Sabtu, 25 April 2009

Gedongan bukan Gadungan

GEDONGAN adalah kampung tertinggal secara pendidikan maupun ekonomi. Dari segi pendidikan, hampir separuh kaum tuanya buta aksara latin. Mereka tidak mementingkan diri untuk belajar dan menguasai baca tulis huruf latin. Baginya belajar yang wajib adalah belajar agama, cukuplah hidup ini apabila bisa sembayang (mendirikan shalat), bisa ngaji (membaca Al-Qur'an) dan mengerti syariat Islam (yang terkandung dalam kitab fiqh). Dalam praktek ibadah amaliyah masyarakat Gedongan menyandarkan pada taqlid buta. Segala sesuatunya "sepajare Kyai", mengingat "Al-'Ulamaa'u Warotsatul Anbiyaa...... " yakni "dawuhe Kyai meniko dawuhe nabi" Walhasil petuah dan tindak tanduk 'Sang Kyai' (meskipun salah karena Kyai tidak ma'sum) harus ditaati.

Dari segi ekonomi, hampir 90% warga Gedongan hidup dalam kategori keluarga pra sejahtera --bila dilihat dari kondisi rumahnya yang berupa bangunan semi permanen, tembok geribik dengan lantai menyatu dengan tanah-- Makan dengan lauk apa adanya, variasi antara sayur bening, botok oncom, ikan asin (iwak pirik), dan cowel kangkung, namun dapat menjangkau tiga kali dalam sehari. Bagi mereka, hidup betul-betul dilakoni sebagai sebuah jembatan menuju alam akhirat. Karenanya, mereka tidak muluk-muluk untuk memiliki ini dan menguasai itu, tidak ambisius untuk mendapat kedudukan, asal pawon bisa ngebul hari ini, mereka sudah sangat nerima. Esok hari atau lusa biarlah dihadapi nanti, asalkan tetap berihtiar pasti akan ada jalan keluar. Toh, harta benda yang dipunyai di dunia ini sekarang tidaklah akan dibawa sampai mati nantinya, materi takkan berarti apa-apa bagi si empunya ketika sang jasad sudah terbujur kaku dan tertanam di dalam liang lihat.

Begitulah Gedongan, biarpun hidup dalam keminiman ekonomi, nyatanya tidak ada warganya yang sampai menderita kelaparan. Tidak ada sejarahnya --karena sebab miskinnya-- penduduk Gedongan harus menjual harga diri menjadi peminta-minta, mengemis menyambangi rumah dari pintu ke pintu atau menadahkan tangan di pasar-pasar atau trotoar jalan.


Apa rahasianya?

Jawabannya adalah, karena warga Gedongan merupakan "tameng para Kyai", warga Gedongan rela menjadi pagar demi melindungi "bunga di dalam taman" (sari), warga Gedongan adalah "Masyarakat Pagar Sari" yang urip lan matine anut sareng kyai.

'Kyai' menurut definisi orang Gedongan adalah para putra dan menantu-putra keturunan KH. Muhammad Said Almaghfurlah (Pendiri Pondok Pesantren Gedongan), hingga cucu-buyut-cicit dan seterusnya. Di luar quorum tersebut tidak diakui sebagai kyai, meskipun dia lebih 'alim. Isteri yang mendampingi sang kyai dipanggil 'Nyai', sedangkan putra-putrinya dipanggil 'Kang' (Kak). Walaupun usianya masih relatif muda, atau bahkan masih kecil sekalipun, para putra atau putri kyai sudah mendapat embel-embel 'kang' di depan nama panggilannya. Embel-embel ini akan memudar dengan sendirinya berganti menjadi gelar "kyai" sejalan dengan kematangan ilmu diniyah dan kearifan tindakan sang putra kyai tersebut.

Ada banyak Kyai di Gedongan, sehingga banyak dicari oleh para penuntut ilmu dari luar Gedongan. Mereka berbondong-bondong sengaja mendatangi Gedongan untuk bhkti menjadi santri, mengikut salah satu kyai, guna memperdalam ilmu agama Islam, seperti : Al-Qur'an dan Hadits, Tafsir, Fiqh, Ushul-Fiqh, Tarikh, Akhlaq, Nahwu, Shorof, hingga ilmu kesaktian. Keberadaan santri ini mewarnai Gedongan bukan saja aktivitas kesantriannya, tapi juga membawa "berkah" bagi warga Gedongan sebagai 'magarsari'. Dengan kata lain, kesahajaan warga Gedongan dan kelestarinya sedikit banyak dipengaruhi oleh karena keberadaan santri di tengah-tengah kampungnya, dan Insya Allah mendapat Ridha-Nya. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi saw yang artinya : “Sesungguhnya malaikat merendahkan sayapnya bagi penuntut ilmu dan ridho dengan apa yang dikerjakannya”. (al-hadits).

Oleh karenanya, di balik keserbakekurangan yang disandangnya, Gedongan yang kampung jlipung ini masih memiliki nilai lebih secara spiritual bila dibandingkan dengan kampung-kampung lainnya. Gedongan merupakan blok 'pesantren', yang menjadi kampungnya para santri, Gedongan dapat menjadi laboratorium alam sebagai pusat kajian agama Islam, Gedongan sudah diakui telah memberikan sumbang jasa yang tidak sedikit dalam perkembangan keilmudiniyahan di Indonesia, sehingganya hampir rata-rata pesantren salafiyah yang ada di pulau Jawa memiliki kedekatan historis dengan Pesantren ini.

Dengan kelebihan-kelebihan tersebut di atas, blok Gedongan secara politis menjadi diperhitungkan (oleh kalangan pemerintahan ataupun organisasi sosial politik di wilayah Kabupaten Cirebon), Gedongan menjadi lebih dikenal dan masyhur sebagai gudangnya 'kaum beriman' (kauman). Sehingga dengan sendirinya kata Gedongan dimaknai sebagai "GEDONGnya 'elmu", sumbernya ilmu diniyah, yang menjadi tujuan para pendatang santri untuk nimba kaweruh. Bukan lagi Gedongan sebagai kaum duitan, bukan juga Gedongan sebagai gedhe namun dongo- an. Tapi Gedongan yang didukung oleh tiga elemen warga kauman; Kyai, Santri, dan Magarsari, yang senantiasa ber-muwajjahah, bertaqarrub ilallah, memanjatkan Puji-pujian dan do'a demi kemaslahatan ummat, bangsa dan negara, pantaslah bila Gedongan juga dimaknai sebagai GEdhe panDONGANe, karena Gedongan bukan Gadungan.... Allahumma Amein ...... (ASF)


**********

Deskripsi tentang Gedongan ditulis berdasarkan memori penulis di awal tahun 1980-an ketika penulis baru menginjak usia 5 tahun, mohon maaf bila banyak ditemukan kesalahan, Nyuwun ngapuntene ingkang kathah, sanes ngelancangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar