Perkembangan dan kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi disikapi arif oleh Wong Gedongan, hal ini ditunjukkan dengan telah maraknya kalangan bocah enom Gedongan yang bergabung di komunitas dunia maya yang kini sedang tren yaitu “facebook” (baca fesbuk).
Fesbuk atau disingkat “FB” adalah sebuah situs web jejaring sosial populer yang diluncurkan pada 04 Februari 2004. Fesbuk didirikan oleh Mark Zuckerberg, seorang Mahasiswa Harvard kelahiran 14 Mei 1984 alumni Ardsley High School. Saat ini Fesbuk menjadi sebuah fenomena masyarakat dunia termasuk Indonesia. Hampir di semua tempat dan kesempatan dapat dipastikan ada orang yang tengah asyik berfesbuk ria, apalagi media aksesnya dapat dilakukan dengan mudah melalui HP yang setiap orang rata-rata memilikinya.
Tidak dipungkiri, keberadaan fesbuk ini pernah menjadi kontroversi dengan dikeluarkannya “fatwa haram” oleh Forum Bahtsul Masail FMP3 Santri Putri Lirboyo, Kediri. Namun --sebagaimana umumnya produk teknologi yang tidak lepas dari dampak negatif dan positif yang dikandungnya-- fesbuk oleh wong Gedongan dimanfaatkan sebagai media untuk berbagi cerita, berkirim kabar dan bertukar berita. Dan yang terpenting adalah bahwa fesbuk dapat menjadi sarana untuk sambung rasa menjalin sillaturrahmi.
Atas dasar kesamaan minat tersebut maka lahirlah grup fesbuker Forum Komunikasi Braya lan Sedulur (FKBS) Gedongan-Cerbon “Batur Dhewek” [on-line], dengan anggota wong Gedongan yang keberadaannya tidak hanya dalam lingkup Gedongan, tetapi tersebar luas di luar penjuru Gedongan. Kehadiran grup ini setidaknya dapat menjadi solusi atas kemandekan komunikasi bagi sesama wong Gedongan yang selama ini terkendala oleh jarak dan lokasi.
Nama Batur dhewek sendiri diambil dari bahasa keseharian wong Gedongan yang berarti “teman sendiri”. Istilah “batur dhewek” sengaja dipilih sebagai ungkapan keakraban dalam kekerabatan. Seperti halnya orang Palembang menyebut sesamanya sebagai “Wong Kito”, orang Padang menyebutnya “Urang Awak”, orang Sunda dan Jawa memakai istilah “Jalma Batur” dan “Bholo Dhewek”, maka orang Gedongan boleh berkata : “Batur Dhewek”.
“Batur dhewek” dapat berarti siapa saja, karena berteman dapat dijalin dengan siapa saja. Kendati memiliki sasaran orang Gedongan, bukan berarti grup ini ekskulif --khusus untuk wong Gedongan bae--. “Batur dhewek” terbuka juga bagi wong luar Gedongan yang ingin bergabung, karena semakin banyak “batur” akan menambah “sedulur”.
Logo “Batur Dhewek” dan filosofi maknanya
Logo “Batur Dhewek” dibuat minimalis tanpa bingkai dengan hanya menggunakan 2 warna. Tanpa bingkai artinya bahwa grup ini adalah grup terbuka untuk diikuti oleh semua batur dhewek siapa saja yang ada dimana saja ......
Titik fokus logo adalah dua tangan yang sedang saling bergantet (wauhan) antara jari kelingkingnya, satu tangan berwarna hitam dan satu lainnya berwarna putih. Melambangkan niat tulus dua insan untuk berteman, tanpa membedakan hitam atau putih warna kulitnya;
Pertemuan antara dua jari kelingking yang saling bergantet membentuk simbol "hati" berwarna merah, melambangakan bahwasanya pertemanan akan menimbulkan rasa suka yang rasa itu datang dari lubuk hati yang paling dalam;
Teks "FORUM KOMUNIKASI BRAYA lan SEDULUR" (disingkat FKBS) yang melingkar di atasnya, serta GEDONGAN-CERBON di bawahnya, merupakan penjabaran grup dan kedudukannya;
Inisial "bd" adalah akronim dari kata "Batur Dhewek" yang menjadi nama grup;
Dua tangkai padi yang diikat batangnya, melambangakan kemakmuran (tujuan duniawiyah); dan sembilan bintang yang bertebar melingkar di atas tangkai padi, melambangakan khidmat anggota grup kepada agama/taqwa kepad Allah swt. (tujuan ukhrawiyah).
Filosofi warna
Warna HITAM melambangkan kekokohan, istiqomah, loyal, mandiri dan bekerja keras.
Warna MERAH melambangkan keberanian (dalam menegakkan amar makruf nahyi munkar), semangat (api yang membara), pantang menyerah dan tidak putus asa.
Semoga kehadiran grup fesbuker Forum Komunikasi Braya lan Sedulur (FKBS) Gedongan-Cerbon “Batur Dhewek” [on-line] ini betul-betul dapat menjalankan misinya, yakni : “menyatukan yang terserak, mendekatkan yang jauh, merekatkan yang dekat” bagi wong dhewek, sebagaimana bunyi semboyan yang diusungnya.
Mangga gabung bebaturan, kang ...... (ASF)
Selasa, 30 Maret 2010
Sabtu, 27 Maret 2010
Kang Said Menang, Takbir dan Shalawat Badar berkumandang
Makassar, (tvOne). Bursa pencalonan Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2010-2015 akhirnya dimenangkan oleh KH Said Aqil Siraj, mengalahkan Slamet Efendi Yusuf. Suara Takbir pun menggema dan Shalawat Badar sambut kemenangan Ketum PBNU yang baru.
KH Said Aqil Siraj, terpilih sebagai Ketua Umum PBNU dengan jumlah 294 suara mengalahkan Slamet Efendi Yusuf yang hanya meraih 201 suara. Pemilihan Ketua umum PBNU pada Muktamar ke-32 NU berlangsung aman dan tertib di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sabtu malam (27/3). Dari 504 jumlah kertas suara yang dibagikan kepada peserta sidang pleno pemilihan Ketua Umum PBNU, hanya 495 yang menggunakan hak pilihnya.
Pada proses perhitungan suara tahap II, peserta yang berada dalam ruangan berangsur berkurang, hanya sekitar sepertiga dari kapasitas ruangan 500 orang lebih yang tetap berada di ruangan tersebut karena sebagian besar keluar ruangan untuk shalat dan makan malam, setelah terlebih dahulu memberikan hak suaranya.
Sementara dua calon ketua umum PBNU yakni Said Aqil Siraj dan Slamet Efendi Yusuf tetap berada di ruangan menyaksikan proses penghitungan suara. Khusus peserta Muktamar yang tidak memiliki hak suara, tidak diperkenankan masuk ruangan sidang pleno, namun pihak panitia menyiapkan ratusan kursi dan beberapa monitor TV untuk menyaksikan proses pemilihan tersebut.
Proses perhitungan suara sempat terhenti ketika angka raihan Said Aqil Siraj dipastikan menang, pada hitungan surat suara 300-an Slamet Efendi Yusuf mendekati Aqil Siraj lalu memeluknya pertanda legowo Aqil menang. Gema takbir berkumandang dan perhitungan dihentikan sesaat, kemudian setelah suasana tenang, lalu dilanjutkan kembali.
Proses pemilihan diwarnai hujan yang cukup deras, sehingga muktamirin yang menyaksikan dari luar ruangan dan tidak di bawah tenda, terpaksa sebagian kembali ke kamarnya masing-masing atau duduk-duduk di kantin sambil mengikuti perkembangan (Ant).
sumber : http://sosialbudaya.tvone.co.id/
KH Said Aqil Siraj, terpilih sebagai Ketua Umum PBNU dengan jumlah 294 suara mengalahkan Slamet Efendi Yusuf yang hanya meraih 201 suara. Pemilihan Ketua umum PBNU pada Muktamar ke-32 NU berlangsung aman dan tertib di Asrama Haji Sudiang, Makassar, Sabtu malam (27/3). Dari 504 jumlah kertas suara yang dibagikan kepada peserta sidang pleno pemilihan Ketua Umum PBNU, hanya 495 yang menggunakan hak pilihnya.
Pada proses perhitungan suara tahap II, peserta yang berada dalam ruangan berangsur berkurang, hanya sekitar sepertiga dari kapasitas ruangan 500 orang lebih yang tetap berada di ruangan tersebut karena sebagian besar keluar ruangan untuk shalat dan makan malam, setelah terlebih dahulu memberikan hak suaranya.
Sementara dua calon ketua umum PBNU yakni Said Aqil Siraj dan Slamet Efendi Yusuf tetap berada di ruangan menyaksikan proses penghitungan suara. Khusus peserta Muktamar yang tidak memiliki hak suara, tidak diperkenankan masuk ruangan sidang pleno, namun pihak panitia menyiapkan ratusan kursi dan beberapa monitor TV untuk menyaksikan proses pemilihan tersebut.
Proses perhitungan suara sempat terhenti ketika angka raihan Said Aqil Siraj dipastikan menang, pada hitungan surat suara 300-an Slamet Efendi Yusuf mendekati Aqil Siraj lalu memeluknya pertanda legowo Aqil menang. Gema takbir berkumandang dan perhitungan dihentikan sesaat, kemudian setelah suasana tenang, lalu dilanjutkan kembali.
Proses pemilihan diwarnai hujan yang cukup deras, sehingga muktamirin yang menyaksikan dari luar ruangan dan tidak di bawah tenda, terpaksa sebagian kembali ke kamarnya masing-masing atau duduk-duduk di kantin sambil mengikuti perkembangan (Ant).
sumber : http://sosialbudaya.tvone.co.id/
Rabu, 24 Maret 2010
Mengenal lebih dekat sosok KH. Said Aqiel Siradj
Said Aqiel : “kembalikan NU kepada orientasi yang bernapaskan pesantren ......”
Dengan Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan atas Karunia serta Inayah-Nya akhirnya hari ini, Selasa (23/3) pukul 11.30, --sesuai dengan jadwal-- Muktamar Nahdlatul Ulama ke-32 di Makasar secara resmi dibuka oleh Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Muktamar ini akan berlangsung sejak hari ini hingga 28 Maret 2010 mendatang (mundur kurang lebih 2 bulan dari jadwal yang direncanakan sebelumnya tanggal 25-30 Januari 2010).
Salah satu agenda muktamar yang sejak jauh hari telah ramai dibincangkan tentunya adalah bursa pemilihan pucuk Pimpinan PBNU pengganti KH. Hasyim Muzadi (menjabat selama 2 periode, 1999-2004 dan 2004-2009). Hingga saat ini para kandidat yang resmi foto dan namanya nampang di situs muktamar.nu.or.id antara lain : Said Aqiel Siradj, Ahmad Bagja, Salahuddin Wahid, Masdar Farid Mas’udi, Slamet Effendi Yusuf, dan Ali Maschan Moesa.
Namun belakangan, wacana kandidat ketua umum ini mengerucut menjadi 3 nama, mereka adalah KH. Said Aqiel Siradj, KH. Solahudin Wahid, dan Slamet Effendy Yusuf (http://www.detiknews.com/). Meski belum secara resmi, tapi usungan tersebut sudah mulai diwacanakan oleh sejumlah pemegang suara yang hadir di arena muktamar.
Sebagai soeara pribumi yang memiliki kedekatan personal (wong dhewek), Magarsari Post tentu berkepentingan mendukung secara penuh pencalonan KH. Said Aqiel Siradj untuk maju memimpin NU. "Kang said" --begitu beliau biasa akrab dipanggil-- bukanlah sosok yang asing bagi warga Magarsari, beliau adalah buyut Almaghfurlah KH. Muhammad Said, pendiri Pondok Pesantren Gedongan, Cirebon. Nama Kang Said familiar di telinga warga, tausiyah-nya --paling tidak-- setahun sekali selalu dinanti untuk disimak dan diresapi pada setiap pelaksanaan Haul KH. Muhammad Said, Gedongan.
Lebih dekat dengan Kang Said
Prof. DR. KH. Said Aqiel Siradj, MA. lahir di Kempek, Palimanan, Cirebon, pada tanggal 03 Juli 1953. Putra kedua dari 5 bersaudara: Ja’far Aqiel, Musthafa Aqiel, Ahsin Aqiel dan Niamillah Aqiel. Kedua orang tuanya, KH. Aqiel Siradj (Putra KH. Siradj, Bungsu KH. Muhammad Said) dan Ny. Hj. Afifah (putri KH. Harun, Pendiri Pesantren Kempek, Cirebon) adalah seorang pengasuh disegani yang mendirikan Madrasah Tarbiyatul Mubtadi’ien di lingkungan Pondok Pesantren Kempek.
Berawal ketika nyantri di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, Kang Said mengenal Nurhayati Abdul Qodir, gadis yang ternyata tetangga desanya di Cirebon. Perkenalannya ini hingga membawa keduanya ke pelaminan pada tanggal 13 Juli 1977. Setelah keduanya menikah, Kang Said meneruskan studinya ke Timur Tengah, mengajak serta sang istri hingga tahun 1994. Keempat putra-putrinya lahir di Makkah, mereka adalah : Muhammad Said Aqiel, Nisrin Said Aqiel, Rihab Said Aqiel, dan Aqiel Said Aqiel.
Pendidikannya diawali ‘ngaji’ di Majelis Tarbiyatul Mubtadi’ien milik ayahnya sambil Sekolah Rakyat (SD). Setelah itu Kang Said kecil mondok ke Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur belajar serius ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan KH. Mahrus Ali (cucu KH. Muhammad Said, Gedongan). Belajar di pesantren adalah pilihan tunggal, karena sang ayah tidak mengizinkan Kang Said meneruskan studi di sekolah umum.
Di Lirboyo, Kang Said berhasil menyelesaikan studinya hingga tingkat Madrasah Aliyah (SMU). Kang Said pernah kuliah di Universitas Tribakti Lirboyo, namun merasa tidak puas. Ia memutuskan keluar dari Tribakti dan pindah ke IAIN Sunan Kalijaga sambil mondok di Pesantren Krapyak Jogjakarta (didirikan oleh KHM. Moenawir atas saran dan nasehat KH. Muhammad Said, Gedongan). Bagi Kang Said, Kota Jogjakarta ternyata tidak ubahnya Lirboyo. Rasa tidak puas yang menggelayutinya memaksa beliau hengkang dari kota gudeg tersebut dan memutuskan untuk belajar ke Timur Tengah. Dan pada 1980 ia pun berangkat ke Makkah, Saudi Arabia dengan ditemani sang isteri. Memasuki tahun 1982 Kang Said berhasil menyelesaikan studi S1 Jurusan Ushuluddin dan Dakwah di King Abdul Aziz University; S2 Jurusan Perbandingan Agama pada 1987 dan S3 Jurusan Aqidah/Filsafat Islam pada 1994 di Universitas Ummul-Qurra’.
Santri ‘cerdas’
Pada tahun 1980-an, belajar di Saudi Arabia tergolong mengasyikkan, karena mahasiswa benar-benar mendapatkan perhatian pemerintah setempat. Jika dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah lainnya, bea siswa yang dikucurkan Pemerintah Saudi Arabia tergolong besar. Hanya saja, tingkat intelektualitas masyarakatnya yang masih rendah sedikit banyak mempengaruhi suasana belajar, kondisi inilah tantangan besar Kang Said.
Namun hambatan itu dapat ia atasi dengan baik. Dengan kesabarannya, studi di Ummul-Qura berhasil ia lalui. Kang Said berhasil menyelesaikan S2-nya dengan tesis di bidang perbandingan agama. Memasuki tahun ke-14 tepatnya tahun 1994, Said Aqiel Siradj berhasil menyelesaikan studi S3 dengan disertasi berjudul, “Shilatullah bil-Kauni fi al-Tashawwuf al-Falsafi” (Relasi Allah dan Alam: Perspektif Tasawuf). Kang Said berhasil mempertahankan disertasinya dengan predikat Cum Laude.
Empat belas tahun belajar di Timur Tengah telah mengantarkan sosok Kang Said sebagai salah satu intelektual muslim Indonesia. Penguasaannya yang luas atas doktrin agama-agama dunia di samping keilmuannya di bidang tasawuf menjadikannya sebagai tokoh lintas agama yang cerdas.
Setelah gelar doktoralnya dipastikan berada di tangan, Kang Said memutuskan pulang ke Indonesia. Gus Dur yang telah lama mengenalnya mengajak Kang Said untuk beraktifitas di Nahdlatul Ulama (NU). Tahun pertama beraktifitas, forum Muktamar Cipasung memercayainya sebagai Wakil Katib ‘Aam PBNU, sebuah jabatan yang terbilang cukup tinggi bagi aktivis pendatang baru. Saat itu Gus Dur ‘mempromosikan’ Kang Said dengan kata-kata kekaguman, “Dia doktor muda NU yang berfungsi sebagai kamus berjalan dengan disertasi lebih dari 1000 referensi”.
Keliling Indonesia: Menebar gairah berpikir
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kualitas keilmuan Said Aqiel Siradj cukup teruji. Intensitas aktivitas keilmuannya juga tinggi. Dalam seminggu, hampir dipastikan 3-4 hari waktunya dihabiskan untuk keluar masuk kota-kota di seluruh Indonesia. Berbagai forum ilmiah didatangi; mulai dari forum pengajian di desa terpencil hingga seminar di hotel-hotel berbintang. Semangat ‘turun’ ke pelosok-pelosok negeri ini didasari oleh obsesi kuatnya untuk membawa masyarakat Islam ke altar ‘kesadaran intelektual’.
Di tengah kesibukannya yang tinggi, Kang Said masih meluangkan waktunya untuk berinteraksi dengan para mahasiswa. Kang Said tercatat sebagai Direktur Pascasarjana UNISMA Malang, dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan dosen terbang di beberapa Perguruan Tinggi di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Visi dan Misi menjadi Ketua Umum PBNU
Kang Said tergolong salah seorang intelektual muda NU yang concern di bidang wacana keislaman. Kedatangannya dari Timur Tengah semakin menambah deretan anak muda NU yang selama ini berkutat di gerakan kultural.
Tentang visi dan misinya, dalam suatu kesempatan wawancaranya di situs bataviase.co.id, beliau menuturkan :
“Saya ingin mengembalikan NU kepada orientasi yang bernapaskan pesantren". Dimana dalam pesantren pasti ada ilmu, moderat, dekat dengan rakyat, akhlak, kemandirian, persaudaraan. Selama NU jauh dari pesantren, maka akan kehilangan tipologi atau keistimewaan NU dengan ormas yang lainnya.
Selain memperkuat NU dalam napas yang berorientasi pesantren, saya juga akan "membangun pendidikan atas nama NU", disamping meneruskan yayasan-yayasan pesantren yang sudah ada. Misalnya saya akan membangun tsanawiyah NU.
Menyangkut masalah ekonomi kerakyatan, menurut saya seperti yang sudah dijalankan. Misalnya, Syariah Muammalat, BPR dan terus mengembangkannya dengan mencari investor dari negara-negara Timur Tengah yang pernah saya kunjungi seperti Aljazair, Libya dan lain-lain. Terkait dengan kehidupan sosial, NU akan selalu melakukan aktualisasi. Salah satunya yaitu NU akan mempertegas bahwa antara Islam dan nasionalisme tidak ada pertentangan. Jadi orang NU yang taat berislam, tetap kuat semangat nasionalismenya di waktu yang bersamaan. Menurut saya ini begitu penting, karena di negara Timur Tengah saja, masalah Islam dan nasionalisme ini masih belum selesai sampai sekarang, sehingga masih sering terjadi konflik.
Semoga cita-cita dan obsesi Kang Said dapat terejawantah dengan terpilihnya beliau sebagai Ketua Umum PBNU periode 2010-2015, Amien Yaa Rab .... (ASF).
disarikan dari http://kabarwarga.com/
Jumat, 19 Maret 2010
Mendhak
Mengenang 1 tahun meninggalnya ibunda terkasih
HARI INI (Jum'at, 19 Maret 2010) tepat 1 tahun meninggalnya almarhumah ibunda tercinta Rodhiyah Minhaj binti ‘Salikah (kami, anak-anak, menantu, cucu dan buyut, semasa hidup beliau memanggilnya dengan sebutan : BIBI). Sesuai tradisi yang sudah turun temurun dilaksanakan di Pesantren Gedongan, keluarga mengenangnya dengan mengadakan ritual ‘Mendhak’, yang dirangkai dengan helatan “tahlilan”.
Mendhak merupakan Bahasa Jawa dari kata dasar ‘pendhak’. Kata ini dapat diartikan sebagai bertemu atau berulangnya kembali satu masa (edar) dengan masa yang sama pada edaran berikutnya, umpamanya jam 21.00 malam di hari kemarin dengan jam 21.00 malam pada hari ini disebut sependak hari (pendhak dina), atau Jum'at hari ini dengan Jum'at sepekan yang akan datang disebut sependak minggu, begitu seterusnya.
Dalam konteks penyelenggaraan "tahlilan", mendhak merupakan pelaksanaan selamatan tahunan untuk memperingati orang yang telah meninggal (KBBI, 2008 : 1009). Tahlilan sendiri merupakan ritual yang diselenggarakan untuk mengenang hari kematian seseorang, yang dimulai sejak hari pertama orang tersebut meninggal dunia, dilanjutkan hari ke-2, ke-3 hingga hari ke-7 (mitung dina). Lalu diselenggarakan kembali pada hitungan hari ke-40 (matang puluh), hari ke-100 (nyatus), dan hari ke-1 tahun (mendhak).
MENDHAK diselenggarakan dalam dua putaran : mendhak sepisan (mendhak tahun pertama) dan mendhak pingdho (mendhak tahun kedua). Setelah itu masih ada tahlilan lagi di hari ke-1000 yang disebut nyewu. Tahlilan hari ke-1000 ini dapat dikatakan sebagai tahlilan pamungkas, karena selanjutnya ahlul ghiyab (keluarga orang yang ditinggal mati) cukup melaksanakannya secara masal seluruh penghuni kampung yang dikenal dengan istilah “Haul” (pendhak haul).
*****
TAHLILAN secara terminologis diserap dari Bahasa Arab “tahliil” mengandung arti ungkapan dzikir “Laa Ilaaha Illallah” (bukan Ilaah selain Allah). Dalam pengertian yang luas, tahlilan --yang bertujuan untuk menanamkan tauhid di tengah suasana keharuan duka yang sentimental dan sugestif-- dapat diidentikkan sebagai ritual yang diselenggarakan untuk mengenang hari kematian seseorang berdasarkan runtutan hari kematian yang disebutkan di atas (mitung dina, matang puluh, nyatus, mendhak dan haul).
Prosesi ritual tahlilan di Gedongan terfokus pada dua segmen, yaitu pembacaan beberapa ayat/surat Al-Qur'an, shalawat serta dzikir yang ditutup dengan do'a, dan penyajian hidangan atau pembagian berkat.
Pada segmen pertama, diawali dengan Imam (pemimpin Tahlil) membacakan hadrah (pembacaan Surat Al-Fatihah yang disampaikan ke hadirat Arwah Nabi Muhammad saw. dan ahlul bait-nya; arwah para sahabat, para tabiin, dan para tabiit-tabiin; arwah para wali di segala penjuru --khususan syekh Abdul Kadir Jailani--, para ulama/kyai, para ustadz/guru, arwah semua kaum muslimin/muslimat dimana tempat, arwah keluarga sahibul hajat penyelenggara tahlil, dan terkhusus arwah orang yang ditahlilkan). Setelah itu seluruh jamaah bersama membaca Surat Yasin hingga selesai, dilanjutkan dengan membaca Surat Al-Ikhlas sebanyak 3x, Surat Al-Falaq dan Surat An-nas (Al-mu’awwudzatain, 1x) dan Surat Al-Fatihah kembali, kemudian diteruskan dengan membaca surat Al-Baqarah (hanya sebagiannya saja, awwaluhu, wa awsatuhu, wa’akhiruhu), bacaan sholawat nabi, tasbih, tahawwul dan tahlil, selanjutnya ditutup dengan istighfar bersama dan bacaan do'a oleh Imam, dengan hajat agar pahala tahlil yang telah sama-sama dipanjatkan dihadiahkan pahalanya untuk orang-orang (anggota keluarga) yang telah wafat terkhusus untuk almarhum/almarhumah yang ditahlili --yang oleh karenanya berkumpulnya jamaah ini untuknya-- juga agar kaum muslimin-muslimat, yang masih hidup maupun telah wafat, diampuni segala dosanya oleh Allah swt..
Segmen kedua yaitu penyajian hidangan atau pembagian berkat yang dilakukan setelah proses pembacaan tahlil serta do'a selesai.
Hidangan berupa snack atau jaburan --biasanya dibuat sendiri oleh sahibul hajat dengan dibantu oleh para saudara dan tetangga dekat-- disajikan dalam ritual tahlil kematian hari ke-1 hingga hari ke-6. Sedangkan pada tahlil mitung dina (hitangan hari ke-7) setiap jamaah dibagikan berkat (besek berisi satu paket nasi putih plus kombinasi beberapa lawuhan serta jaburan) untuk dibawa pulang dan dimakan di rumah.
Berkat (disadur dari kata Barokah) dibagikan dengan tujuan untuk menggembirakan dan menyemarakkan para hadirin sebagai amalan sedekah yang (tentunya) pahalanya dihadiahkan untuk anggota keluarga yang telah meninggal dunia --terkhusus untuk almarhum/almarhumah yang ditahlili. Sebagaimana dianjurkan oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm, beliau mengatakan bahwa “disunnahkan agar orang membuat makanan untuk keluarga mayyit sehingga dapat menyenangkan mereka”, yang mana hal ini telah diriwayatkan dalam hadits bahwa Rasulallah saw. --tatkala datang berita wafatnya Ja’far-- bersabda; "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan" (Tartib Musnad Imam Syafi’i jilid 1 hal. 216, bab 23, hadits 602)
Namun demikian "berkat" bukanlah syarat mutlak tahlilan, penyiapan dan pembagian berkat kepada jamaah hendaknya tidak dipaksaan dan tidak diada-adakan oleh sahibul hajat yang notabene sebagai pihak yang sedang tertimpa musibah. Begitu pun masyarakat yang menjadi jamaah, sepatutnya tidak terlalu menuntut, atau berharap berlebihan (thama’) mendapatkan berkat tahlilan dengan hidangan istimewa, karena hal ini justru akan menghilangkan amal ikhlasnya dalam bertahlil.
Jangan sampai celah ini dijadikan sebagai senjata oleh kelompok inkaarut tahlil untuk mem-bid’ah dhalalah-kan, bahkan mengharamkan ritual tahlil yang sebenarnya syarat dengan kalimah thayyibah, shalawat, dzikir dan do'a kepada Allah swt.
Semoga itu semua hanya kegundahan semata yang tidak ada dasarnya. Dan semoga amaliyah jamaah tahlilan yang hadir pada mendhak sepisan mengenang wafatnya 'Bibi' tercinta diterima oleh Allah swt.
Untuk kedamaian dan ketentramannya di alam baka ......
اللّهمّ اغفرلها وارحمها وعافها واعف عنها،
Allahumma Amien ...... (ASF)
HARI INI (Jum'at, 19 Maret 2010) tepat 1 tahun meninggalnya almarhumah ibunda tercinta Rodhiyah Minhaj binti ‘Salikah (kami, anak-anak, menantu, cucu dan buyut, semasa hidup beliau memanggilnya dengan sebutan : BIBI). Sesuai tradisi yang sudah turun temurun dilaksanakan di Pesantren Gedongan, keluarga mengenangnya dengan mengadakan ritual ‘Mendhak’, yang dirangkai dengan helatan “tahlilan”.
Mendhak merupakan Bahasa Jawa dari kata dasar ‘pendhak’. Kata ini dapat diartikan sebagai bertemu atau berulangnya kembali satu masa (edar) dengan masa yang sama pada edaran berikutnya, umpamanya jam 21.00 malam di hari kemarin dengan jam 21.00 malam pada hari ini disebut sependak hari (pendhak dina), atau Jum'at hari ini dengan Jum'at sepekan yang akan datang disebut sependak minggu, begitu seterusnya.
Dalam konteks penyelenggaraan "tahlilan", mendhak merupakan pelaksanaan selamatan tahunan untuk memperingati orang yang telah meninggal (KBBI, 2008 : 1009). Tahlilan sendiri merupakan ritual yang diselenggarakan untuk mengenang hari kematian seseorang, yang dimulai sejak hari pertama orang tersebut meninggal dunia, dilanjutkan hari ke-2, ke-3 hingga hari ke-7 (mitung dina). Lalu diselenggarakan kembali pada hitungan hari ke-40 (matang puluh), hari ke-100 (nyatus), dan hari ke-1 tahun (mendhak).
MENDHAK diselenggarakan dalam dua putaran : mendhak sepisan (mendhak tahun pertama) dan mendhak pingdho (mendhak tahun kedua). Setelah itu masih ada tahlilan lagi di hari ke-1000 yang disebut nyewu. Tahlilan hari ke-1000 ini dapat dikatakan sebagai tahlilan pamungkas, karena selanjutnya ahlul ghiyab (keluarga orang yang ditinggal mati) cukup melaksanakannya secara masal seluruh penghuni kampung yang dikenal dengan istilah “Haul” (pendhak haul).
*****
TAHLILAN secara terminologis diserap dari Bahasa Arab “tahliil” mengandung arti ungkapan dzikir “Laa Ilaaha Illallah” (bukan Ilaah selain Allah). Dalam pengertian yang luas, tahlilan --yang bertujuan untuk menanamkan tauhid di tengah suasana keharuan duka yang sentimental dan sugestif-- dapat diidentikkan sebagai ritual yang diselenggarakan untuk mengenang hari kematian seseorang berdasarkan runtutan hari kematian yang disebutkan di atas (mitung dina, matang puluh, nyatus, mendhak dan haul).
Prosesi ritual tahlilan di Gedongan terfokus pada dua segmen, yaitu pembacaan beberapa ayat/surat Al-Qur'an, shalawat serta dzikir yang ditutup dengan do'a, dan penyajian hidangan atau pembagian berkat.
Pada segmen pertama, diawali dengan Imam (pemimpin Tahlil) membacakan hadrah (pembacaan Surat Al-Fatihah yang disampaikan ke hadirat Arwah Nabi Muhammad saw. dan ahlul bait-nya; arwah para sahabat, para tabiin, dan para tabiit-tabiin; arwah para wali di segala penjuru --khususan syekh Abdul Kadir Jailani--, para ulama/kyai, para ustadz/guru, arwah semua kaum muslimin/muslimat dimana tempat, arwah keluarga sahibul hajat penyelenggara tahlil, dan terkhusus arwah orang yang ditahlilkan). Setelah itu seluruh jamaah bersama membaca Surat Yasin hingga selesai, dilanjutkan dengan membaca Surat Al-Ikhlas sebanyak 3x, Surat Al-Falaq dan Surat An-nas (Al-mu’awwudzatain, 1x) dan Surat Al-Fatihah kembali, kemudian diteruskan dengan membaca surat Al-Baqarah (hanya sebagiannya saja, awwaluhu, wa awsatuhu, wa’akhiruhu), bacaan sholawat nabi, tasbih, tahawwul dan tahlil, selanjutnya ditutup dengan istighfar bersama dan bacaan do'a oleh Imam, dengan hajat agar pahala tahlil yang telah sama-sama dipanjatkan dihadiahkan pahalanya untuk orang-orang (anggota keluarga) yang telah wafat terkhusus untuk almarhum/almarhumah yang ditahlili --yang oleh karenanya berkumpulnya jamaah ini untuknya-- juga agar kaum muslimin-muslimat, yang masih hidup maupun telah wafat, diampuni segala dosanya oleh Allah swt..
Segmen kedua yaitu penyajian hidangan atau pembagian berkat yang dilakukan setelah proses pembacaan tahlil serta do'a selesai.
Hidangan berupa snack atau jaburan --biasanya dibuat sendiri oleh sahibul hajat dengan dibantu oleh para saudara dan tetangga dekat-- disajikan dalam ritual tahlil kematian hari ke-1 hingga hari ke-6. Sedangkan pada tahlil mitung dina (hitangan hari ke-7) setiap jamaah dibagikan berkat (besek berisi satu paket nasi putih plus kombinasi beberapa lawuhan serta jaburan) untuk dibawa pulang dan dimakan di rumah.
Berkat (disadur dari kata Barokah) dibagikan dengan tujuan untuk menggembirakan dan menyemarakkan para hadirin sebagai amalan sedekah yang (tentunya) pahalanya dihadiahkan untuk anggota keluarga yang telah meninggal dunia --terkhusus untuk almarhum/almarhumah yang ditahlili. Sebagaimana dianjurkan oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm, beliau mengatakan bahwa “disunnahkan agar orang membuat makanan untuk keluarga mayyit sehingga dapat menyenangkan mereka”, yang mana hal ini telah diriwayatkan dalam hadits bahwa Rasulallah saw. --tatkala datang berita wafatnya Ja’far-- bersabda; "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan" (Tartib Musnad Imam Syafi’i jilid 1 hal. 216, bab 23, hadits 602)
Namun demikian "berkat" bukanlah syarat mutlak tahlilan, penyiapan dan pembagian berkat kepada jamaah hendaknya tidak dipaksaan dan tidak diada-adakan oleh sahibul hajat yang notabene sebagai pihak yang sedang tertimpa musibah. Begitu pun masyarakat yang menjadi jamaah, sepatutnya tidak terlalu menuntut, atau berharap berlebihan (thama’) mendapatkan berkat tahlilan dengan hidangan istimewa, karena hal ini justru akan menghilangkan amal ikhlasnya dalam bertahlil.
Jangan sampai celah ini dijadikan sebagai senjata oleh kelompok inkaarut tahlil untuk mem-bid’ah dhalalah-kan, bahkan mengharamkan ritual tahlil yang sebenarnya syarat dengan kalimah thayyibah, shalawat, dzikir dan do'a kepada Allah swt.
Semoga itu semua hanya kegundahan semata yang tidak ada dasarnya. Dan semoga amaliyah jamaah tahlilan yang hadir pada mendhak sepisan mengenang wafatnya 'Bibi' tercinta diterima oleh Allah swt.
Untuk kedamaian dan ketentramannya di alam baka ......
اللّهمّ اغفرلها وارحمها وعافها واعف عنها،
Allahumma Amien ...... (ASF)
Senin, 15 Maret 2010
DPP PKB Gelar Peringatan Maulid di Pesantren Gedongan
Seminggu yang lalu --tepatnya hari Senin, 08 Maret 2010-- Alunan Sholawat kembali berkumandang di pelataran Pondok Pesantren Gedongan Pimpinan KH Muclas Dimyati, salah satu Ketua Dewan Syura DPP PKB, Sabtu (6/03).
Acara yang diawali dengan pembacaan Barzanji oleh para santriwan-santriwati tampak dihadiri sejumlah Kiai dari berbagai daerah, dan para Habaib, tampak diantaranya Presiden Majelis Sholawat Nusantara KH. Mujib Chudori, sementara dari dari tuan rumah sendiri rawuh KH. Abu Bakar Soyfan Alhafidz.
Sementara itu, tampak pula hadir Menteri Negara Daerah Tertinggal Helmy Faisal Zainy yang berkesempatan memberikan sambutan di tengah ratusan jamaah yang hadir di Pondok Pesantren Gedongan.
Dalam sambutanya, Helmy kembali berpesan agar warga Nadhliyyin, untuk memperbanyak bacaan Sholawat karena mampu memudahkan jalan yang terjal untuk dilalui, meringankan dalam kesulitan, melapangkan dalam kesempitan.
“Dengan bersholawat, persoalan yang berat terasa ringan, rizki yang sulit terasa mudah didapat, dan persoalan bangsa khususnya bisa teratasi karena warganya, khususnya warga NU, warga PKB tak henti-henti mengumandangkan sholawat.” Tutur Helmy.
Lebih lanjut Helmy berharap, dukungan para Kiai dan Habaib untuk mendokan perjuangan PKB, khususnya kader-kader terbaiknya dalam memperjuangkan kemaslahatan bangsa sesuai dengan perannya masing-masing.
“Alhamdulillah, PKB punya dua menteri di kabinet yang kerjanya memperjuangkan kaum Mustadafiin, kaum yang lemah. Saya di Kemeneg PDT yang focus kerjanya mengentaskan kesejahteraan di kawasan daerah tertinggal dan Mas Imin Menteri di Menakertrans yang focus kerjanya mengurangi angka pengangguran dan terntunya juga berperan penting dalam meningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Ini perlu didukung dan mohon doanya para Kiai dan Habaib.” Ungkap Helmy.
Meski terik panas, sedari awal acara maulid sekaligus peringatan Haul (alm.) KH Dimyati ke 39 berjalan sangat khidmat hingga ditutup dengan doa oleh KH Muclas Dimyati.
diadaptasi dari : http://www.dpp-pkb.or.id
Langganan:
Postingan (Atom)