oleh : Hamzah Sahal *)
Dalam sebuah hajatan haulan (peringatan hari kematian) almaghfurlah KH. Ali Ma’shum di Pondok Pesantren Krapyak Jogjakarta, almaghfurlah KH. Fuad Hasyim (Pengasuh Pondok Pesantren Buntet Cirebon) menjelaskan pentingnya menyelenggarakan haulan seorang tokoh. ”Ada tiga alasan kenapa disunnahkan menyelenggarakan haulan seorang tokoh masyarakat” kata Kang Fuad –demikian KH Fuad Hasyim biasa dipanggil.
Pertama, pentingnya arti mengingat kematian. Kita harus selalu ingat bahwa Allah SWT siap mengambil nyawa kita tanpa perlu permisi. Alasan kedua, kita butuh mengenang jasa-jasa orang saleh seperti kiai atau ulama. Kenapa kebutuhan? Jawabnya, agar kita bisa meniru, menghidupkan lagi, menyebarkan, amal-amal saleh yang telah dilakukan olehnya. Dengan kata lain, haulan adalah sebuah upaya melanjutkan sunnah hasanah (tradisi baik) yang telah dilakukan almarhum. Kalau ini bisa dilakukan dengan baik, maka pahala bukan hanya kita yang mendapatkan, tapi juga bagi almarhum.
Alasan ketiga, kata Kang Fuad, tak kalah pentingnya adalah, mendoakan almarhum. Orang Jawa biasa menyebutnya dengan kirim dungo, mengirimkan do'a. Ritual kirim dungo yang dilakukan secara berjama’ah tidak hanya berdimensi transendental (Tuhan), tapi juga sosial. Haulan merupakan forum perjumpaan dan solidaritas sosial (silaturahim). Sebab, dengan berkumpul atau berjama’ah, jaring-jaring sosial akan semakin kukuh.
Saya masih ingat, bagaimana gaya almarhum Kang Fuad menjelaskan makna dan fungsi haulan dengan panjang lebar, namun tetap ringan, mudah dipahami dan menghibur. Kang Fuad memang dikenal "singa podium". Ia bukan saja alim ilmu agama dan sempurna menguasi retorika, tapi juga bersuara merdu, sehingga ia selalu menyelipkan dua atau tiga lagu berbahasa Arab atau Jawa dalam tiap cermahnya, tentu saja shalawat kepada Nabi SAW tak ketinggalan. “Hebatnya”, Kang Fuad tidak selalu menyelipkan dalil-dalil agama (nash Al-Qur’an, hadits, serta pendapat para ulama). Kenapa “hebat”? Karena ia yakin bahwa “tindakan agama” tidak musti disandarkan pada “dalil-dalil agama” (tekstual/nash, Al-Quran dan hadits). Dan memang, ritual haulan tidak ada dalil agamanya, secara khusus dan tersurat.
“Kenapa bukan muludan (hari kelahiran) yang diperingati?” tanya Kang Fuad kepada jama’ah. Lalu Kang Fuad menjawab pertanyaannya sendiri dengan fasih dan lancar. “Inilah perbedaan antara kita sebagai manusia biasa dengan Nabi Muhammad sebagai rasul Tuhan. Peringatan muludan hanya layak kita rayakan untuk Baginda Nabi Muhammad SAW, karena kelahirannya membawa cahaya dan kabar gembira, juga peringatan. Kehadirannya dipastikan akan memberi jalan untuk mendapatkan hidayah Tuhan, mengejawantahkan akhlak mulia dan beradaban, mewujudkan kemaslahatan bagi semua, serta bergerak untuk keadilan sosial di muka bumi ini. Semuanya pasti akan dilakukan oleh Muhammad sebagai sang rasul. Sementara kita, hanya manusia biasa, tidak punya tugas seberat seperti Rasulullah. Peringatan ulang tahun (muludan) Muhammad diselenggarakan untuk mengingatkan akan fungsi kenabiannya”.
“Bagaimana dengan pesta ulang tahun yang sudah membudaya di masyarakat kita?” Kang Fuad bertanya lagi. Lalu ia menjawab sendiri dengan singkat tapi gamblang, “Peringatan ulang tahun atau biasa disingkat dengan "ultah" sebetulnya bukan tradisi kita. Namun, kita tidak bisa menghentikan kebiasaan/kultur (‘adah) yang sudah melekat kuat di masyarakat dengan serta-merta dan semena-mena”.
“Kita, sebagai umat Islam yang toleran dan kreatif musti bisa ‘memasuki’ perayaan ultah supaya tidak melanggar aturan agama. Lebih dari itu, kita wajib menggunakan sarana ultah biar muncul manfaatnya. Biar berisi, tidak hanya tiup lilin dan makan-makan saja”.
Pertanyaan penting dilontarkan lagi sesaat kemudian, “Bagaimana sikap kita kepada orang yang menghukumi bid’ah, baik acara haulan ataupun muludan? kata mereka bid’ah itu sesuatu yang tidak diajarkan agama atau Nabi Muhammad. Semua bid’ah itu sesat. Dan tiap kesesatan adalah dosa”.
Pertanyaan teologis itu hanya dijelaskan saja oleh Kang Fuad, “Kita tidak usah menghiraukan pendapat orang yang belum mengerti itu. Selagi tidak mengganggu, tidak apa-apa, biarkan saja. Tidak perlu dihardik. Pada suatu saat nanti mereka akan mengerti, dan melihat ada manfaat pada ibadah haulan dan muludan itu. Dan mereka akan mengikutinya”
***
Saya teringat kembali isi ceramah KH Fuad Hasyim di atas lantaran bulan-bulan pertama tahun ini melihat perayaan-perayaan muludan (baik kelahiran orang, gerakan sosial tertentu, organisasi, dll.) atau haulan itu marak diselenggarakan di kota-kota, bahkan di komunitas yang dulu getol melontarkan istilah bid’ah dengan tidak bersahabat. Ingatan itu masih terekam dengan baik, karena saya mencatatnya dalam buku harian yang kini bau debu, kumal dan tidak menarik.
Pada bulan Februari, orang-orang Islam di kota telah memperingati hari kelahiran KH. Abdul Karim Amrullah yang keseratus tahun, atau seabad. Profil Buya Hamka –demikian nama populer KH. Abdul Karim Amrullah- diseminarkan, karya-karya dan pemikirannya diulas kembali di media-media masa, manakib-nya diwiridkan di depan massa yang berkumpul di masjid Agung Al-Azhar Jakarta, dll. Semuanya digelar untuk mengenang jasa-jasanya yang memang besar dan bermanfaat bagi generasi sesudahnya.
Bulan berikutnya, Maret, publik juga melihat peringatan 85 tahun Fatmawati. Dengan performence yang lebih “art”, Fatmawati yang istri Bung karno ini dihadirkan kembali lewat pameran lukisan, pakaian, pernak-pernik, semua benda-benda peninggalannya, dll. Tentu juga menyajikan pidato-pidato yang berkenaan dengan “Sang Penjahit” merah-putih.
Hal serupa, peringatan kelahiran, juga digelar untuk mengenang 100 tahun Sutan Takdir Alisahbana (STA). Dan meskipun samar-samar, lewat sebuah artikel, penggemar almarhum Nurkholis Madjid memperingati 1000 hari kematiannya.
Bulan Februari dan Maret yang sudah berlalu ini kita banyak menyaksikan perayaan-perayaan seorang tokoh, tak lupa, di dalamnya ada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, tentu orang Islam yang merayakannya. Di bulan April ada peringatan hari Kartini. Sebad Kebangkitan Nasional juga dirayakan dengan gegap gempita bulan Mei.
Dengan segala bentuk dan caranya, hari peringatan, baik muludan maupun haulan, merupakan fenomena rakyat yang telah memasyarakat selama berabad-abad. Dalam rumusan antropolog Victor Turner, aktivitas haulan ataupun muludan yang reguler diistilahkan dengan momentum “liminal”.
Disebut “liminalitas” karena di dalamnya melibatkan partisipasi komunitas/jama’ah (bukan individu) serta dilaksanakan secara istiqomah pada waktu dan tempat yang telah disepakati bersama, yang tentunya terbuka. Momentum liminalitas ini banyak ditemui pada komunitas masyarakat tradisional di negeri ini. Sekedar menyebutkan contoh, di Aceh ada Hari Raya Megang, Yogyakarta ada Sekaten, di Klaten ada Yaqawiyyu, di Cirebon ada Syawalan dan Muludan, di Lombok ada Mandi Safar, dll., dan tentunya ritual-ritual hari raya agama (Lebaran, Nyepi, Natal, dll.). Momentum liminal ini diyakini memiliki makna yang dalam bagi pelakunya dan akan ikut mengubah perjalanan pada yang lebih baik, orang Jawa menyebutnya Berkah.
Nah, liminalitas haulan dan muludan ini berasal dari imajinasi kolektif bahwa peristiwa tersebut merupakan momentum penting yang diharapkan dapat menyegarkan dan menambah pengalaman kehidupan sosial di hari depan.
Sudah barang tentu, ritual haulan dan muludan mensyaratkan ongkos, baik material ataupun nonmateri. Tapi ongkos itu bukanlah kemubadziran atau kesiasiaan, apalagi bid’ah dhalalah, seperti yang kerap dituduhkan. Ongkos itu dikeluarkan dengan sadar dan ikhlas demi memupuk spiritualitas, menjalin tali solidaritas, dan perjumpaan antar sesama yang lebih manusiawi.
*) Alumni PP. Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta
sumber : http://www.pondokpesantren.net/
[untuk keperluan artikel, sengaja tidak disertakan penulisan tahun]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar