Kamis, 15 April 2010

Memahami Aswaja

Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah dalam pandangan An-Nahdhiyyah

Seorang teman nun jauh di sana (bertemu dan menjadi kenal di fesbuk) pernah mengajukan usulan untuk menyisipkan kata “Aswaja” pada logo grup fesbuker “batur dhewek”. Satu dari sekian usulan-usulan yang diterima sebagai bentuk apresiasi “wong dewek” atas terbentuknya Forum Komunikasi Braya lan sedulur (FKBS) Gedongan – Cirebon. Saya mengira-ngira, mungkin maksud usulan tersebut supaya lebih menonjolkan identitas kesantrian, mengingat grup batur dhewek lahir dan dibidani oleh wong Gedongan yang notabene dapat dikatakan sebagai kaum santri.

Namun maaf --1000 kali-- bukan berarti mengabaikan kalau akhirnya usulan tersebut belum bisa direalisasikan. Menghindari retorika yang hanya sekedar slogan, akan lebih baik bila kita sama-sama memahami lebih dalam kemudian mengamalkan ajarannya.

ASWAJA adalah kependekan dari “Ahlu Sunnah wal Jama’ah”. Dari segi bahasa ahlu berarti “kelurga”, As-Sunnah berarti “cara (jalan) Nabi”, Al- Jama’ah berarti “kelompok yang terorganisir”. Sedangkan secara luas pengertian Aswaja adalah kaum yang mengikuti jalan dan kepercayaan yang dianut oleh Nabi Muhammad Saw serta sahabatnya. Dalam sebuah hadis Nabi, kalimat ini sudah dikenal;

عن عبد الله بن عمرو ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : «ستفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة ، كلها في النار إلا واحدة ما أنا عليها اليوم وأصحابي

Artinya : Dari Abudullah bin Amr, beliau mengatkan, Nabi telah bersabda : "Akan pecah umatku menjadi tiga puluh tiga kelompok, semua akan masuk ke neraka, kecuali satu, apa yang Aku berada di atasnya bersama sahabatku".

Dalam hadis lain, sabahat bertanya kepada Nabi : ”siapa yang selamat?” Nabi menjawab : "ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah”.

Di sisi lain, hadis ini redaksinya sangat banyak, sehingga para ulama menetapkan hadis ini sebagai hadis shahih. Wong NU menjadikan hadis di atas sebagai dasar pengambilan kalimat ”ahlussunnah wal jama’ah”.

Jadi, ajaran Aswaja adalah ajaran Allah SWT yang telah diwahyukan kepada para pengikutnya. Para sahabat sebagai generasi terbaik juga mengamalkan ajaran Aswaja, yang kemdudian diajarkan kembali kepada generasi berikutnya hingga saat ini.

Beberapa pakar ulama’ berkomentar tentang makna ”Aswaja”, secara umum makna Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pembanding Syi’ah, termasuk Mu’tazilah dan kelompok lainnya, sedangkan makna khâshsh-nya, wong NU mengatakan bahwa “Aswaja” adalah kelompok Asy’ariyah (pengikut mazhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari). Al-Maturidiyah adalah sebuah konsep “aqidah” yang selaras dengan al-Asariyah, tidak seperti Mu’tazilah dan Jabariyah. Dalam urusan fikih, Imam Syafii adalah madzhabnya, mereka juga mengakui Madzhab Imam Abu Hanifah, Maliki dan Ibnu Hambal.

Pengertian yang diusung oleh Dr. Ahmad ‘Abd Allah At-Thayyar dan Dr. Mubarak Hasan Husayn dari Universitas Al-Azhar mengatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang mendapat petunjuk Allah Swt, dan mengikuti sunnah Rasul, serta mengamalkan ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah secara praktik dan menggunakannya sebagai manhaj (jalan pikiran) dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Semua kelompok keagamaan juga mengaku pengikut Aswaja, termasuk Arab Saudi. Mereka, orang Saudi (Wahabi), seringkali mengklaim bahwa mereka adalah kelompok yang paling berpegang teguh pada sunnah. Begitu juga, beberapa kelompok, seperti Salafi, Muhammadiyah, Persis, HT (Hizbut Tahrir), serta banyak lagi. Syeh Yusul al-Qodowi mengatakan bahwa yang dimaksud Aswaja adalah ”kelompok yang benar-benar mengikuti sunnah Nabi dan tidak bertengtangan dengan Sunnah”. Adapun keberadaan kelompok-kelompok kegamaan yang berkembang sekarang, perlu dibuktikan sejauhmana mereka berpegang teguh dan mengamalkan sunnah Nabi. Jika kelompok tersebut keluar dari koridor sunnah, maka tidak berhak mengklaim “Aswaja”.

Dalam kontek Wong NU, Aswaja itu meliputi tiga unsur; peratma (akidah), kedua (Syariah), dan ketiga Akhlaq (al-Ihsan). Ketiga unsur itu, merupakan satu kesatuan ajaran yang mencakup semua aspek prinsip keagamaan Islam. Wong NU tidak hanya cukup dengan tiga unsur, urusan suluk (prilaku) tasawwuf berkiblat pada Imam al-Ghozali dan Imam al-Junaidi. Jadi, NU selalu mengedepankan “Tawassut dan I’tidal”, artinya wong NU tidak mendewakan Akal, dan juga tidak meniadakan dalil. Keseimbangan dan tengah adalah ciri khas ajaran Aswaja wong NU.

Maksud tawassut (tenggah-tenggah) adalah suatu sikap yang mempertahankan budaya lama yang masih relevan dan tidak bertentangan dengan syariat, dan menerima budaya baru yang lebih baik. Jadi Wong NU selalu terbuka, tidak apriori terhadap masalah-masalah tertentu yang sedang berkembang.

Jadi, wajar jika sering kita temukan sikap NU yang selalu mengambil jarak terhadap persoalan-pesoalan politik, budaya, dll. Wong NU yang berhalaun Aswaja juga tidak 'galak' (keras) seperti FPI, HTI, dan juga tidak 'lembek' yang tidak berani menyuarakan kebenaran. Seringkali NU dianggab kelompok ahli Bid’ah, syirik, khurafat, bahkan tidak sedikit orang mendengar NU bersikap acuh, bahkan terkesan menghina. Sebaliknya, Wong NU seringkali melihat para pelajar Timur Tengah dengan sinis ”Mereka Wahabi”, sehingga belum ada titik temunya antara Aswaja NU vs Aswaja di luar NU. Setelah berkali-kali dicari titi temunya, tenyata memang tidak bisa ketemu kecuali menjunjung sikap “tasammuh”.

mengutip dari http://new-media.kompasiana.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar