Minggu, 19 April 2009

Sintren, Kesenian Pesisir yang Nyaris Terlupakan


Kehidupan rakyat pesisiran selalu memiliki tradisi yang kuat dan mengakar. Pada hakikatnya tradisi tersebut bermula dari keyakinan rakyat setempat terhadap nilai-nilai luhur nenek moyang, atau bahkan bisa jadi bermula dari kebiasaan atau permainan rakyat biasa yang kemudian menjadi tradisi yang luhur.

Mungkin orang-orang yang dulu hidup di wilayah pesisiran tidak akan mengira kalau tradisi tersebut hingga kini menjadi makhluk langka bernama kebudayaan, yang banyak dicari orang untuk sekadar dijadikan objek penelitian dan maksud-maksud tertentu lainnya yang tentu saja akan beraneka ragam.

Salah satu tradisi lama rakyat Cirebon, adalah Sintren. Kesenian ini kini menjadi sebuah pertunjukan langka. Sintren dalam perkembangannya kini paling-paling hanya dapat dinikmati setiap tahun sekali pada upacara-upacara kelautan selain nadran, atau pada hajatan-hajatan orang gedean.

Berdasarkan keterangan dari berbagai sumber kalangan seniman tradisi Cirebon, Sintren mulai dikenal pada awal tahun 1940-an. Nama sintren sendiri tidak jelas berasal dari mana, tetapi konon sintren adalah nama penari yang masih gadis yang menjadi bintang dalam pertunjukan ini.

Menurut Ny. Juju, seorang pimpinan Grup Sintren Sinar Harapan Cirebon, asal-mula lahirnya sintren adalah kebiasaan kaum ibu dan putra-putrinya yang tengah menunggu suami/ayah mereka pulang dari mencari ikan di laut. ”Ketimbang sore-sore tidur, kaum nelayan yang ndak pergi nangkap ikan, ya mendingan bikin permainan yang menarik,” ujar Juju.

Permainan sintren itu terus dilakukan hampir tiap sore dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka, maka lama-kelamaan Sintren berubah menjadi sebuah permainan sakral menunggu para nelayan pulang. Hingga kini malah Sintren menjadi sebuah warisan budaya yang luhur yang perlu dilestarikan. Pada perkembangan selanjutnya, sintren dimainkan oleh para nelayan keliling kampung untuk manggung di mana saja, dan ternyata dari hasil keliling tersebut mereka mendapatkan uang saweran yang cukup lumayan. Dari semula hanya untuk menambah uang dapur, Sintren menjadi objek mencari nafkah hidup


Sintren dan Magis

Kesenian Sintren (akhirnya bukan lagi permainan), terdiri dari para juru kawih/sinden yang diiringi dengan beberapa gamelan seperti buyung, sebuah alat musik pukul yang menyerupai gentong terbuat dari tanah liat, rebana, dan waditra lainnya seperti: kendang, gong, dan kecrek.

Sebelum dimulai, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang dimaksudkan untuk mengundang penonton. Syairnya begini:

Tambak tambak pawon
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul.


Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu penonton sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair berikutnya:

Kembang trate
Dituku disebrang kana
Kartini dirante
Kang rante aran mang rana


Di tengah-tengah kawih di atas, muncullah Sintren yang masih muda belia. Konon menurut Ny. Juju, seorang sintren haruslah seorang gadis, kalau Sintren dimainkan oleh perempuan yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang pas, dalam hal ini Ny. Juju enggan lebih jauh menjelaskan kurang pas yang dimaksud semacam apa. ”Pokoknya harus yang masih perawan,” katanya menegaskan.

Kemudian sintren diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki, sehingga secara syariat, tidak mungkin ia dapat melepaskan ikatan tersebut dalam waktu cepat. Lalu Sintren dimasukkan ke dalam sebuah carangan (kurungan) yang ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan terus menggema, dua orang yang disebut sebagai pawang tak henti-hentinya membaca doa dengan asap kemenyan mengepul. Juru kawih terus berulang-ulang nembang:

Gulung gulung kasa
Ana sintren masih turu
Wong nontone buru-buru
Ana sintren masih baru


Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih dalam keadaan tidur. Namun begitu kurungan dibuka, sang sintren sudah berganti dengan pakaian yang serba bagus layaknya pakaian yang biasa digunakan untuk menari topeng, ditambah lagi sang sintren memakai kaca mata hitam.

Sintren kemudian menari secara monoton, para penonton yang berdesak-desakan mulai melempari Sintren dengan uang logam, dan begitu uang logam mengenai tubuhnya, maka sintren akan jatuh pingsan. Sintren akan sadar kembali dan menari setelah diberi jampi-jampi oleh pawang.

Secara monoton sintren terus menari dan penonton pun berusaha melempar dengan uang logam dengan harapan sintren akan pingsan. Di sinilah salah satu inti seni Sintren ”Ndak tahu ya, pokoknya kalau ada yang ngelempar dengan uang logam dan kena tubuh Sintren pasti pingsan, sudah dari sono-nya sih pak, mengkonon yang mengkonon,” ujar seorang pawang, Mamang Rana pada penulis.

Ketika hal ini ditanyakan pada sintrennya, Kartini (20), mengaku tidak sadarkan diri apa yang ia perbuat di atas panggung, meskipun sesekali terasa juga tubuhnya ada yang melempar dengan benda kecil.

Misteri ini hingga kini belum terungkap, apakah betul seorang sintren berada di bawah alam sadarnya atau hanya sekedar untuk lebih optimal dalam pertunjukan yang jarang tersebut. Seorang mantan sintren yang enggan disebut namanya mengatakan, ia pernah jadi sintren dan benar-benar sadar apa yang dia lakukan di atas panggung, namun lantaran tuntutan pertunjukan maka adegan pingsan harus ia lakukan.

Kesenian Sintren merupakan warisan tradisi rakyat pesisiran yang harus dipelihara, mengingat nilai-nilai budaya yang kuat di dalamnya, terlepas dari apakah pengaruh majis ada di dalamnya atau tidak. Sintren menambah daftar panjang kekayaan khazanah budaya sebagai warisan tradisi nenek moyang kita.***

Copyright © Sinar Harapan 2003
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0306/24/hib02.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar