Jumat, 01 Mei 2009

Yang Kuingat dari "Gedongan"

GEDONGAN siapa yang tidak kenal kata ini?. paling tidak setiap orang pernah mendengarnya walau cuma sekali (dalam seumur hidup).

Di era tahun 80-an kata yang juga menjadi istilah ini sangat populer di masyarakat, biasanya kata ini digunakan untuk menjuluki golongan elit yang berduit serta kaum terpandang (dari segi materi). Ketika itu –bahkan sampai saat ini pun-- bila mendengar istilah "orang gedongan" atau "anak gedongan" pasti imaji kita akan membayangkan ...... orang kota, parlente, yang tinggal di rumah gedong, dengan kemewahan yang dimilikinya; kendaraan pribadi, pakaian mentereng, perhiasan yang serba keminclong, aneka hidangan makanan penuh gizi, plus memiliki profesi atau status sosial (terpandang). Kalau dikondisikan untuk keadaan sekarang, mungkin yang cocok menyandang label "orang /anak gedongan" adalah para pesohor negeri atau lebih beken dikenal dengan istilah 'selebritis'.

Secara etimologi, istilah "gedongan" berasal dari kata dasar "gedong" yang mendapat imbuhan –an. Dalam KBBI Daring 'gedong' diartikan sebagai 'gedung' sedangkan imbuhan –an berfungsi sebagai kata sandang atau kata sifat. Orang Gedongan berarti 'orang yang manggon di Gedongan atau orang yang mendiami rumah gedong (gedung), gedung sendiri memiliki arti 'rumah tembok yang berukuran besar'.

Singkat kata, mengulas istilah 'gedongan' tidak lepas dari membicarakan keserbamewahan dan kemapanan ('tajir' bahasa gaulnya, pen.), sebab apapun 'kata'-nya, bila dimajemukkan dengan istilah gedongan, akan memiliki makna wahh!!, sebut saja contohnya : rumah gedongan!, mobil gedongan!, baju gedongan!, makanan gedongan!, dan lain-lain, wah!. ...... wah! ...... waaaahh!!. (gedeg-gedek kepala)

Namun tidak demikian jadinya bila istilah 'Gedongan' (dengan G kapital, pen.) disandangkan pada sebuah 'nama'. Dalam hal ini, Gedongan yang dimaksud adalah nama sebuah kampung yang berlokasi di wilayah timur Cirebon (WTC) Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Desa Ender Kecamatan Astanajapura (setelah ada pemekaran kini masuk dalam wilayah Kecamatan Pangenan).

Sebagai sebuah kampung (jlipung) 'Gedongan' jauh dari hingar-bingar kehidupan kota, jauh dari keramaian pasar dan supermarket, bahkan jauh dari deru mobil jalan raya, karena letaknya berada di pelosok terpencil. Hal ini berbalik 180 derajat dengan istilah 'gedongan' yang telah penulis ulas di atas.

Kampung Gedongan di era tahun 1980-an dihuni oleh sekira 500-an kepala keluarga. Mayoritas penghuninya berprofesi sebagai petani penggarap sawah dengan dua jenis tanaman, yakni padi dan palawija. Tanaman padi dikelola hanya pada musim rendeng (penghujan) dengan mengandalkan perairan tadah hujan, sistem irigasi yang ada tidak mencapai persawahan blok Gedongan, sehingga hasil panen padi hanya bisa diperoleh sekali dalam satu tahun. Setelah itu, lahan dikelola kembali, dibulud untuk ditanami palawija. Jenis tanaman palawija yang cocok berupa umbi-umbian (boled, capu), kacang-kacangan, (kacang ijo, kacang kedele dan kacang lanjaran), encung, bonteng suri, dan jagung.

Di musim ketiga (kemarau), ladang sawah yang tidak produktif milik petani biasanya disewakan kepada pihak Pabrik Gula Karangsembung atau Sindanglaut untuk dikelola menjadi perkebunan tebu. Karena sistem pengairannya cukup memadai, tanaman tebu dapat tumbuh subur di sini. Area perkebunan yang luas menghampar ini, bila sudah mencapai 4 hingga 5 bulan setelah masa tanam, seakan seperti lautan yang menenggelamkan kampung Gedongan dan kampung-kampung yang ada di sekitarnya, karena lebat dan tingginya tanaman.

Masih di musim ketiga, untuk mengisi kekosongan, aktivitas kerja sebagian warga beralih menjadi pembuat bata merah. Ini merupakan satu-satunya kegiatan yang tergolong industri (padat karya) di blok Gedongan.

Produksi bata merah di Gedongan memanfaatkan areal kosong di pinggir Kali Pembatan, bahan baku yang digunakan adalah ladon (lempung putih) yang memang banyak terdapat di tepian kali tersebut. Proses kerjanya cukup memakan waktu lama; ladon kering yang sudah dipilih dijur dengan air kali hingga larut menjadi endut (lumpur), endut ini kemudian dicampur dengan dedek wadag (sekam padi) pada sebuah jeboran (kubangan tanah berbentuk persegi panjang 2x1 meter atau lebih dengan kedalaman mencapai dada orang dewasa) --makin besar jeboran, tentunya akan semakin banyak kandungan endut yang dihasilkan.-- Selanjutnya, masih di dalam jeboran, endut yang sudah menjadi adadon diinapkan satu malam untuk mengurangi kadar air, kemudian besok paginya dilakukan pencetakan.

Alat cetak bata merah terbuat dari lempeng kayu atau papan berbentuk kotak sepatu berukuran 12x22 cm dengan tinggi 3cm, biasanya dibuat rangkap dua gandeng. Bakal bata dicetak di atas hamparan tanah lapang yang datar, dalam sekali cetak para perajin bisa menghasilkan 500 hingga 700an bakal bata (bata mentah), tergantung seberapa banyak endut dan seberapa luas lahan cetaknya. Bakal bata yang sudah dicetak ini dijemur di bawah terik matahari hingga betul-betul kering, kemudian bakal bata kering disisiki dan ditap (disusun rapih) dalam bedeng yang sudah disiapkan. Industri bata merah akan berakhir (uwisan) dengan sendirinya saat pergantian dari musim ketiga ke musim rendeng. Sebelum saat itu tiba, para perajin harus sudah ngobong bata bila tidak ingin bakal batanya hancur, lebur kembali menjadi tanah diterjang hujan dan banjir.

Aktivitas lain warga Gedongan adalah pedagang warungan, namun ini dapat dihitung dengan lima jari saja. Terdapat beberapa lapak atau warung di Gedongan yang menjual kebutuhan sembako dan kebutuhan rumah tangga. Barang dagangan diperoleh dengan kulakan tiga sampai empat kali dalam seminggu di Pasar Tradisional Gebang yang jaraknya mencapai 7 km. Warung terbesar di Gedongan adalah warung milik Kaji Mae-Kaji Gudi (almarhum), selebihnya hanya warung-warung penyanggah dan pelengkap, yang biasanya mulai subuh hingga siang hari menjajakan bubur sayur serta jajanan ringan seperti bakwan, pia-pia, jalabia, asmun, cempora, dan lain-lain. Selain untuk memenuhi kebutuhan warga Gedongan dan santri yang tinggal di pondokan, warung-warung tersebut juga dapat menyanggah kebutuhan warga blok tetangga luar Gedongan, seperti : Kubangbango dan Ender Rakit.

Dalam catatan penulis, saat itu di Gedongan belum ada listrik, belum ada yang memiliki televisi di rumahnya, radio (transistor) pun masih orang-orang tertentu saja yang punya, karena selain memang tidak terjangkau harganya untuk dibeli, ada fatwa kyai yang mengharamkan warga Gedongan mendengarkan radio, apalagi menonton tivi. Kendaraan sebagai alat angkut yang ada hanya pit onthel dan pit jengki, itu juga belum banyak yang punya. Satu-satunya kendaraan bermotor adalah Vespa milik Man Ojang --Pegawai KUA-- yang kalau melintas di Gili Tengah, segerombolan bocah menciumi jejak rodanya, mengelus-elus tapak-nya, mengendus asap yang keluar dan corong knalpot hingga lenyap menguap.

Bila ada mobil yang melintasi Gili Tengah, giliran para bocah yang lebih besar berhamburan keluar dari dalam rumah, mengejar mobil yang memang berjalan lambat tersebut dan menggandul di belakangnya. Ini menjadi suatu hiburan yang mengasyikkan bagi mereka, dan merupakan pengalaman baru karena bisa melihat dan naik mobil walau cuma sekelebat. Sambil berjingkrak dan bersorak-sorai, mereka kegirangan, bergelayutan di bemper belakang mobil, tidak peduli orang tuanya yang berdiri di depan pintu mencak-mencak grisiyen karena khawatir anaknya akan jatuh dan terlindas mobil. Bagi para bocah, yang penting senang, karena tidak mesti dalam sebulan akan datang mobil lagi. Biasanya mereka akan menyudahi perjalanan singkat ini sampai Lor Desa, mereka akan turun sendiri-sendiri dengan meraih kepuasan tentunya. Suasana suka 'menggandul mobil' seperti ini tidak akan mereka temukan di musim rendeng, sebab para pengendara roda empat segan masuk kampung Gedongan karena khawatir mobilnya akan kepater di tengah jalanan becek berlumpur.

Itulah sepenggal potret kehidupan orang Gedongan yang hidup dengan kesahajaan dalam ketiadaan. Kendati demikian warganya hidup rukun, walau serba kekurangan namun tidak ngresula karena serba tidak ada; tidak ada rumah gedong dan tidak ada kemewahan di sana, tidak ada pakaian mentereng serta perhiasan yang serba keminclong di rak dan laci lemari mereka, juga tidak ada aneka hidangan istimewa yang menyuguhi makan mereka, yang ada hanya rasa qona'ah, nrima apa yang telah dianugerahkan Gusti Allah kelawan ikhlas.


**********

Deskripsi tentang Gedongan ini ditulis berdasarkan memori penulis di awal tahun 1980-an ketika penulis baru menginjak usia 5 tahun, mohon maaf bila banyak ditemukan kesalahan, Nyuwun ngapuntene ingkang kathah, sanes ngelancangi.

2 komentar:

  1. maaf abinya azra lebih banyak kenal ya tentang pest.Gedongan. padahal saya juga orang Gedongan tapi Profilnya ga bisa dikenali ya. bisa diperjelas ID nya. makasih

    BalasHapus
  2. Kesuwun sampun gabung. Lebih jelas lagi profile Tukang Racik, Jadi Teman di Facebook aja ...

    BalasHapus