inuoe, dan 15 orang kaum ibu serta anak muda Jepang anggota Jakarta-Japan Networking (J2Net). Mereka adalah istri-istri staf kedubes Jepang di Indonesia dan istri pengusaha Jepang yang beraktivitas di Indonesia. “Ini kedatangan saya kedua ke Cirebon. Sebelumnya, tahun lalu saya sempat berkeliling di Kota Cirebon”, kata Takayuki dengan bahasa Indonesia aksen Jepang.

Kepala SDN Ender II, Hj. N. Amanah SP.d mengaku salut atas upaya Miyuki yang membuat film tentang kematian Endang, warga Desa Ender Kecamatan Pangenan di Jepang. Film itu disambut hangat penonton hingga mengucurkan banyak sumbangan bagi mereka yang berhubungan dengan Endang di Indonesia. Di antaranya SDN II Ender dimana Endang alumnus tahun 1999. SD yang terletak di jalan arah masuk Pesantren Gedongan tersebut mendapat sumbangan pembangunan sebuah gedung perpustakaan berikut isi. “Nilai bangunannya sekitar Rp300 juta”, terang Amanah seraya menyebutkan perjuangan Miyuki sangat mulia dan gadis Jepang itu dianggap termasuk pahlawan tanpa tanda jasa.

Miyuki serius dengan pen­di­rian gedung “Endang Bun­ko”. Ia menjelaskan bunko adalah bahasa Jepang untuk perpustakaan kecil. Maka tak tangung-tanggung, 2 arsitek dari Jepang dipercaya untuk membangunnya. Ada Ikko Kobayashi dan asisten profesor dari Tokyo University of the arts, Fumi Kashimura. Mereka menyelesaikan pembangunan selama 6 bulan. “Bangunan ini mengadopsi gaya Terakoya”, ujar Ikko seraya menjelaskan Terakoya adalah sekolah rakyat masa Jepang sebelum moderen di era 1800-an yang berada di lingkungan kuil.

Bangunan “Endang Bunko” seluas 8,4 x 8,4 meter sekelilingnya dibuat dari beton dengan banyak jendela di tiap sisi. Atap menggunakan kayu dan anyaman bambu dimanfaatkan sebagai eternit. Pintu masuk utama merujuk konsep pintu geser khas rumah tradisionil Jepang. Tak hanya bagian luar yang bercita-rasa Jepang. Bagian dalam terlihat lebih kentara. Sebuah sudut cukup luas digunakan untuk membaca secara lesehan. Sementara furnitur rak buku dilapisi anyaman bambu.

Ayah Endang, H. Mamat Was­ji (52) dan ibu Hj. Saeni (48), mengaku terharu dengan perhatian warga Jepang terhadap kepergian puteranya 4 tahun lalu. Atas film Mas Endang yang dibuat Miyuki, Mamat sempat diundang secara khusus oleh pemerintah Jepang pada 2008. Di Tokyo, Mamat menyaksikan pemberian penghargaan gelar pahlawan dari pemerintah Jepang untuk Endang. Pada 2009, sisi lain keluarga Mamat setelah diting­gal anak kedua dari tiga ber­saudara makin mengemuka, sebab hadir di acara talkshow Kick Andy. “Apa yang dikatakan Miyuki ingin memberi bantuan, di antaranya terwujud lewat pem­ba­ngunan perpustakaan ini”, kata lelaki yang berprofesi petani itu.

Dalam sambutannya, perwa­kilan Dubes Jepang Mr. Takayuki mengungkapkan, semoga apa yang telah dilakukan Endang dengan berkorban diri menolong orang lain bisa menjadi inspirasi kebaikan bagi semua. Ia ber­ha­rap perpustakaan yang didirikan mampu meningkatkan kecer­dasan adik-adik kelas Endang. “Kami orang Jepang terbiasa de­ngan budaya membaca. De­ngan membaca akan menambah ilmu dan wawasan”, tuturnya.

Acara peresmian berakhir pukul 12.00. Anggota J2Net unjuk kebolehan menghibur hadirin dengan menyuguhkan teater boneka gaya Jepang. Sebelumnya, Senin malam (28/3), anggota J2Net membaur bersama masyarakat sekitar SDN II Ender, bersama menyaksikan pemutaran film Mas Endang.


TAK TERPENGARUH TSUNAMI

Sebuah komitmen luar bia­sa, ketika negeri dirundung mu­­sibah, warga Jepang di In­do­nesia khususnya yang ber­tugas di Kedubes Jepang te­tap menjalankan pekerjaan se­baik mungkin. “Tidak ada yang pulang ke Jepang. Semua masih bekerja di Indonesia”, kata Third Secretary Information and Culture kedutaan besar Jepang untuk Indonesia, Mr. Takayuki Kawai, menjelaskan staf Kedubes termasuk Dubes Jepang untuk Indonesia Kojiro Shiojiri, masih tetap di Indonesia pasca bencana tsunami menghantam Jepang 11 Maret lalu.

Takayuki sendiri memiliki keluarga besar di Tokyo. Jadi tak terkena dampak bencana gempa dan tsunami yang parah. “Tapi kalau ekses seperti listrik sering mati saat ini di Tokyo, keluarga saya pasti mengalami”, ujar lelaki berkacamata itu. Ditanya soal tsunami, Takayuki mengangguk-angguk tanda penghormatan khas Jepang pada Radar. “Terima kasih, terima kasih”, katanya memaksudkan pertanyaan tentang tsunami dirasakan seba­gai bentuk perhatian. (ron)


sumber berita : http://radarcirebon.com/

gambar photo diperoleh dari : http://www.halojepang.com/sosial-iptek/

Jumat, 25 Maret 2011

diece ergo sum (saya dihina maka saya ada)

Atas nama harga diri, orang bisa kalap berbuat tanpa kendali. Demi mempertahankan harga diri, orang rela mempertaruhkan jiwanya sendiri. Harga diri adalah harga mati, harga diri harus dijunjung tinggi, karenanya "jangan main-main dengan harga diri....!", begitu biasa orang menggertak membela diri.

Harga diri bak bara dalam sekam, bila tersulut amarah dapat menyala dan berkobar. Harga diri yang terusik dapat membangkitkan sentimentil yang tinggi, hingga makhluk lemah tak berbisa pun merasa bernyali dan menjadi berani; seekor cacing tanah akan berontak jingkrak bila ia terinjak, apatah lagi manusia makhluk yang memiliki ego tinggi.

Harga diri dimiliki setiap individu. Ungkapan "saya masih punya harga diri!", cukup menjadi bukti bahwa harga diri itu memang ada (dengan kadar yang berbeda-beda tentunya).

Pada umumnya harga diri akan bangkit manakala hati/perasaan tersakiti, terlecehkan, atau lebih vulgarnya "terhina". Ya, kata "hina" cukup ampuh menjadi pemantik membangkitan harga diri. Siapapun akan terusik ego-nya untuk menunjukkan harga diri manakala kepadanya ditujukan hinaan.

Hinaan bisa datang dari mana saja, kapan saja, entah dalam bentuk fitnah, ejekan, umpatan/makian, sindiran, ataupun tindakan. Hinaan juga bisa muncul dalam bentuk coretan gambar, tulisan atau sekedar kata-kata.

Tapi, manusiawi kalau perasaan ini masih ada di diri. Sangat manusiawi, karena setiap manusia pernah dihina. Nabi saja sebagai manusia pilihan Tuhan, tidak luput dari hinaan, apalagi manusia biasa seperti kita-kita.

Adam alaihissalam yang ketika itu masih menetap di surga dihina oleh iblis laknatullah :

Allah berfirman : "Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) Termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?". Iblis berkata : "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan Dia Engkau ciptakan dari tanah". (QS. Shaad : 75-76)

Dalam Surat Huud (11, 36-38) dikisahkan : ketika Allah memerintahkan kepada Nabi Nuh untuk membuat bahtera dengan pengawasan dan petunjuk Wahyu-Nya, maka Nabi Nuh pun mulai membuat bahtera. dan Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nabi Nuh, mereka (selalu) mengejeknya.

Fir’aun Sang Penguasa Mesir pernah menghina Nabi Musa sebagai seorang yang kena sihir :

dan Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada Musa sembilan buah mukjizat yang nyata, maka tanyakanlah kepada Bani Israil, tatkala Musa datang kepada mereka lalu Fir'aun berkata kepadanya: "Sesungguhnya aku sangka kamu, Hai Musa, seorang yang kena sihir". (QS. Al-Isra’ : 101)

Bahkan junjungan kita Nabi Muhammad saw. dalam mengemban misi dakwahnya beberapa kali mendapat hinaan juga cercaan hingga sampai mencelakai; Nabi pernah diludahi oleh orang Yahudi, Nabi pernah ditimpah batu hingga berdarah-darah oleh Bangsa Thaif, Nabi juga pernah dilempar seonggok kotoran unta oleh Kaum Kafir Quraisy.

Hinaan akan senantiasa ada sepanjang hayat masih dikandung badan, bahkan sampai mati berkalang tanah hinaan belum hilang. Walaupun berusaha untuk dibuang, ia akan datang tanpa diundang, karena hakikatnya hinaan ada ada pada diri kita, hinaan adalah diri kita sendiri. Sadarkah bahwa dengan dihina maka kita ada, atau dalam terminologi bahasa Gedongan "Diece Ergo Sum" (saya dihina maka saya ada).

Kita ada karena hinaan-hinaan; sejak belum adanya kita hinaan telah diterima oleh kedua orang tua kita. Sejak bapak atau ibu kita masih hidup sendiri-sendiri (menjomblo) ia dihina karena belum punya pasangan. Setelah bapak/ibu berjodoh dan diikat dalam tali perkawinan, ia dihina karena belum punya keturunan, belum punya pekerjaan, belum punya kendaraan, dan masih banyak lagi hinaan. Hinaan belum selesai walaupun --katakan-- akhirnya keduanya dapat memenuhi semuanya; dianugerahi momongan, mempunyai pekerjaan dan kendaraan. Orang tua harus bersusah payah mengurus dan merawatnya; Ia harus menyekolahkan anaknya supaya pintar dan berprestasi, ia harus menjaga anaknya agar tumbuh sehat dan bergizi, ia juga harus bisa menjamin masa depan anaknya supaya kelak hidupnya terpandang dan tidak dihina orang.

Sudah selesai sampai di sini?, jawabnya "masih belum ...."

Sekarang kita masih harus meneruskan perjuangan orang tua kita, karena hinaan masih setia menghadang. Hinaan ada dimana-mana; di belakang sana, di samping kiri dan kanan kita, di depan mata atau di sekeliling kita. Namun tak perlu dihindari, karena dia takkan pergi.

Hinaan datang, hadapi dengan lapang. Syukuri (saja) dan nikmati; toh kita bisa mengerti karena dihina; kita bisa bicara karena dihina; kita bisa berjalan karena dihina; kita bisa membaca, kita bisa menulis, kita pintar, kita berhasil, semuanya karena kita dihina; kita ada (hidup) sekarang karena dihina. Jelas hal ini disebutkan dalam Al-Qur'an Surat Al-Mursalaat [77] Ayat 20 yang artinya :

"Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?" (77 : 20).

Dan di Surat As-Sajdah [32] Ayat 8 disebutkan :

Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. (32 : 8)

So, masihkah merasa terhina bila dihina? masihkan perlu menunjukkan harga diri kalau hinaan datang menerjang. Jargon Mr. Tukul "Hinaan adalah cambuk, Pujian adalah racun" yang sering dilontarkan dalam acara "BEM" kiranya dapat menjadi motivasi.

Hinaan, hadapi dengan sewajarnya!, karena tidak ada orang yang luput dirinya, asalkan masih ambang batas di luar konteks Firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Al-Mujaadilah [58] Ayat 27 yang artinya :

Sesungguhnya orang-orang yang menetang Allah dan RasulNya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina. (58 : 27)

Ini yang perlu dihindari. Naudzu billahi min dzalik!. (ASF)


Wallahul Muwafiq,

Alfaqiir Ahmad Syifa Ahsan Asyirbony

Minggu, 20 Maret 2011

DUH, GEDONGAN....!

Bagi saya, Gedongan adalah tanah tumpah darah. Jika ada yang menanyakan tentang asal-muasal, dengan pe-de saya menjawab, “Kula saking Gedongan” (Saya dari Gedongan). Setiap kali berkesempatan pergi ke suatu kota, saat berkenalan dengan orang yang baru berjumpa, saya selalu menyebut, “Saya orang Cirebon, asal Gedongan, Blok Pesantren di Wilayah Timur Cirebon (WTC)”. Dan --biasanya-- kenalan baru tersebut manggut-manggut seperti paham (atau sekedar pura-pura paham, supaya tidak terkesan mengecewakan....).

Saya asli wong Gedongan, lahir di Gedongan tahun 1975. Meski kakek-buyut keturunan Sindang, namun sudah menetap di Gedongan sejak Babat Bumi Gedongan. Mama --sampai saya beranjak besar-- bekerja sebagai Pamong Desa Ender dengan jabatan terakhir Ngabihi, dan Bibi sebagai ibu rumah tangga tulen yang memiliki sambilan sebagai toekang jahit (“Mama-Bibi” adalah sebutan kepada bapak-ibu oleh kebanyakan Wong Magarsari Gedongan).

Waktu masih muda dan belum direpotkan oleh banyak anak, konon Bibi sempat menjadi produsen jaburan yang diasong keliling kampung oleh anak-anaknya juga dititipkan di warung-warung. Bibi bilang; anak-anak Bibi seluruhnya berjumlah 14 atau 15, dan saya yang ke-13. Namun sampai saya dewasa yang tersisa tinggal 7 orang (wong pithu), 4 lelaki (di dalamnya saya), dan 3 perempuan. Dari ketujuh bersaudara, hanya seorang saja yang kini menetap di Gedongan, mendiami Rumah Pusaka. Selebihnya --termasuk saya-- menyebar di luar Gedongan mencari jalan sendiri-sendiri tuk membangun kehidupan (ma’isyah).

Saya terjangkit virus plurasisme firqah (sekte keagamaan) di Pesantren Darunnajah Jakarta, yang karenanya menjadikan saya berpendirian gamang menyikapi perbedaan amaliyah yang kerap diperselisihkan penganut firqah di Indonesia. Tapi ‘virus’ tersebut tidak saya sesali, malah saya syukuri. Karena dengannya saya dapat mengendalikan emosi, tidak mudah tersulut oleh bara pertengkaran silang pendapat antar firqah. Saya yakini sedalam-dalamnya bahwa “ikhtilaf” adalah “rahmah”, sebagai wacana/fikrah yang tidak harus dipertentangkan. Di Darunnajah sendiri, meski direkturnya berpaham NU tidak pernah ada konflik antar santri atau ustadz oleh karena beda firqah, tidak NU tidak juga Muhammadiyah, tidak Persis atau Al-Irsyad, PUI, Syiah atau apalah. Hal ini karena Darunnajah mempunyai semboyan “di atas dan untuk semua golongan”, dan saya suka itu. Hingga saya pun pernah ikut-ikutan/latah menyematkan nama saya sebagai "Muhammad eN-U".

Darunnajah sukses pula mendogma saya, sehingga begitu lulus Kelas Niha'i (pamungkas), saya tidak berorientasi harus nerus ke Kampus berbasis Diniyah semisal IAIN, STAI atau kampus lainnya yang berembel-embel agama. Saya malah menempuh jalur politeknik (informatika). Biarkan saja, lagi pula saya pintar (ilmu) agama, belum tentu saya pulang ke Gedongan menjadi ulama. Namun ini bukan berarti saya mengesampingkan ilmu diniyah, saya tetap mengkajinya dengan bekal sedikit ilmu bahasa yang saya peroleh dari Darunnajah.

Di Gedongan, guru pertama yang paling berjasa menyelamatkan saya dari kebodohan baca tulis Al-Qur'an (BTQ) adalah Almarhum Almaghfurlah KH. Imam Dimyati (semoga Allah swt. meridhai dan merahmatinya). Beliau dengan telaten membimbing dan menuntun saya serta puluhan anak Magarsari lainnya membaca dan menulis Al-Qur'an dengan sahih, pada sore hari menjelang maghrib dan pagi seusai shalat subuh. Bukan cuma itu, di Majelis Ta’lim depan rumahnya, beliau juga mendermakan ilmunya kepada kami dengan menyelenggarakan kajian Kitab Safinatunnajat selepas shalat Isya'. Ngaji di sini libur setiap hari Jum'at, dan di hari Sabtunya biasanya kami para murid dengan suka rela setor ‘segendul lenga lantung’ (sebotol kecap minyak tanah) yang dibawa dari rumah sebagai syahriyah, atau sebagai imbal jasa, kami juga nimba kolah (mengisi bak mandi dari sumur) setiap diminta dan/atau jika dibutuhkan.

Hatam Qur'an di Majelis Ta’lim Kyai Imam --biasa masyarakat dan para santri memanggilnya, saya perdalam Al-Qur'an dengan berguru pada KH. Abu Bakar Sofyan Al-Haafidz. Walau hanya tutug pada hapalan Juz Amma’ saya bangga pernah menjadi santri di Madrasatul Huffadz bareng dengan Kang Emun (Maemun Fauzi, Kandidat Profesor di Institut Fertigungtechnik und Werkzeugmachinen, Universitdt Hannover Jerman).

Oleh Mama ketika itu, saya diarahkan melanjutkan sekolah di Madrasah Tsanawiyah Manbaul Hikmah (masih di Gedongan) yang ketika itu baru dalam tahap rintisan. Tiga tahun menjadi siswa, setelah lulus saya diboyong Kakang ke Jakarta, mengabdi di Parung-Bogor dan menjadi santri Darunnajah.

*****

Pada tahun 1992 --dalam kesempatan libur semesteran, saya mudik ke rumah-- saya memprakarsai teman-teman membentuk “Front Gedongan Bersatu”. Lukman cs. dan Apung/Maghfur cs. --teman ketika di SDN Ender 02-- yang mengilhami. Kedua teman tersebut dapat dibilang sebagai Gegedege bocah enom umbul Wetan dan umbul Kulon yang sedang berseteru memperebutkn Dogdog. Ironis, menurut saya; Gedongan yang hanya sebuah Blok Cantilan, dengan beberapa gelintir penghuninya harus terkotak menjadi dua kubu. Berbarengan dengan konflik tersebut, di luaran sana sedang santer isu “Gedongan diece (dilecehkan) oleh kampung seberang, namun tidak ada respon bocah Gedongan yang mengambil tindakan”. Saya berpikir; bagaimana mungkin akan bertindak, wong di dalamnya saja sedang menghadapi masalah (?).

Berangkat dari permasalahan tersebut, maka pada malam dan waktu yang disepakati, pimpinan kedua kubu berseteru beserta genx-nya dipertemukan, rembug bareng dalam satu ruangan di rumah salah satu warga. Ditempuhlah jalan damai, dan diketemukan kata “sepakat”, yang pada akhirnya digagaslah suatu wadah yang dapat mempersatukan, dan dideklarasikanlah “Front Gedongan Bersatu”.

Namun sayang, umur paguyuban yang lahir atas niat tulus untuk bersatu, murni atas inisiatif Bocah Enom Magarsari ini hanya satu malam. Alih-alih matur mohon petunjuk dari “orang yang lebih ahli dan berpengalaman”, malah paguyuban ini dianggapnya terlalu frontal hanya karena memakai embel-embel nama “Front” di depannya, dan --yang paling tidak mengenakkan-- oleh tokoh yang kala itu masih menjabat sebagai ketua cabang organisasi kepemudaan NU tingkat kabupaten tersebut dianggap tidak memiliki landasan organisasi dan AD/ART yang kokoh. Selanjutnya, setelah matur malam itu saya tidak tahu lagi nasib organisasi bocah enom Magarsari. Karena --libur sudah usai-- saya harus kembali melanjutkan studi.

Jarang yang tahu bahwa Gedongan memiliki “Lima Pusaka” (dalam catatan saya, pen.), dua pusaka terdapat di luar pemukiman warga, yakni Maqbaroh/pemakaman umum dan Sumur Gedongan; serta tiga pusaka lainnya berada di dalam pemukiman, yaitu : Masjid, Langgar/surau, dan Rumah Tinggal yang hingga kini masih dihuni oleh Kang Imroh Yusuf (Ibunda Maemun Fauzi) beserta keluarga dan santri-santrinya.

Dua pusaka masing-masing maqbaroh yang terletak di luar sebelah barat dan Sumur Gedongan terletak di luar sebelah timur pemukiman, hingga kini keberadaannya masih lestari dan masih bisa ditelusuri.

Maqbaroh atau kuburan --walaupun belum bisa menemukan faktanya, pen.-- kemungkinan adalah pusaka yang tertua di Gedongan. Di tengah areal pemakaman warga ini, waktu saya kecil dulu terdapat Wit (pohon) Walikukun --yang menjulang paling tinggi di antara pohon-pohon lainnya-- yang memiliki keramat. Konon katanya di Jaman Penjajahan, ketika Bala Tentara Belanda hendak menyerbu dusun Gedongan, mereka terhalang oleh hamparan luas samudra yang di tengahnya berdiri tegak tiang bendera, dan misipun urung diteruskan. Konon samudra adalah penampakan dari pemukiman warga Gedongan, dan tiang bendera adalah penampakan dari Wit Walikukun; begitu para pini-sepuh dahulu suka bercerita.

Sumur Gedongan menjadi pusaka karena sumur ini titik penggaliannya atas istikharah KH. Muhammad Said, Pendiri Pondok Pesantren Gedongan. Kelebihan (dapat juga disebut karomah) dari Sumur Gedongan adalah air yang ditimba dari dalam sumur ini bening tur jernih, serta berasa adem, tidak asin dan tidak anta bila diminum, sangat berbeda dengan sumur pada umumnya. Sepanjang tahun, sepanjang musim, sumur ini menjadi sumur utama warga Gedongan dan sekitarnya sebagai sumber mineral alami yang tidak pernah kering (kasatan).

Ada keyakinan sebagian Wong Gedongan bahwa setiap tanggal 15 bulan Sya'ban atau populer disebut Nisfu Sya'ban, Sumur Gedongan konon mengeluarkan air zam-zam pada saat sore menjelang maghrib (surup sandakala). baca : Fenomena Banyu Zamzam Nisfu Sya'ban di Gedongan.

Percaya atau tidak, iseng-iseng menarik garis lurus dalam situs Layanan Kiblat di http://www.iwkz.de/, bila titik kedua pusaka ini dihubungkan garis lurus, maka akan menunjuk ke arah Masjidil Haram/Kiblat. (Wallahu A’lam....).

Bila pusaka yang terletak di luar pemukiman warga masih lestari hingga kini, lain halnya dengan tiga pusaka yang berada di dalam pemukiman, keberadaannya sungguh-sungguh memilukan. Dari ketiganya, masih tersisa dua; yang satu Langgar (difungsikan sebagai padepokan santri Al-Qur'an/Madrasatul Huffadz asuhan KH. Abu Bakar Sofyan) dan satunya lagi Rumah Kuna bergaya arsitektur (asli) Cirebon tempat Kacung Mahrus (KH. Mahrus Ali, Kediri) dahulu menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya. Sementara masjid yang justru sebagai pusaka utama kini tinggal kenangan, yang tersisa hanya sebuah cerita. Padahal bangunan antik nan sakral tersebut pernah menjadi sentral perjuangan KH. Muhammad Said dalam "Babat Bumi Gedongan".

Sebagai gambaran tentang Masjid Gedongan, dituliskan apik dalam buku “Sekilas Sejarah Pondok Pesantren Gedongan Cirebon Jawa Barat” sebagai berikut :

.... bentuk dan potongan bangunan masjid sangat antik, separo dari luas badan masjid berbentuk panggung. Lantai teras masjid terbuat dari batu alam segi empat berukuran 70 cm persegi. Warna dasar batu dengan permukaan yang agar kasar menunjukkan pahatan tangan yang kreatif. Bagian muka masjid berupa tembok dengan jeruji kayu jati ukiran di atasnya, badan bangunan bagian depan berupa tembok tebal dengan ketinggian sempurna dan berlantai ubin kuno dengan variasi ubin kembang. Di atas ubin ini terdapat dua baris goresan panjang yang tersorot sinar matahari dari genteng yang sengaja dilubang bulat. Sorot sinar matahari yang menembus ke dalam masuk melalui genteng itulah yang dalam posisi tertentu berfungsi sebagai petunjuk waktu.

Bagian tengah masjid hingga ke mimbar khutbah berbentuk panggung dengan lantai papan kayu jati tebal. Ada empat tiang penyangga di tengah dari kayu jati dengan ukiran indah, di setiap sudut bergantung lampu-lampu indah dan antik.

Itulah bangunan masjid (Gedongan) yang kini tinggal kenangan, masjid itu dipugar dan dibangun kembali pada tahun 1981 tanpa alasan kerapuhan bangunan, kecuali dua tiang yang dianggap keropos.... (H. Taufikurrahman Yasin, 2005 : 34).

Ironisnya, bangunan masjid yang ada sekarang tidak lebih bagus dari bangunan masjid pusaka yang pernah ada, absurd. Tidak jelas gaya arsiterktur mana yang menjadi modelnya. Dan karomah-karomah yang terkandung di dalamnya pun lambat laun kian pudar dan punah.

Masih pekat dalam ingatan di masa saya kanak-kanak dulu, kentong masjid Gedongan bila ditabuh sebagai tanda masuknya waktu, gemanya dapat didengar orang yang berada hingga di radius 5 kilometeran lebih. Kini, jangankan mencapai jarak sejauh itu, 500 meter pun sudah lamat-lamat terdengar.

Tradisi mandi hari Jum'at Kliwon di kolah (bak wudlu) masjid Gedongan pada saat iqamat shalat Jum'at (khotib turun dari mimbar), menjadi rutinitas warga (khususnya kaum ibu dan anak-anak putri) yang ingin ngalap berkah. Bukan cuma dikerumuni warga asli, tapi banyak juga penduduk luar Gedongan yang ikut-ikutan. Kini, entah apakah tradisi ini masih ada?

Dan masih banyak lagi karomah-karomah lainnya serta ketabuan, seperti tidak diperkenankannya menunjuk Memolo (mustaka) yang ada di puncak masjid, karena akan mengakibatkan tangan “cantengan” (wallahu a’lam ....)

Yang saya herankan, dulu.... setiap kali Helatan Haul Gedongan diselenggarakan, walau dari rantau di negri orang saya berupaya keras agar bisa pulang ke kampung halaman. Meski keramaian bagi saya suatu yang biasa, tapi rasanya senang dan bangga saja manakala melihat kampung sendiri ramai dan dikunjungi oleh warga dari luar daerah saat Haul Gedongan. Dan itu saya lakukan setiap tahun, tanpa bosan, mengherankan. Seakan ada sambung rasa, semacam ikatan batin, yang bikin saya (rasanya) wajib hadir saat helatan tersebut diselenggarakan. Itulah daya magi yang magnetis, pertanda aura keramat (saat itu) masih memiliki kekuatan yang mencipta daya tarik. Tapi kini, saya kehilangan rasa itu....

Pada akhirnya saya harus mengeluh; Salahkah kalau saya menyimpan kekecewaan terhadap kebijakan yang mengakibatkan masjid sebagai Pusaka Gedongan harus terbabat habis digantikan bangunan modern yang tidak jelas gaya arsiteknya. Mengapa tidak melakukan perluasan saja ketika itu dengan tetap mempertahankan bangunan aslinya?.

Tapi korban telah jatuh; nasi sudah menjadi bubur, paribasane. Arsitektur kuno pusaka utama Gedongan yang antik dan keramat, telah punah ditelan zaman....

Saat ini, ketika ditanya apa sih (bukti) peninggalan Kyai Said Gedongan? Mana sisa-sisa sejarah bahwa Gedongan pernah menjadi pusat peradaban yang menjadikannya termasuk dalam jajaran pesantren tertua di pulau Jawa? Siapa yang bisa menjawab ini semua?

Duh, Gedongan....! (ASF)

Ketanggungan, Medio Oktober 2010