Di bulan suci ini, kaum Muslimin melaksanakan ibadah Puasa Ramadhan dengan menahan lapar serta haus dari berbagai macam makanan dan minuman yang ada di sekelilingnya. Seorang yang berpuasa juga wajib menahan diri dari hawa nafsu yang bisa membatalkan puasa.
Itulah jihad jasmani bagi orang beriman, di samping ada pula jihad rohani, yakni meninggalkan semua bentuk maksiat inderawi (maksiat mata, mulut, tangan, kaki, bahkan hati). Jika tidak, hanya kelaparan dan kehausan yang diperoleh selama berpuasa, tanpa mendapatkan pahala yang sangat agung. Rasulullah SAW bersabda:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ ِصيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ وَالْعَطْشُ .
“Berapa banyak dari orang berpuasa, tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan dahaga”.
Menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, tingkatan puasa diklasifikasi menjagi tiga tingkatan : 1) Puasa awam (umum); 2) Puasa khawwas (khusus); dan 3) Puasa khawwasul-khowas (khususnya khusus).
1. Puasa Awam
Adalah puasanya orang umum, puasa yang dilakukan hanya dengan tujuan untuk menahan lapar dan haus serta menahan nafsu syahwati. Puasa ini dilakukan sekedar mengerti bahwa dirinya saat itu sedang diwajibkan berpuasa namun tidak pernah mengerti, untuk apa puasa itu diwajibkan.
Inilah puasanya orang kebanyakan (pada umumnya), hanya menjalankan kewajiban puasa itu secara syariat saja, hanya sekedar memenuhi kewajiban tanpa tahu hikmah dan rahasia di balik kewajiban tersebut. Namun, meski demikian, asalkan ibadah puasanya dilaksanakan dengan dasar hati yang ikhlas tanpa dicampuri sifat-sifat yang membatalkan pahala puasa, maka tetap akan mendapatkan pahala dari Allah swt. Hanya saja barangkali sulit bisa menggapai “rahasia amal” sebagai buah ibadah yang tersembunyi di balik kewajiban puasa. Rahasia amal itu, menurut istilah para Ulama’ Sufi disebut “khususiyah”, yang dengannya jiwa seorang hamba akan menjadi lebih matang, dewasa dan kharismatik.
2. Puasa Khawwas
Adalah puasanya orang khusus (orang-orang shaleh), yakni puasa dengan menahan seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat dan dosa. Mereka tidak hanya menahan lapar dan haus serta nafsu syahwati saja, namun juga mata, telinga dan pikiran.
Imam Al Ghazali menjelaskan, Puasa pada tingkat ini hasilnya tidak bisa sempurna kecuali dengan membiasakan enam perkara :
Pertama, menahan pandangan dari segala hal yang dicela dan dimakruhkan serta dari tiap-tiap yang membimbangkan dan melalaikan dari mengingat Allah. Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa meninggalkan pandangan karena takut kepada Allah, niscaya Allah menganugerahkan padanya keimanan yang mendatangkan kemanisan dalam hatinya".
Kedua, menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat, berkata keji, dan mengharuskan berdiam diri, menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah serta membaca Alquran. Sebagaimana yang telah ditegaskan Baginda Nabi SAW dari sahabat Anas RA :
خَمْسَةُ أَشْيَاءَ تُحِيْطُ الصَّوْمَ. أَىْ تُبْطِلُ ثَوَابَهُ. اَلْكَذِبُ وَالْغِيْبَةُ وَالنَّمِيْمَةُ وَالْيَمِيْنُ اَلْغَمُوْسُ وَالنَّظْرُ بِشَهْوَةٍ .
“Lima perkara yang dapat membatalkan (pahala) puasa: berkata bohong, membicarakan kejelekan orang lain, mengadu domba, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat”.
Ketiga, menjaga pendengaran dari mendengar kata-kata yang tidak baik, karena tiap-tiap yang haram diucapkan maka haram pula mendengarnya. Rasulullah SAW menjelaskan: "Yang mengumpat dan yang mendengar, berserikat dalam dosa".
Keempat, Menahan seluruh anggota badan dari perbuatan yang makruh dan membatasi perut di saat berbuka dari rezeki yang syubhat. Hal itu harus dilakukan, karena yang dimaksud dengan puasa adalah menahan syahwat dari makanan halal, maka apalah artinya apabila puasa itu dibuka dengan rizki yang haram. Maka orang yang berbuka dengan rizki yang haram sama halnya dengan membangun istana tetapi dengan menghancurkan kota.
Kelima, Berbuka dengan tidak terlalu kenyang meski dengan rizki yang halal, hal itu dilakukan supaya perut tidak terlalu penuh dengan makanan. Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW :
مَا مِنْ وِعَاءٍ أَبْغَضَ إِلَى اللهِ مِنْ بَطْنٍ مُلِئَ مِنَ الْحَلاَلِ
“Tidak ada lagi tempat yang paling tidak disukai oleh Allah selain perut yang selalu kenyang dengan halal”.
Keenam, hatinya senantiasa diliputi perasaan cemas (khauf) dan harap (raja'), karena tidak diketahui apakah puasanya diterima atau tidak oleh Allah. Rasa cemas diperlukan untuk meningkatkan kualitas puasa yang telah dilakukan, sedangkan penuh harap berperanan dalam menumbuhkan optimisme.
Puasa pada tingkat kedua ini banyak dilakukan oleh para ahlu thoriqah, yaitu orang-orang yang telah mengerti tujuan amal ibadah yang sedang dikerjakan. Artinya dengan kewajiban puasa yang sedang dilakukan itu, di samping mereka mengharapkan pahala yang sudah dijanjikan, juga mengharapkan derajat tinggi di sisi Allah, yakni bagaimana mereka dapat mencintai dan dicintai-Nya. Mencintai (‘Asyiq) dalam arti mampu merasakan kenikmatan ibadah dan munajat, hal itu bisa terjadi, karena saat itu mereka merasa sedang dekat dengan yang dicintai. Sedangkan dicintai (Masyuq) artinya ridla kepada segala Ketetapan danTakdir-Nya, itu disebabkan karena yang sedang berkehendak dengan segala ketetapan dan takdir itu adalah Dzat yang mencintainya.
Untuk tujuan yang sangat mulia tersebut, para khawwas itu menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan dengan persiapan prima. Mereka memanfaatkan segala kesempatan hidup untuk dapat meningkatkan mujahadah dan riyadlah di jalan Allah, bahkan terkadang untuk sementara waktu harus meninggalkan segala urusan duniawi. Mereka melaksanakan khalwat (menyepi) di tempat yang sepi dan terpencil, terutama disaat sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan telah tiba. Yang demikian itu mereka lakukan semata-mata karena mereka berharap mendapatkan hasil yang sempurna, karena tanpa usaha yang sempurna apa saja yang dikerjakan manusia hasilnya tidak akan menjadi sempurna.
3. Puasa Khawwas al-khawwas
Ini adalah bagi orang khususnya khusus. Puasanya adalah puasa hati, yaitu bagaimana dengan puasa itu mereka dapat mengendalikan dan menahan perasaan serta kecenderungan hati dari cita-cita duniawi, dan dari selain Allah. Orang yang berpuasa pada tingkatan ini, apabila di dalam puasanya masih sempat berpikir urusan selain Allah, meski ingin masuk surga misalnya, yang demikian itu sudah cukup menjadikan sebab batalnya makna puasa tersebut. Inilah tingkat puasanya para Auliya dan para Anbiya. Puasa pada tingkat ini hakekatnya semata-mata hanya untuk menghadapkan wajah (wijhah) kepada Allah dan memalingkan diri dari selain-Nya.
(ASF/dari banyak sumber)
اللّهمّ انّا نسألك رضاك والجنّة، ونعوذبك من سختك والنّار. آمين
BalasHapus