Jumat, 29 Mei 2009
BOOKLAMASI
B O O K L A M A S I
Kami facebookers doeniamaia
Dengan ini menjatakan kebebasan berekspresi dalam bersillaturrahmi
Hal-hal jang mengenai kontroversi, interupsi, intervensi, atau subversi
tidak coekoep diselesaikan hanja dengan fatwa jang dalam tempo sesingkat-singkatnja.
Deniamaia, hari 25 bulan 05 tahun 2009
atas nama penghuni doeniamaia
xiv@mania (ASF)
Jumat, 15 Mei 2009
Catatan 'Sungkrah' Haul Gedongan
Refleksi Penyelenggaraan Haul KH. Muhammad Said, Sesepuh dan Warga Pondok Pesantren Gedongan
Masyarakat blok Pesantren Gedongan Desa Ender Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat sepekan lalu telah bersukacita. Semuanya larut dalam kegembiraan dan keriuhan oleh adanya helatan "Haul".
Haul bagi masyarakat Gedongan atau dikenal dengan istilah "Haul Gedongan" merupakan suatu helatan tahunan untuk memperingati hari wafatnya KH. Muhammad Said, Sesepuh dan Warga Pondok Pesantren Gedongan, yang pada tahun 2009 ini telah memasuki tahun ke-78.
Pelaksanaan Haul Gedongan yang waktunya jatuh antara bulan Jumadil Awal s.d Jumadil Akhir penanggalan Hijriyah, dari tahun ke tahun tampak mengalami peningkatan, ini bisa dilihat dari banyaknya zairin yang hadir baik pada saat menjelang acara sampai pada puncak acara hari "H" berlangsung. Ratusan bahkan mungkin ribuan massa yang terdiri dari para santri, para alumni, para wali santri serta para tamu dari penjuru daerah rela berdesak-desakan, berbaur menjadi satu memasuki blok sempit yang dihuni oleh para keluarga kyai, santri dan kaum "magarsari" ini. Belum lagi dengan banyaknya pedagang musiman yang menjaring pendatang di sisi kiri dan kanan jalan menuju komplek pesantren, menambah sempit dan berhimpitnya kerumunan orang.
Pengertian Haul
Kata 'Haul' diambil dari kata Bahasa Arab Haala-Yahuulu-Haulan yang mempunyai makna 'setahun', atau 'masa yang sudah mencapai satu tahun'. Pada perkembangannya, kata 'haul' kemudian seringkali dimaknai sebagai kegiatan ritual keagamaan tahunan untuk memperingati hari meninggalnya orang yang dicintai atau orang yang diagungkan. Seperti halnya Haul Gedongan yang diselenggarakan untuk memperingati hari wafatnya Almarhum Almaghfurlah KH. Muhammad Said, tokoh sentris yang merupakan founding father Pondok Pesantren Gedongan.
Adapun inti daripada helatan Haul Gedongan adalah berziarah di makbarah/kuburan Gedongan (petilasan KH. Muhammad Said, Sesepuh dan Warga Pondok Pesantren Gedongan) untuk melakukan tahlil massal. Sebelumnya, acara didahului dengan penyampaian atau pembacaan manaqib oleh tokoh atau ulama yang telah ditunjuk, kemudian pada malam harinya diadakan pengajian umum yang dikonsentrasikan di halaman utama Masjid Baittus-Su'ada Pesantren Gedongan. Para pembicara pada pelaksanaan pengajian umum ini biasanya orang-orang besar dalam percaturan pemerintahan, politik, dan tokoh kharismatik dari kalangan ulama nasional. Tidak kurang sejumlah pejabat pemerintah sekelas Menteri, dan Tokoh Nasional baik sipil maupun militer dari Era Soeharto sampai Era Reformasi, pernah sowan di pondok ini. Hal inilah yang menjadi daya tarik pengunjung dari penjuru daerah hingga mereka setia datang berbondong-bondong.
Sudah menjadi hal yang lumrah, dimana ada keramaian atau kerumunan massa, di situ akan ada pedagang yang mengadu nasib dengan berniaga. Demikian juga halnya yang terjadi pada setiap penyelenggaraan Haul Gedongan, selalu dirubung oleh ratusan pedagang, mulai dari pedagang asongan, pedagang gelaran, pedagang kaki lima, hingga pedagang yang menempati kios dadakan, semua tumplek menawarkan dagangannya berupa barang ataupun makanan, hingga kampung kecil ini sontak menjadi seperti sebuah kota (town) yang sibuk oleh aktivitas lalu lalang orang yang melancong dan berbisnis. Keriuhan sesaat ini berlangsung pada siang dan juga malam hari, menjelang "H-7" sampai helatan acara haul usai (prak). Hingga ada suatu pameo; 'Haul dikatakan "sukses" apabila dapat menggiring pedagang yang banyak serta menarik pengunjung yang membludak, di samping tentunya yang utama yaitu dapat menghadirkan tamu undangan "orang-orang besar" tadi.
Tidak dipungkiri, adanya keinginan dari sebagian kecil penyelenggara acara agar kesuksesan haul dapat "sama" --paling tidak menyerupai-- dengan kesuksesan helatan acara yang ada dan sudah mentradisi di wilayah Cirebon, seperti : Helatan 'bancakan' bagi masyarakat sekitar pabrik gula (penggilingan tebu), 'nadran' bagi masyarakat nelayan di pesisir pantai utara, atau 'muludan' yang diadakan di lingkungan Keraton Kasepuhan dan Kanoman Cirebon, yang menyedot banyak massa hingga tampak meriah.
Penyelenggara akan merasa senang --pastinya, dan bangga apabila pelaksanaan acara haul tampak ramai dan meriah. Sebaliknya penyelenggara akan kecewa, bahkan (mungkin) sedih apabila haulnya sepi dari pengunjung (zairin). Sehingga ada upaya untuk dapat mendongkrak jumlah zairin (juga pedagang), salah satunya adalah dengan menghadirkan rombongan "Pasar Malam" (dermolen) yang menyuguhkan arena hiburan dan permainan rakyat, seperti : Kemidi (komedi putar), orsel, ombak banyu, mandi bola, dan macam-macam permainan lainnya, seperti yang pernah dilakukan penyelenggara pada Haul Gedongan tahun 2008 yang lalu. Dan pada haul tahun 2009 kali ini, suguhan yang ditampilkan sedikit nyeleneh, yakni menyajikan Pentas Wayang Kulit semalam suntuk bersama Dalang Ki Enthus Susmono dari Tegal, yang konon dirawuhi oleh sejumlah santri dan kiyai. Bila sudah demikian, apakah ini tidak menyalahi daripada maksud dan tujuan haul itu sendiri?.
Tujuan Haul
Dalam ulasannya tentang haul, http://salafiyah.org yang merupakan situs resmi Pondok Salafiyah Pasuruan menyebutkan beberapa tujuan yang dapat dipetik dari helatan haul berdasarkan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Di sini penulis intisarikan sebagai berikut :
Dari penjelasan tersebut di atas, tidak tersirat sedikit pun tujuan haul yang mengarah pada kemeriahan. Haul adalah do'a dan sedekah, haul merupakan media untuk mengambil teladan dan meneladani, serta memohon keberkahan.
Walhasil, haul diselenggarakan bukan untuk rame-ramean (yang menjadi barometer), haul tidak perlu ditampilkan secara meriah --yang terkesan dipaksakan-- hingga harus menampilkan ini dan menyajikan itu yang tidak ada korelasinya sama sekali dengan acara dimaksud. Karena secara haqiqi, haul adalah "PERINGATAN" --acara sakral yang memiliki kecenderungan kepada tadzkiroh, midanget, atau pengeling-- bukan "PERAYAAN" yang lebih condong kepada keramaian, hura-hura dan pesta pora. Bila yang lebih ditonjolkan adalah perayaan --disadari atau tidak-- maka ruh atau jatidiri daripada haul akan hilang, absurd. Karena moment yang mestinya menjadi perenungan terkubur oleh kemeriahan dan hingar bingar. Sehingga jangan heran ketika dalam acara Pengajian Umum Haul diselingi intrik untuk penggalangan massa yang bersifat politis. Kehadiran sejumlah pengunjung yang datang, dijadikan kesempatan sebagai arena dukung mendukung atau bahkan hujat menghujat bagi golongan tertentu.
Wallahu a'lam bish-shawaab ......
*****
Special present for my Little Princess "Raudha Azhara", born on 29th, April 2009
Rabbij 'alnii minash-shaalihin, Amien ......
Masyarakat blok Pesantren Gedongan Desa Ender Kecamatan Pangenan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat sepekan lalu telah bersukacita. Semuanya larut dalam kegembiraan dan keriuhan oleh adanya helatan "Haul".
Haul bagi masyarakat Gedongan atau dikenal dengan istilah "Haul Gedongan" merupakan suatu helatan tahunan untuk memperingati hari wafatnya KH. Muhammad Said, Sesepuh dan Warga Pondok Pesantren Gedongan, yang pada tahun 2009 ini telah memasuki tahun ke-78.
Pelaksanaan Haul Gedongan yang waktunya jatuh antara bulan Jumadil Awal s.d Jumadil Akhir penanggalan Hijriyah, dari tahun ke tahun tampak mengalami peningkatan, ini bisa dilihat dari banyaknya zairin yang hadir baik pada saat menjelang acara sampai pada puncak acara hari "H" berlangsung. Ratusan bahkan mungkin ribuan massa yang terdiri dari para santri, para alumni, para wali santri serta para tamu dari penjuru daerah rela berdesak-desakan, berbaur menjadi satu memasuki blok sempit yang dihuni oleh para keluarga kyai, santri dan kaum "magarsari" ini. Belum lagi dengan banyaknya pedagang musiman yang menjaring pendatang di sisi kiri dan kanan jalan menuju komplek pesantren, menambah sempit dan berhimpitnya kerumunan orang.
Pengertian Haul
Kata 'Haul' diambil dari kata Bahasa Arab Haala-Yahuulu-Haulan yang mempunyai makna 'setahun', atau 'masa yang sudah mencapai satu tahun'. Pada perkembangannya, kata 'haul' kemudian seringkali dimaknai sebagai kegiatan ritual keagamaan tahunan untuk memperingati hari meninggalnya orang yang dicintai atau orang yang diagungkan. Seperti halnya Haul Gedongan yang diselenggarakan untuk memperingati hari wafatnya Almarhum Almaghfurlah KH. Muhammad Said, tokoh sentris yang merupakan founding father Pondok Pesantren Gedongan.
Adapun inti daripada helatan Haul Gedongan adalah berziarah di makbarah/kuburan Gedongan (petilasan KH. Muhammad Said, Sesepuh dan Warga Pondok Pesantren Gedongan) untuk melakukan tahlil massal. Sebelumnya, acara didahului dengan penyampaian atau pembacaan manaqib oleh tokoh atau ulama yang telah ditunjuk, kemudian pada malam harinya diadakan pengajian umum yang dikonsentrasikan di halaman utama Masjid Baittus-Su'ada Pesantren Gedongan. Para pembicara pada pelaksanaan pengajian umum ini biasanya orang-orang besar dalam percaturan pemerintahan, politik, dan tokoh kharismatik dari kalangan ulama nasional. Tidak kurang sejumlah pejabat pemerintah sekelas Menteri, dan Tokoh Nasional baik sipil maupun militer dari Era Soeharto sampai Era Reformasi, pernah sowan di pondok ini. Hal inilah yang menjadi daya tarik pengunjung dari penjuru daerah hingga mereka setia datang berbondong-bondong.
Sudah menjadi hal yang lumrah, dimana ada keramaian atau kerumunan massa, di situ akan ada pedagang yang mengadu nasib dengan berniaga. Demikian juga halnya yang terjadi pada setiap penyelenggaraan Haul Gedongan, selalu dirubung oleh ratusan pedagang, mulai dari pedagang asongan, pedagang gelaran, pedagang kaki lima, hingga pedagang yang menempati kios dadakan, semua tumplek menawarkan dagangannya berupa barang ataupun makanan, hingga kampung kecil ini sontak menjadi seperti sebuah kota (town) yang sibuk oleh aktivitas lalu lalang orang yang melancong dan berbisnis. Keriuhan sesaat ini berlangsung pada siang dan juga malam hari, menjelang "H-7" sampai helatan acara haul usai (prak). Hingga ada suatu pameo; 'Haul dikatakan "sukses" apabila dapat menggiring pedagang yang banyak serta menarik pengunjung yang membludak, di samping tentunya yang utama yaitu dapat menghadirkan tamu undangan "orang-orang besar" tadi.
Tidak dipungkiri, adanya keinginan dari sebagian kecil penyelenggara acara agar kesuksesan haul dapat "sama" --paling tidak menyerupai-- dengan kesuksesan helatan acara yang ada dan sudah mentradisi di wilayah Cirebon, seperti : Helatan 'bancakan' bagi masyarakat sekitar pabrik gula (penggilingan tebu), 'nadran' bagi masyarakat nelayan di pesisir pantai utara, atau 'muludan' yang diadakan di lingkungan Keraton Kasepuhan dan Kanoman Cirebon, yang menyedot banyak massa hingga tampak meriah.
Penyelenggara akan merasa senang --pastinya, dan bangga apabila pelaksanaan acara haul tampak ramai dan meriah. Sebaliknya penyelenggara akan kecewa, bahkan (mungkin) sedih apabila haulnya sepi dari pengunjung (zairin). Sehingga ada upaya untuk dapat mendongkrak jumlah zairin (juga pedagang), salah satunya adalah dengan menghadirkan rombongan "Pasar Malam" (dermolen) yang menyuguhkan arena hiburan dan permainan rakyat, seperti : Kemidi (komedi putar), orsel, ombak banyu, mandi bola, dan macam-macam permainan lainnya, seperti yang pernah dilakukan penyelenggara pada Haul Gedongan tahun 2008 yang lalu. Dan pada haul tahun 2009 kali ini, suguhan yang ditampilkan sedikit nyeleneh, yakni menyajikan Pentas Wayang Kulit semalam suntuk bersama Dalang Ki Enthus Susmono dari Tegal, yang konon dirawuhi oleh sejumlah santri dan kiyai. Bila sudah demikian, apakah ini tidak menyalahi daripada maksud dan tujuan haul itu sendiri?.
Tujuan Haul
Dalam ulasannya tentang haul, http://salafiyah.org yang merupakan situs resmi Pondok Salafiyah Pasuruan menyebutkan beberapa tujuan yang dapat dipetik dari helatan haul berdasarkan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Di sini penulis intisarikan sebagai berikut :
- Haul diadakan untuk mendo'akan dengan memintakan ampun kepada Allah swt. agar orang yang meninggal (yang dihauli) dijauhkan dari segala siksa serta dimasukkan ke dalam surga;
- Untuk bersedekah dari ahli keluarganya atau orang yang membuat acara, orang yang membantu atau orang yang ikut berpartisipasi dengan diniatkan amal dan pahalanya untuk dirinya sendiri dan juga dimohonkan kepada Allah agar disampaikan kepada orang yang dihauli;
- Untuk mengambil teladan dengan kematian seseorang bahwasanya kita semua pada akhirnya juga akan mati, sehingga hal itu akan menimbulkan efek positif pada diri kita untuk selalu meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt.;
- Untuk meneladani kebaikan-kebaikan dari orang yang dihauli, dengan harapan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari; dan
- Untuk memohon keberkahan hidup kepada Allah melalui wasilah (media) yang telah diberikan kepada para ulama, sholihin atau waliyullah yang dihauli selama masa hidupnya.
Dari penjelasan tersebut di atas, tidak tersirat sedikit pun tujuan haul yang mengarah pada kemeriahan. Haul adalah do'a dan sedekah, haul merupakan media untuk mengambil teladan dan meneladani, serta memohon keberkahan.
Walhasil, haul diselenggarakan bukan untuk rame-ramean (yang menjadi barometer), haul tidak perlu ditampilkan secara meriah --yang terkesan dipaksakan-- hingga harus menampilkan ini dan menyajikan itu yang tidak ada korelasinya sama sekali dengan acara dimaksud. Karena secara haqiqi, haul adalah "PERINGATAN" --acara sakral yang memiliki kecenderungan kepada tadzkiroh, midanget, atau pengeling-- bukan "PERAYAAN" yang lebih condong kepada keramaian, hura-hura dan pesta pora. Bila yang lebih ditonjolkan adalah perayaan --disadari atau tidak-- maka ruh atau jatidiri daripada haul akan hilang, absurd. Karena moment yang mestinya menjadi perenungan terkubur oleh kemeriahan dan hingar bingar. Sehingga jangan heran ketika dalam acara Pengajian Umum Haul diselingi intrik untuk penggalangan massa yang bersifat politis. Kehadiran sejumlah pengunjung yang datang, dijadikan kesempatan sebagai arena dukung mendukung atau bahkan hujat menghujat bagi golongan tertentu.
Wallahu a'lam bish-shawaab ......
*****
Special present for my Little Princess "Raudha Azhara", born on 29th, April 2009
Rabbij 'alnii minash-shaalihin, Amien ......
Minggu, 10 Mei 2009
IRPG (Ikatan Remaja & Pemuda Gedongan)
Mati beli, arep Urip Maning beli Wanih…
Oleh: Jawawi Yahdi *)
Sekitar tahun 1995, timbul semangat yang begitu kuat di antara remaja dan pemuda Magarsari blok Gedongan untuk menunjukkan eksistensi dan jati dirinya, terutama dalam berorganisasi. Kesadaran akan perlunya sebuah wadah untuk mengelola dan mengembangkan potensi-potensi tersembunyi --ataupun disembunyikan, karna blenak karo sing duwe “sari“-- memunculkan ide untuk membentuk suatu organisasi kepemudaan yang ‘independen’ dalam artian murni berakar dari pemikiran bocah Magarsari dhewek tanpa ada intervensi dari luar itu.
Maka dalam sebuah ‘rubungan bocah enom’, digagaslah sebuah organisasi yang dapat mengikat para remaja serta pemuda blok Gedongan khususnya kaum Magarsari dengan nama Ikatan Remaja & Pemuda Gedongan yang disingkat “IRPG”. Spontan, ide ini mendapat dukungan mayoritas bocah enom yang hadir.
Tanpa ada deklarasi ataupun sidang komisi --karena AD/ART maupun landasan organisasinya pun tidak ada--, IRPG lahir di Gedongan menjadi satu-satunya organisasi yang mewadahi dan mengaspirasikan fikiran, gagasan, kreasi dan keinginan bocah enom Magarsari. Perlu dicatat di sini bahwa, IRPG ada (diadakan) bukan untuk menyaingi ataupun menandingi potensi SDM yang dimiliki oleh para Kang lan Otong atawa Kacung (putra-putri keturunan Kiyai), bukan itu (tingeling). Sederhana saja, IRPG diwujudkan hanya sekedar untuk melatih kemandirian bocah enom Magarsari dalam mengorganisasikan dirinya sendiri, mengadakan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan di lingkungannya, agar setidaknya apabila ada kegiatan-kegiatan besar di lingkungan Pondok Pesantren Gedongan seperti : haul, imtihan, khataman, muludan atau rajaban, peringatan hari-hari besar Islam dan lainnya, para bocah enom ini mampu berperan dan diperankan secara maksimal. Dengan tekad yang demikian, tak heran kalau organisasi baru ini akhirnya mendapat restu dan dukungan dari kaum tua serta tokoh masyarakat Magarsari.
Terbukti kemudian, dengan terbentuknya organisasi ‘IRPG’ ini, kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang semula bersifat serabutan (beli karuan gegedege) mulai ditata dan dimenej (dikelola) baik kepengurusannya maupun pendanaannya, seperti halnya pada pengelolaan obrog-obrog (tabuhan penggugah sahur kala bulan puasa yang terdiri dari dogdog, genjring dan kecrek) serta damar kurung (lampion lilin dari kertas wajik warna-wani dengan kerangka bilah bambu), dari hasil upah jasa kegiatan ini terhimpunlah dana kas yang cukup lumayan, hingga dapat untuk merehabilitasi peralatan genjring-dogdog dan lain-lain, bahkan mampu membeli seperangkat pengeras suara berikut genset. Walhasil, bocah enom (remaja dan pemuda) Gedongan ana dedege.
Puncak ‘unjuk jati diri’ organisasi IRPG adalah dengan diadakannya kegiatan Halal Bihalal dan Pengajian Umum di lingkungan Magarsari, yang tempatnya dikonsentrasikan di halaman rumah orang tua penulis. Namun justru inilah yang menjadi anti-klimaks dari keberadaan IRPG. Karena setelah kegiatan tersebut tidak ada lagi bocah enom yang berani-sedia menjadi ketua, pengurus ataupun penanggung jawab kegiatan.
Halal Bihalal dan Pengajian Umum, in memoriam
Galibnya di masyarakat baik di perkotaan ataupun di pedesaan, setelah merayakan hari Raya Iedul Fitri, diselenggarakanlah acara yang populer dikenal dengan sebutan “Halal Bihalal” --baik diadakan oleh instansi maupun kelompok organisasi kemasyarakatan--. Biasanya, puncak acara ini diisi dengan ceramah agama atau mauidzoh hasanah. Begitu juga yang dilakukan bocah enom IRPG Gedongan. Dalam rangka menghidupkan kembali tradisi dan menysiarkan Hari Raya Idul Fitri, organisasi IRPG menggagas diadakan suatu kegiatan yang positif dan membangun yaitu “Halal Bihalal dan Pengajian Umum”.
Dilandasi semangat ingin mandiri, maka dibentuklah Panitia Halal Bihalal dan Pengajian Umum Ikatan Remaja & Pemuda Gedongan --dengan tidak melibatkan unsur Kang lan Otong atawa Kacung (putra-putri keturunan Kyai). Dan berdasarkan urun rembug panitia, maka ditetapkanlah hari “H” pelaksanaan kegiatan yaitu pada tanggal 20 Januari 2000, yang mengambil waktu ba’da Isya.
Semua persiapan terkendali dengan lancar, seluruh panitia pun optimis bahwa acara akan berjalan sesuai dengan rencana, sampai akhirnya pada pukul 17.30 WIB --menjelang surup srengenge-- peristiwa di luar skenario panitia pun terjadi, dan inilah yang penulis anggap sebagai anti-klimaks dari keberadaan organisasi IRPG.
Sore ba’da Ashar panitia yang bertugas ngaturi para kyai berangkat, semua kyai dan dzurriyahnya diundang. Berbagai komentar maupun tanggapan disampaikan kepada Panitia, kami menerimanya sebagai masukan. Namun ada komentar yang kontra-produktif dilontarkan oleh KHMD --kyai harismatik yang sangat penulis hormati-- sampai-sampai panitia –sing lagi belingsatan ngurusi persiapan- dikon teka sowan menghadap beliau KHMD. Sdr. Ketua Panitia, sdr. Ketua IRPG dan penulis sendiri langsung ganti pakaian –sarungan lan pecian, sebab lamon ngadep kyai nganggoe celana beli sopan, dusun- siap-siap menghadap.
Tiba di rumah sang kyai, seperti biasa kami uluk salam, cium tangan dan duduk bersimpuh. Beliau KHMD --masih dalam posisi nggeleng, sirahe diganjel tangan-- ‘menginterograsi’ kami bertiga, kami dicecar pertanyaan; “Apa maksud dan tujuan kegiatan, siapa yang bertanggungjawab, dan sudah minta restu kepada kyai siapa (???!!). Kami menjawab apa adanya, bahwa itu semua adalah ide murni bocah enom. Sampai akhirnya tiba-tiba beliau KHMD bangkit, berdiri sambil nyuding ning rai penulis seraya ngendhika dengan nada tinggi :
“Bocah bodoh ngaku pinter, ya sira..!!! bocah beli ngaji ngaku ngaji, ya sira...!!! Gedongan beli pantes ngana ena halal-bihalalan .... bla..... bla ..... bla....” (kurang etis untuk diceritakan semua).
Beliau KHMD mengancam akan membubarkan acara (!!&#$?”#!). Kami semua tegang, diam seribu bahasa dan bingung -cuma rada gemuyu setitik ketika Sdr. Ketua Panitia nyethuk dengan harap-harap cemas : “Kyai niku rokoke kewalik nyulede....”
Menjelang adzan maghrib, dengan penuh kehati-hatian dan rendah hati kami memohon maaf atas ke’bloonan’ dan kelancangan kami, dan memohon supaya acara tetap bisa berjalan sesuai dengan rencana. Akhirnya... permohonan kami disetujui, namun dengan catatan : “Aja maning-maning...!!”
Malam harinya, acara berjalan cukup meriah, para kyai berkenan rawuh baik dari “blok” kulon maupun wetan. Penceramah tunggal K.H. Najmuddin Ali Khaer dari Plumbon, menyampaikan materi dakwah dengan lugas. Sebagai pembuka acara kami menampilkan Grup Qasidah Remaja Magarsari yang disambut dengan penuh riuh-ria.
Kami bersuka melihat antusiasme dan responsibility masyarakat yang begitu tinggi, ini terlihat dari berbondong-bondongnya mereka hadir di acara kami.
Kami bungah menyaksikan di depan mata partisipasi warga Magarsari yang bahu-membahu menunjukkan kepedulian secara langsung seperti kesediaan terlibat dalam susunan kepanitiaan, maupun tidak langsung dengan dukungan akomodasi maupun konsumsi.
Kami bangga, karena --kalau diberi tanggungjawab atau mandate-- sebetulnya kami pun bisa!.
Namun sayangnya, langkah kami harus berhenti sampai di sini, sebagai permulaan namun juga menjadi penghabisan, karena setelah hampir satu dasawarsa peristiwa itu berlalu, hingga kini --benar-benar-- tidak pernah ada lagi bocah enom Magarsari yang berani-sedia menyelenggarakan suatu kegiatan, “Apa jare kyai!”.
Dari pengalaman kejadian yang penulis utarakan, banyak hal yang dapat diambil hikmah untuk direnungkan dan diambil pelajaran demi kemajuan bersama. Penulis sampai saat ini tetap berkeyakinan bahwa peluang --untuk bisa-- itu masih tetap ada dan terbuka, apalagi kondisi saat ini yang semakin kondusif baik di masyarakat Magarsari sendiri maupun lingkungan “jero”. Namun permasalahaanya adalah : “Kapan harus memulainya lagi... (?!)”
*****
*) Penulis lahir dan menjalani masa remajanya di Gedongan, sekarang tinggal dan menetap di “Kota Hujan” Bogor bersama istri dan kedua anaknya. Nyuwun ziyadah pendongane, saat ini penulis dalam penantian Wisuda S1 di STAI Al-Hidayah Bogor, Fakultas Syariah Jurusan Hukum Islam.
Catatan redaksi :
Tanpa mengurangi rasa bangga, tulisan ini sudah mengalami beberapa perubahan dari konsep aslinya. Dan demi menjaga kode etik jurnalistik, penyebutan nama personal sengaja dihilangkan atau diinisialkan. (red.)
Oleh: Jawawi Yahdi *)
Sekitar tahun 1995, timbul semangat yang begitu kuat di antara remaja dan pemuda Magarsari blok Gedongan untuk menunjukkan eksistensi dan jati dirinya, terutama dalam berorganisasi. Kesadaran akan perlunya sebuah wadah untuk mengelola dan mengembangkan potensi-potensi tersembunyi --ataupun disembunyikan, karna blenak karo sing duwe “sari“-- memunculkan ide untuk membentuk suatu organisasi kepemudaan yang ‘independen’ dalam artian murni berakar dari pemikiran bocah Magarsari dhewek tanpa ada intervensi dari luar itu.
Maka dalam sebuah ‘rubungan bocah enom’, digagaslah sebuah organisasi yang dapat mengikat para remaja serta pemuda blok Gedongan khususnya kaum Magarsari dengan nama Ikatan Remaja & Pemuda Gedongan yang disingkat “IRPG”. Spontan, ide ini mendapat dukungan mayoritas bocah enom yang hadir.
Tanpa ada deklarasi ataupun sidang komisi --karena AD/ART maupun landasan organisasinya pun tidak ada--, IRPG lahir di Gedongan menjadi satu-satunya organisasi yang mewadahi dan mengaspirasikan fikiran, gagasan, kreasi dan keinginan bocah enom Magarsari. Perlu dicatat di sini bahwa, IRPG ada (diadakan) bukan untuk menyaingi ataupun menandingi potensi SDM yang dimiliki oleh para Kang lan Otong atawa Kacung (putra-putri keturunan Kiyai), bukan itu (tingeling). Sederhana saja, IRPG diwujudkan hanya sekedar untuk melatih kemandirian bocah enom Magarsari dalam mengorganisasikan dirinya sendiri, mengadakan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan di lingkungannya, agar setidaknya apabila ada kegiatan-kegiatan besar di lingkungan Pondok Pesantren Gedongan seperti : haul, imtihan, khataman, muludan atau rajaban, peringatan hari-hari besar Islam dan lainnya, para bocah enom ini mampu berperan dan diperankan secara maksimal. Dengan tekad yang demikian, tak heran kalau organisasi baru ini akhirnya mendapat restu dan dukungan dari kaum tua serta tokoh masyarakat Magarsari.
Terbukti kemudian, dengan terbentuknya organisasi ‘IRPG’ ini, kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang semula bersifat serabutan (beli karuan gegedege) mulai ditata dan dimenej (dikelola) baik kepengurusannya maupun pendanaannya, seperti halnya pada pengelolaan obrog-obrog (tabuhan penggugah sahur kala bulan puasa yang terdiri dari dogdog, genjring dan kecrek) serta damar kurung (lampion lilin dari kertas wajik warna-wani dengan kerangka bilah bambu), dari hasil upah jasa kegiatan ini terhimpunlah dana kas yang cukup lumayan, hingga dapat untuk merehabilitasi peralatan genjring-dogdog dan lain-lain, bahkan mampu membeli seperangkat pengeras suara berikut genset. Walhasil, bocah enom (remaja dan pemuda) Gedongan ana dedege.
Puncak ‘unjuk jati diri’ organisasi IRPG adalah dengan diadakannya kegiatan Halal Bihalal dan Pengajian Umum di lingkungan Magarsari, yang tempatnya dikonsentrasikan di halaman rumah orang tua penulis. Namun justru inilah yang menjadi anti-klimaks dari keberadaan IRPG. Karena setelah kegiatan tersebut tidak ada lagi bocah enom yang berani-sedia menjadi ketua, pengurus ataupun penanggung jawab kegiatan.
Halal Bihalal dan Pengajian Umum, in memoriam
Galibnya di masyarakat baik di perkotaan ataupun di pedesaan, setelah merayakan hari Raya Iedul Fitri, diselenggarakanlah acara yang populer dikenal dengan sebutan “Halal Bihalal” --baik diadakan oleh instansi maupun kelompok organisasi kemasyarakatan--. Biasanya, puncak acara ini diisi dengan ceramah agama atau mauidzoh hasanah. Begitu juga yang dilakukan bocah enom IRPG Gedongan. Dalam rangka menghidupkan kembali tradisi dan menysiarkan Hari Raya Idul Fitri, organisasi IRPG menggagas diadakan suatu kegiatan yang positif dan membangun yaitu “Halal Bihalal dan Pengajian Umum”.
Dilandasi semangat ingin mandiri, maka dibentuklah Panitia Halal Bihalal dan Pengajian Umum Ikatan Remaja & Pemuda Gedongan --dengan tidak melibatkan unsur Kang lan Otong atawa Kacung (putra-putri keturunan Kyai). Dan berdasarkan urun rembug panitia, maka ditetapkanlah hari “H” pelaksanaan kegiatan yaitu pada tanggal 20 Januari 2000, yang mengambil waktu ba’da Isya.
Semua persiapan terkendali dengan lancar, seluruh panitia pun optimis bahwa acara akan berjalan sesuai dengan rencana, sampai akhirnya pada pukul 17.30 WIB --menjelang surup srengenge-- peristiwa di luar skenario panitia pun terjadi, dan inilah yang penulis anggap sebagai anti-klimaks dari keberadaan organisasi IRPG.
Sore ba’da Ashar panitia yang bertugas ngaturi para kyai berangkat, semua kyai dan dzurriyahnya diundang. Berbagai komentar maupun tanggapan disampaikan kepada Panitia, kami menerimanya sebagai masukan. Namun ada komentar yang kontra-produktif dilontarkan oleh KHMD --kyai harismatik yang sangat penulis hormati-- sampai-sampai panitia –sing lagi belingsatan ngurusi persiapan- dikon teka sowan menghadap beliau KHMD. Sdr. Ketua Panitia, sdr. Ketua IRPG dan penulis sendiri langsung ganti pakaian –sarungan lan pecian, sebab lamon ngadep kyai nganggoe celana beli sopan, dusun- siap-siap menghadap.
Tiba di rumah sang kyai, seperti biasa kami uluk salam, cium tangan dan duduk bersimpuh. Beliau KHMD --masih dalam posisi nggeleng, sirahe diganjel tangan-- ‘menginterograsi’ kami bertiga, kami dicecar pertanyaan; “Apa maksud dan tujuan kegiatan, siapa yang bertanggungjawab, dan sudah minta restu kepada kyai siapa (???!!). Kami menjawab apa adanya, bahwa itu semua adalah ide murni bocah enom. Sampai akhirnya tiba-tiba beliau KHMD bangkit, berdiri sambil nyuding ning rai penulis seraya ngendhika dengan nada tinggi :
“Bocah bodoh ngaku pinter, ya sira..!!! bocah beli ngaji ngaku ngaji, ya sira...!!! Gedongan beli pantes ngana ena halal-bihalalan .... bla..... bla ..... bla....” (kurang etis untuk diceritakan semua).
Beliau KHMD mengancam akan membubarkan acara (!!&#$?”#!). Kami semua tegang, diam seribu bahasa dan bingung -cuma rada gemuyu setitik ketika Sdr. Ketua Panitia nyethuk dengan harap-harap cemas : “Kyai niku rokoke kewalik nyulede....”
Menjelang adzan maghrib, dengan penuh kehati-hatian dan rendah hati kami memohon maaf atas ke’bloonan’ dan kelancangan kami, dan memohon supaya acara tetap bisa berjalan sesuai dengan rencana. Akhirnya... permohonan kami disetujui, namun dengan catatan : “Aja maning-maning...!!”
Malam harinya, acara berjalan cukup meriah, para kyai berkenan rawuh baik dari “blok” kulon maupun wetan. Penceramah tunggal K.H. Najmuddin Ali Khaer dari Plumbon, menyampaikan materi dakwah dengan lugas. Sebagai pembuka acara kami menampilkan Grup Qasidah Remaja Magarsari yang disambut dengan penuh riuh-ria.
Kami bersuka melihat antusiasme dan responsibility masyarakat yang begitu tinggi, ini terlihat dari berbondong-bondongnya mereka hadir di acara kami.
Kami bungah menyaksikan di depan mata partisipasi warga Magarsari yang bahu-membahu menunjukkan kepedulian secara langsung seperti kesediaan terlibat dalam susunan kepanitiaan, maupun tidak langsung dengan dukungan akomodasi maupun konsumsi.
Kami bangga, karena --kalau diberi tanggungjawab atau mandate-- sebetulnya kami pun bisa!.
Namun sayangnya, langkah kami harus berhenti sampai di sini, sebagai permulaan namun juga menjadi penghabisan, karena setelah hampir satu dasawarsa peristiwa itu berlalu, hingga kini --benar-benar-- tidak pernah ada lagi bocah enom Magarsari yang berani-sedia menyelenggarakan suatu kegiatan, “Apa jare kyai!”.
Dari pengalaman kejadian yang penulis utarakan, banyak hal yang dapat diambil hikmah untuk direnungkan dan diambil pelajaran demi kemajuan bersama. Penulis sampai saat ini tetap berkeyakinan bahwa peluang --untuk bisa-- itu masih tetap ada dan terbuka, apalagi kondisi saat ini yang semakin kondusif baik di masyarakat Magarsari sendiri maupun lingkungan “jero”. Namun permasalahaanya adalah : “Kapan harus memulainya lagi... (?!)”
*****
*) Penulis lahir dan menjalani masa remajanya di Gedongan, sekarang tinggal dan menetap di “Kota Hujan” Bogor bersama istri dan kedua anaknya. Nyuwun ziyadah pendongane, saat ini penulis dalam penantian Wisuda S1 di STAI Al-Hidayah Bogor, Fakultas Syariah Jurusan Hukum Islam.
Catatan redaksi :
Tanpa mengurangi rasa bangga, tulisan ini sudah mengalami beberapa perubahan dari konsep aslinya. Dan demi menjaga kode etik jurnalistik, penyebutan nama personal sengaja dihilangkan atau diinisialkan. (red.)
Jumat, 01 Mei 2009
Yang Kuingat dari "Gedongan"
GEDONGAN siapa yang tidak kenal kata ini?. paling tidak setiap orang pernah mendengarnya walau cuma sekali (dalam seumur hidup).
Di era tahun 80-an kata yang juga menjadi istilah ini sangat populer di masyarakat, biasanya kata ini digunakan untuk menjuluki golongan elit yang berduit serta kaum terpandang (dari segi materi). Ketika itu –bahkan sampai saat ini pun-- bila mendengar istilah "orang gedongan" atau "anak gedongan" pasti imaji kita akan membayangkan ...... orang kota, parlente, yang tinggal di rumah gedong, dengan kemewahan yang dimilikinya; kendaraan pribadi, pakaian mentereng, perhiasan yang serba keminclong, aneka hidangan makanan penuh gizi, plus memiliki profesi atau status sosial (terpandang). Kalau dikondisikan untuk keadaan sekarang, mungkin yang cocok menyandang label "orang /anak gedongan" adalah para pesohor negeri atau lebih beken dikenal dengan istilah 'selebritis'.
Secara etimologi, istilah "gedongan" berasal dari kata dasar "gedong" yang mendapat imbuhan –an. Dalam KBBI Daring 'gedong' diartikan sebagai 'gedung' sedangkan imbuhan –an berfungsi sebagai kata sandang atau kata sifat. Orang Gedongan berarti 'orang yang manggon di Gedongan atau orang yang mendiami rumah gedong (gedung), gedung sendiri memiliki arti 'rumah tembok yang berukuran besar'.
Singkat kata, mengulas istilah 'gedongan' tidak lepas dari membicarakan keserbamewahan dan kemapanan ('tajir' bahasa gaulnya, pen.), sebab apapun 'kata'-nya, bila dimajemukkan dengan istilah gedongan, akan memiliki makna wahh!!, sebut saja contohnya : rumah gedongan!, mobil gedongan!, baju gedongan!, makanan gedongan!, dan lain-lain, wah!. ...... wah! ...... waaaahh!!. (gedeg-gedek kepala)
Namun tidak demikian jadinya bila istilah 'Gedongan' (dengan G kapital, pen.) disandangkan pada sebuah 'nama'. Dalam hal ini, Gedongan yang dimaksud adalah nama sebuah kampung yang berlokasi di wilayah timur Cirebon (WTC) Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Desa Ender Kecamatan Astanajapura (setelah ada pemekaran kini masuk dalam wilayah Kecamatan Pangenan).
Sebagai sebuah kampung (jlipung) 'Gedongan' jauh dari hingar-bingar kehidupan kota, jauh dari keramaian pasar dan supermarket, bahkan jauh dari deru mobil jalan raya, karena letaknya berada di pelosok terpencil. Hal ini berbalik 180 derajat dengan istilah 'gedongan' yang telah penulis ulas di atas.
Kampung Gedongan di era tahun 1980-an dihuni oleh sekira 500-an kepala keluarga. Mayoritas penghuninya berprofesi sebagai petani penggarap sawah dengan dua jenis tanaman, yakni padi dan palawija. Tanaman padi dikelola hanya pada musim rendeng (penghujan) dengan mengandalkan perairan tadah hujan, sistem irigasi yang ada tidak mencapai persawahan blok Gedongan, sehingga hasil panen padi hanya bisa diperoleh sekali dalam satu tahun. Setelah itu, lahan dikelola kembali, dibulud untuk ditanami palawija. Jenis tanaman palawija yang cocok berupa umbi-umbian (boled, capu), kacang-kacangan, (kacang ijo, kacang kedele dan kacang lanjaran), encung, bonteng suri, dan jagung.
Di musim ketiga (kemarau), ladang sawah yang tidak produktif milik petani biasanya disewakan kepada pihak Pabrik Gula Karangsembung atau Sindanglaut untuk dikelola menjadi perkebunan tebu. Karena sistem pengairannya cukup memadai, tanaman tebu dapat tumbuh subur di sini. Area perkebunan yang luas menghampar ini, bila sudah mencapai 4 hingga 5 bulan setelah masa tanam, seakan seperti lautan yang menenggelamkan kampung Gedongan dan kampung-kampung yang ada di sekitarnya, karena lebat dan tingginya tanaman.
Masih di musim ketiga, untuk mengisi kekosongan, aktivitas kerja sebagian warga beralih menjadi pembuat bata merah. Ini merupakan satu-satunya kegiatan yang tergolong industri (padat karya) di blok Gedongan.
Produksi bata merah di Gedongan memanfaatkan areal kosong di pinggir Kali Pembatan, bahan baku yang digunakan adalah ladon (lempung putih) yang memang banyak terdapat di tepian kali tersebut. Proses kerjanya cukup memakan waktu lama; ladon kering yang sudah dipilih dijur dengan air kali hingga larut menjadi endut (lumpur), endut ini kemudian dicampur dengan dedek wadag (sekam padi) pada sebuah jeboran (kubangan tanah berbentuk persegi panjang 2x1 meter atau lebih dengan kedalaman mencapai dada orang dewasa) --makin besar jeboran, tentunya akan semakin banyak kandungan endut yang dihasilkan.-- Selanjutnya, masih di dalam jeboran, endut yang sudah menjadi adadon diinapkan satu malam untuk mengurangi kadar air, kemudian besok paginya dilakukan pencetakan.
Alat cetak bata merah terbuat dari lempeng kayu atau papan berbentuk kotak sepatu berukuran 12x22 cm dengan tinggi 3cm, biasanya dibuat rangkap dua gandeng. Bakal bata dicetak di atas hamparan tanah lapang yang datar, dalam sekali cetak para perajin bisa menghasilkan 500 hingga 700an bakal bata (bata mentah), tergantung seberapa banyak endut dan seberapa luas lahan cetaknya. Bakal bata yang sudah dicetak ini dijemur di bawah terik matahari hingga betul-betul kering, kemudian bakal bata kering disisiki dan ditap (disusun rapih) dalam bedeng yang sudah disiapkan. Industri bata merah akan berakhir (uwisan) dengan sendirinya saat pergantian dari musim ketiga ke musim rendeng. Sebelum saat itu tiba, para perajin harus sudah ngobong bata bila tidak ingin bakal batanya hancur, lebur kembali menjadi tanah diterjang hujan dan banjir.
Aktivitas lain warga Gedongan adalah pedagang warungan, namun ini dapat dihitung dengan lima jari saja. Terdapat beberapa lapak atau warung di Gedongan yang menjual kebutuhan sembako dan kebutuhan rumah tangga. Barang dagangan diperoleh dengan kulakan tiga sampai empat kali dalam seminggu di Pasar Tradisional Gebang yang jaraknya mencapai 7 km. Warung terbesar di Gedongan adalah warung milik Kaji Mae-Kaji Gudi (almarhum), selebihnya hanya warung-warung penyanggah dan pelengkap, yang biasanya mulai subuh hingga siang hari menjajakan bubur sayur serta jajanan ringan seperti bakwan, pia-pia, jalabia, asmun, cempora, dan lain-lain. Selain untuk memenuhi kebutuhan warga Gedongan dan santri yang tinggal di pondokan, warung-warung tersebut juga dapat menyanggah kebutuhan warga blok tetangga luar Gedongan, seperti : Kubangbango dan Ender Rakit.
Dalam catatan penulis, saat itu di Gedongan belum ada listrik, belum ada yang memiliki televisi di rumahnya, radio (transistor) pun masih orang-orang tertentu saja yang punya, karena selain memang tidak terjangkau harganya untuk dibeli, ada fatwa kyai yang mengharamkan warga Gedongan mendengarkan radio, apalagi menonton tivi. Kendaraan sebagai alat angkut yang ada hanya pit onthel dan pit jengki, itu juga belum banyak yang punya. Satu-satunya kendaraan bermotor adalah Vespa milik Man Ojang --Pegawai KUA-- yang kalau melintas di Gili Tengah, segerombolan bocah menciumi jejak rodanya, mengelus-elus tapak-nya, mengendus asap yang keluar dan corong knalpot hingga lenyap menguap.
Bila ada mobil yang melintasi Gili Tengah, giliran para bocah yang lebih besar berhamburan keluar dari dalam rumah, mengejar mobil yang memang berjalan lambat tersebut dan menggandul di belakangnya. Ini menjadi suatu hiburan yang mengasyikkan bagi mereka, dan merupakan pengalaman baru karena bisa melihat dan naik mobil walau cuma sekelebat. Sambil berjingkrak dan bersorak-sorai, mereka kegirangan, bergelayutan di bemper belakang mobil, tidak peduli orang tuanya yang berdiri di depan pintu mencak-mencak grisiyen karena khawatir anaknya akan jatuh dan terlindas mobil. Bagi para bocah, yang penting senang, karena tidak mesti dalam sebulan akan datang mobil lagi. Biasanya mereka akan menyudahi perjalanan singkat ini sampai Lor Desa, mereka akan turun sendiri-sendiri dengan meraih kepuasan tentunya. Suasana suka 'menggandul mobil' seperti ini tidak akan mereka temukan di musim rendeng, sebab para pengendara roda empat segan masuk kampung Gedongan karena khawatir mobilnya akan kepater di tengah jalanan becek berlumpur.
Itulah sepenggal potret kehidupan orang Gedongan yang hidup dengan kesahajaan dalam ketiadaan. Kendati demikian warganya hidup rukun, walau serba kekurangan namun tidak ngresula karena serba tidak ada; tidak ada rumah gedong dan tidak ada kemewahan di sana, tidak ada pakaian mentereng serta perhiasan yang serba keminclong di rak dan laci lemari mereka, juga tidak ada aneka hidangan istimewa yang menyuguhi makan mereka, yang ada hanya rasa qona'ah, nrima apa yang telah dianugerahkan Gusti Allah kelawan ikhlas.
**********
Deskripsi tentang Gedongan ini ditulis berdasarkan memori penulis di awal tahun 1980-an ketika penulis baru menginjak usia 5 tahun, mohon maaf bila banyak ditemukan kesalahan, Nyuwun ngapuntene ingkang kathah, sanes ngelancangi.
Di era tahun 80-an kata yang juga menjadi istilah ini sangat populer di masyarakat, biasanya kata ini digunakan untuk menjuluki golongan elit yang berduit serta kaum terpandang (dari segi materi). Ketika itu –bahkan sampai saat ini pun-- bila mendengar istilah "orang gedongan" atau "anak gedongan" pasti imaji kita akan membayangkan ...... orang kota, parlente, yang tinggal di rumah gedong, dengan kemewahan yang dimilikinya; kendaraan pribadi, pakaian mentereng, perhiasan yang serba keminclong, aneka hidangan makanan penuh gizi, plus memiliki profesi atau status sosial (terpandang). Kalau dikondisikan untuk keadaan sekarang, mungkin yang cocok menyandang label "orang /anak gedongan" adalah para pesohor negeri atau lebih beken dikenal dengan istilah 'selebritis'.
Secara etimologi, istilah "gedongan" berasal dari kata dasar "gedong" yang mendapat imbuhan –an. Dalam KBBI Daring 'gedong' diartikan sebagai 'gedung' sedangkan imbuhan –an berfungsi sebagai kata sandang atau kata sifat. Orang Gedongan berarti 'orang yang manggon di Gedongan atau orang yang mendiami rumah gedong (gedung), gedung sendiri memiliki arti 'rumah tembok yang berukuran besar'.
Singkat kata, mengulas istilah 'gedongan' tidak lepas dari membicarakan keserbamewahan dan kemapanan ('tajir' bahasa gaulnya, pen.), sebab apapun 'kata'-nya, bila dimajemukkan dengan istilah gedongan, akan memiliki makna wahh!!, sebut saja contohnya : rumah gedongan!, mobil gedongan!, baju gedongan!, makanan gedongan!, dan lain-lain, wah!. ...... wah! ...... waaaahh!!. (gedeg-gedek kepala)
Namun tidak demikian jadinya bila istilah 'Gedongan' (dengan G kapital, pen.) disandangkan pada sebuah 'nama'. Dalam hal ini, Gedongan yang dimaksud adalah nama sebuah kampung yang berlokasi di wilayah timur Cirebon (WTC) Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Desa Ender Kecamatan Astanajapura (setelah ada pemekaran kini masuk dalam wilayah Kecamatan Pangenan).
Sebagai sebuah kampung (jlipung) 'Gedongan' jauh dari hingar-bingar kehidupan kota, jauh dari keramaian pasar dan supermarket, bahkan jauh dari deru mobil jalan raya, karena letaknya berada di pelosok terpencil. Hal ini berbalik 180 derajat dengan istilah 'gedongan' yang telah penulis ulas di atas.
Kampung Gedongan di era tahun 1980-an dihuni oleh sekira 500-an kepala keluarga. Mayoritas penghuninya berprofesi sebagai petani penggarap sawah dengan dua jenis tanaman, yakni padi dan palawija. Tanaman padi dikelola hanya pada musim rendeng (penghujan) dengan mengandalkan perairan tadah hujan, sistem irigasi yang ada tidak mencapai persawahan blok Gedongan, sehingga hasil panen padi hanya bisa diperoleh sekali dalam satu tahun. Setelah itu, lahan dikelola kembali, dibulud untuk ditanami palawija. Jenis tanaman palawija yang cocok berupa umbi-umbian (boled, capu), kacang-kacangan, (kacang ijo, kacang kedele dan kacang lanjaran), encung, bonteng suri, dan jagung.
Di musim ketiga (kemarau), ladang sawah yang tidak produktif milik petani biasanya disewakan kepada pihak Pabrik Gula Karangsembung atau Sindanglaut untuk dikelola menjadi perkebunan tebu. Karena sistem pengairannya cukup memadai, tanaman tebu dapat tumbuh subur di sini. Area perkebunan yang luas menghampar ini, bila sudah mencapai 4 hingga 5 bulan setelah masa tanam, seakan seperti lautan yang menenggelamkan kampung Gedongan dan kampung-kampung yang ada di sekitarnya, karena lebat dan tingginya tanaman.
Masih di musim ketiga, untuk mengisi kekosongan, aktivitas kerja sebagian warga beralih menjadi pembuat bata merah. Ini merupakan satu-satunya kegiatan yang tergolong industri (padat karya) di blok Gedongan.
Produksi bata merah di Gedongan memanfaatkan areal kosong di pinggir Kali Pembatan, bahan baku yang digunakan adalah ladon (lempung putih) yang memang banyak terdapat di tepian kali tersebut. Proses kerjanya cukup memakan waktu lama; ladon kering yang sudah dipilih dijur dengan air kali hingga larut menjadi endut (lumpur), endut ini kemudian dicampur dengan dedek wadag (sekam padi) pada sebuah jeboran (kubangan tanah berbentuk persegi panjang 2x1 meter atau lebih dengan kedalaman mencapai dada orang dewasa) --makin besar jeboran, tentunya akan semakin banyak kandungan endut yang dihasilkan.-- Selanjutnya, masih di dalam jeboran, endut yang sudah menjadi adadon diinapkan satu malam untuk mengurangi kadar air, kemudian besok paginya dilakukan pencetakan.
Alat cetak bata merah terbuat dari lempeng kayu atau papan berbentuk kotak sepatu berukuran 12x22 cm dengan tinggi 3cm, biasanya dibuat rangkap dua gandeng. Bakal bata dicetak di atas hamparan tanah lapang yang datar, dalam sekali cetak para perajin bisa menghasilkan 500 hingga 700an bakal bata (bata mentah), tergantung seberapa banyak endut dan seberapa luas lahan cetaknya. Bakal bata yang sudah dicetak ini dijemur di bawah terik matahari hingga betul-betul kering, kemudian bakal bata kering disisiki dan ditap (disusun rapih) dalam bedeng yang sudah disiapkan. Industri bata merah akan berakhir (uwisan) dengan sendirinya saat pergantian dari musim ketiga ke musim rendeng. Sebelum saat itu tiba, para perajin harus sudah ngobong bata bila tidak ingin bakal batanya hancur, lebur kembali menjadi tanah diterjang hujan dan banjir.
Aktivitas lain warga Gedongan adalah pedagang warungan, namun ini dapat dihitung dengan lima jari saja. Terdapat beberapa lapak atau warung di Gedongan yang menjual kebutuhan sembako dan kebutuhan rumah tangga. Barang dagangan diperoleh dengan kulakan tiga sampai empat kali dalam seminggu di Pasar Tradisional Gebang yang jaraknya mencapai 7 km. Warung terbesar di Gedongan adalah warung milik Kaji Mae-Kaji Gudi (almarhum), selebihnya hanya warung-warung penyanggah dan pelengkap, yang biasanya mulai subuh hingga siang hari menjajakan bubur sayur serta jajanan ringan seperti bakwan, pia-pia, jalabia, asmun, cempora, dan lain-lain. Selain untuk memenuhi kebutuhan warga Gedongan dan santri yang tinggal di pondokan, warung-warung tersebut juga dapat menyanggah kebutuhan warga blok tetangga luar Gedongan, seperti : Kubangbango dan Ender Rakit.
Dalam catatan penulis, saat itu di Gedongan belum ada listrik, belum ada yang memiliki televisi di rumahnya, radio (transistor) pun masih orang-orang tertentu saja yang punya, karena selain memang tidak terjangkau harganya untuk dibeli, ada fatwa kyai yang mengharamkan warga Gedongan mendengarkan radio, apalagi menonton tivi. Kendaraan sebagai alat angkut yang ada hanya pit onthel dan pit jengki, itu juga belum banyak yang punya. Satu-satunya kendaraan bermotor adalah Vespa milik Man Ojang --Pegawai KUA-- yang kalau melintas di Gili Tengah, segerombolan bocah menciumi jejak rodanya, mengelus-elus tapak-nya, mengendus asap yang keluar dan corong knalpot hingga lenyap menguap.
Bila ada mobil yang melintasi Gili Tengah, giliran para bocah yang lebih besar berhamburan keluar dari dalam rumah, mengejar mobil yang memang berjalan lambat tersebut dan menggandul di belakangnya. Ini menjadi suatu hiburan yang mengasyikkan bagi mereka, dan merupakan pengalaman baru karena bisa melihat dan naik mobil walau cuma sekelebat. Sambil berjingkrak dan bersorak-sorai, mereka kegirangan, bergelayutan di bemper belakang mobil, tidak peduli orang tuanya yang berdiri di depan pintu mencak-mencak grisiyen karena khawatir anaknya akan jatuh dan terlindas mobil. Bagi para bocah, yang penting senang, karena tidak mesti dalam sebulan akan datang mobil lagi. Biasanya mereka akan menyudahi perjalanan singkat ini sampai Lor Desa, mereka akan turun sendiri-sendiri dengan meraih kepuasan tentunya. Suasana suka 'menggandul mobil' seperti ini tidak akan mereka temukan di musim rendeng, sebab para pengendara roda empat segan masuk kampung Gedongan karena khawatir mobilnya akan kepater di tengah jalanan becek berlumpur.
Itulah sepenggal potret kehidupan orang Gedongan yang hidup dengan kesahajaan dalam ketiadaan. Kendati demikian warganya hidup rukun, walau serba kekurangan namun tidak ngresula karena serba tidak ada; tidak ada rumah gedong dan tidak ada kemewahan di sana, tidak ada pakaian mentereng serta perhiasan yang serba keminclong di rak dan laci lemari mereka, juga tidak ada aneka hidangan istimewa yang menyuguhi makan mereka, yang ada hanya rasa qona'ah, nrima apa yang telah dianugerahkan Gusti Allah kelawan ikhlas.
**********
Deskripsi tentang Gedongan ini ditulis berdasarkan memori penulis di awal tahun 1980-an ketika penulis baru menginjak usia 5 tahun, mohon maaf bila banyak ditemukan kesalahan, Nyuwun ngapuntene ingkang kathah, sanes ngelancangi.
Langganan:
Postingan (Atom)