Minggu, 08 Januari 2012

Lho, Masjid Gedongan belum Sempurnakan Arah Kiblat


(MagarsariPost) - Juma’at (06/01) minggu pertama awal tahun 2012 ini saya niatkan untuk pulang ke Gedongan, silaturrahmi dengan keluarga yang masih tersisa di kampung halaman. Kegiatan ini bagian dari rutinitas bulanan saya berkunjung ke sedulur tua (kakak, mamang, dan uwak) yang biasanya dilakukan saban Juma’at Kliwon. Namun berhubung ada kesibukan yang ‘gak bisa ditunda, pada kliwonan dua pekan silam saya ‘gak bisa mudik, sebagai gantinya adalah kunjungan Juma’at minggu pertama awal tahun 2012 kali ini.

Selain keperluan silaturrahmi dengan sedulur yang masih hidup, dalam setiap kunjungan kliwonan ke Gedongan saya niatkan untuk berziarah ke makam Abah dan Bibi di areal Maqbaroh Gedongan. Juga sesekali bila ‘gak mepet dengan waktu Juma’atan, setelah berziarah --bersama anak dan istri-- saya sempatkan diri sowan ke ngarsa ndalemipun Kyai Abu (KH. Abu Bakar Sofyan) ber-tabarrukan.


Kali ini saya datang agak siang, kira-kira jam setengah sebelasan. Maklum, si “Pitung” kuda besiku memang maunya nyantai kalo diajak pergi jalan-jalan. Jadi setibanya di rumah, saya langsung bergegas menuju maqbaroh, pulangnya saya langsung berkemas bersih diri bersiap tuk pergi Juma’atan ke Masjid Gedongan. Tepat setelah adzan dzuhur berkumandang, saya sudah siap berangkat (bismillahi tawakkalu ‘alallah....).


Masuk ke dalam areal masjid, saya langsung berbaur dengan puluhan jamaah yang sedang khusuk masykuk berdzikir dan bermunajat, sebagian lainnya ada yang sedang melaksanakan shalat sunnat. Jarum pendek jam dinding yang terpasang di sebelah kanan dan kiri mihrab saat itu sama-sama menunjuk ke angka 12, dan jarum panjangnya bergeser di angka 2. Setelah menemukan lokasi yang tepat --di sela-sela shaf kosong yang masih belum teratur-- saya bertakbiratul-ihram melaksanakan 2 rakaat (shalat sunnat) tahiyyatul masjid, disusul kemudian 2 rakaat lagi qabliyah Juma’at, selanjutnya saya ikut menenggelamkan diri dalam dzikir dan munajat di tengah suasana yang terasa begitu sakral.


Dalam keheningan syahdu, naluri kemusafiranku reflek mengamati sekitar; lirik pandangku tertuju ke arah jamaah yang ada di samping kiri-kanan dan di depan, juga pada posisi permadani yang di atasnya saya sedang bersimpuh saat ini. Sejenak saya tertegun dengan posisi permadani empuk yang digelar mepet dengan posisi dinding bagian depan; tanpa ada tanda shaf, makmum akan berbaris sejajar menyesuaikan dengan posisi digelarnya permadani, tentunya. Bila demikian, sepertinya masjid Gedongan ini belum melaksanakan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyempurnakan arah kiblat dari barat ke barat laut. Lho, kok?!


Sebagaimana umumnya; permadani, kambal, atau karpet di masjid-masjid atau musholla, selain fungsi utamanya untuk alas lantai, dapat juga dijadikan sebagai sajadah yang juga dapat berfungsi sebagai penunjuk arah kiblat makmum dalam berjamaah. Artinya, para makmum yakin bahwa shalatnya telah “mustaqbilal-qiblat” dengan ia berbaris lurus mengikuti posisi digelarnya alas lantai tadi.


Seingat saya, masjid Gedongan ini --semenjak direhab awal tahun 1980an hingga sekarang saat saya akan melaksanakan shalat Juma’at-- jihat kiblatnya belum pernah berubah, menghadap sejajar bangunan masjid (karpet mepet ke tembok).



Berita Okezone Rabu (14/07/2010) judul : “MUI Fatwakan Arah Kiblat ke Barat Laut”

JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia atau MUI mengeluarkan fatwa mengenai arah kiblat. Ini dilakukan sebagai salah satu syarat sah salat bagi umat Islam. Atas fatwa tersebut, MUI mengimbau semua pihak mengikuti posisi tersebut.


MUI mengimbau kepada pengurus masjid atau musala, bagi yang kiblatnya tidak tepat perlu ditata ulang saf-nya namun tidak perlu membongkar bangunannya”, kata Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, AM. Asrorun Niam.

Ini diungkapkan Asrorus kepada wartawan di Gedung MUI, Jalan Tugu Proklamasi, Jakarta, Selasa (14/7/2010).


Dia menjelaskan, alasan penetapan posisi arah kiblat ini agar salat umat Islam tidak jauh dari kabah. “Karena posisi Indonesia ada di sebelah timur sedikit ke selatan, maka arah kiblat menghadap barat laut” tegasnya.
Posisi ini, lanjutnya, dipastikan akan berbeda disesuaikan dengan posisi dari orang tersebut tinggal. “Contohnya, arah kiblat di orang di Cirebon akan sedikit berbeda kemiringannya dengan orang yang berada di Kalimantan” paparnya.


Memastikan Arah Qiblat Kita


Untuk mendapatkan keyakinan dan kemantapan amal ibadah dengan ainul yaqin atau paling tidak mendekatinya atau bahkan sampai pada haqqul yaqin, kita perlu berusaha agar arah qiblat yang kita pergunakan mendekati kepada arah yang persis menghadap ke Baitullah. Jika arah tersebut telah ditemukan berdasarkan ijtihad para ulama (MUI) dikuatkan dengan hasil riset ilmu pengetahuan misalnya, maka kita wajib mempergunakan arah tersebut selama belum memperoleh hasil yang lebih teliti lagi.


Banyak sistem penentuan arah qiblat yang dapat dikatagorikan akurat, seperti menentukan azimuth qiblat dengan alat scientific calculator atau dengan alat teknologi yang lebih canggih semacam theodolite dan GPS (global position sistem). Atau bisa juga dengan cara tradisional, yakni melihat bayang-bayang matahari pada waktu tertentu (rashdul qiblat) setelah mengetahui data lintang dan bujur tempat serta mengetahui lintang dan bujur ka’bah (dalam lampiran almanak tahun 2011 yang diterbitkan oleh Perc. Rizquna, Kendal, Karangan Syeh Misbahchul Munir Al-Falakiy [*], metode rashdul qiblat dapat dilakukan pada tanggal, bulan, dan jam-jam tertentu setiap bulan minggu pertama penanggalan masehi. Caranya bikinlah semacam palgul bola, ujungnya ke utara dan selatan, lalu tengah gantungkanlah seutas kabel yang diberi bandul, maka bayangan tadi menuju ke arah ka’bah, pen.).


Bagaimana dengan kompas? Kompas yang selama ini beredar di masyarakat kiranya memang dapat digunakan untuk menentukan arah qiblat namun masih sebatas ancar-ancar yang masih perlu dicek kebenarannya. Karena berbagai model kompas termasuk kompas qiblat masih mempunyai kesalahan yang bervariasi sesuai dengan kondisi tempat (magnetic variation). Apalagi pada daerah yang banyak baja atau besinya, akan mengganggu penunjukkan utara-selatan magnet.


Gedongan yang notabene-nya adalah sebuah pondok pesantren (oase ilmu) mestinya menerapkan salah satu proses penentuan arah kiblat tersebut, baik dilakukan secara modern ataupun dengan cara tradisional. Selain sebagai 'sebuah pembelajaran' bagi para santri yang menimba ilmu di dalamnya, Gedongan --Insya Allah hingga kini-- masih menjadi kiblat (rujukan) bagi desa-desa lain di sekitarnya, atau bagi para alumni santri yang tersebar di penjuru nusantara. Wallahul muwafiq.... (ASF).



[*]
Syeh Misbahchul Munir Al-Falakiy, beliau adalah Pendiri, Pimpinan, dan Pengajar Pondok Pesantren “Markazul Falakiyah”; Lajnah Falakiyah PBNU; dan Guru Besar Ilmu Falak tingkat internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar