Jumat, 14 Agustus 2009

Mengenal Unggah-unggahan di Gedongan

Rutinitas Menyambut Datangnya Bulan Suci Ramadhan


SELAIN "Fenomena Banyu Zamzam Nisfu Sya'ban", di Bulan Ruwah ini masih ada rutinitas warga Gedongan yang diadakan pada sepuluh hari menjelang Bulan Suci Ramadhan tiba, yakni tradisi Unggah-unggahan. Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan Sahabat Usamah bin Zaid ra., ia pernah berkata :

Ya Rasulullah : Aku tidak melihat anda berpuasa pada bulan tertentu seperti anda berpuasa pada bulan Sya’ban? Beliau berkata : “Itulah bulan yang dilalaikan manusia, antara Rajab dan Ramadhan, di bulan itulah diangkat amalan-amalan ke Rabb semesta alam, dan aku ingin amalanku diangkat dalam keadaan berpuasa.“ (HR. An-Nasa'i).

Unggah-unggahan artinya “kenaikan” (tingkat/derajat). Warga Gedongan berasumsi bahwa sebagaimana layaknya siswa yang menempuh pendidikan formal di sekolah ataupun madrasah, pada akhir tahun pengajaran ada “masa kenaikan”, begitu pun manusia yang hidup mendiami bumi ini mengalami hal serupa demikian. Kalau unggah-unggahan di sekolah merupakan masa peralihan/migrasi siswa dari kelas yang ia duduki ke kelas yang lebih tinggi lagi, sedangkan unggah-unggahan dalam konteks ini adalah migrasi kualitas amal perbuatan sang hamba di Mata Sang Khaliq. Dimana seluruh amal perbuatan manusia sejak lahir sampai mati senantiasa dicatat oleh dua malaikat Allah, Rakib dan Atid yang setia mendampingi di sebelah kanan dan kiri setiap manusia. Ditegaskan dalam Alqur’an Surat Al-Infithaar Ayat 10-12 :

“padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu); Yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaan itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 82 : 10-12)

Kedua malaikat itulah yang mencatat amal perbuatan manusia selama hidupnya, yang tidak satupun perbuatan atau amal manusia terlewatkan pencatatanya, apakah itu berupa amal kebaikan atau amal buruk. Dalam Surat Qaaf Ayat 17-18 disebutkan :

“(yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk di sebelah kanan dan yang lainnya duduk di sebelah kiri; Tidak suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di sisinya (malaikat) pengawas yang selalu hadir.” (QS. 50 : 17-18)

Dan pada bulan Ruwah inilah catatan amal ibadah (buku rapor) setiap kita selama setahun diangkat dan diganti dengan lembaran yang baru. Oleh karenanya bulan ini juga dikenal dengan istilah 'bulan tutup buku'.

Diselenggarakannya tradisi unggah-unggahan dimaksudkan sebagai upaya membersihkan jiwa dari segala noda yang mengotori rohani. Tradisi ini dimanifestasikan oleh masyarakat Gedongan dengan saling nyuwun ngapura (memohon maaf) dan –bagi sebagian yang mampu-- ngirim (berbagi hantaran hidangan nasi rantan atau nasi ambeng lengkap dengan lauk pauk layaknya sajian berkat) kepada tetangga, sanak saudara, orang-orang sepuh/jompo, ataupun para fuqara dan masakin, yang tujuannya tidak lain merajut amal hasanah sembari mempererat sillaturahmi.

Bukan cuma kepada yang hidup, "sillaturahmi" juga dilakukan kepada mereka yang sudah mati, para orang tua atau sanak saudara yang telah lebih dulu pergi meninggalkan bumi, hal ini dilakukan sebagai bentuk bakti dan penghormatan (ta'dzim) atas jasa yang pernah ditorehkan almarhum semasa hidupnya. Namun tentunya metodenya berbeda, yang dikirim pun tidak sama. Sillaturahmi kepada orang yang sudah mati dilakukan dengan berziarah kubur, membersihkan makam dan mengirim do'a bagi Arwah (jamak dari Ruuh/Ruwah). (Bisa jadi dari sinilah kata "Ruwah" populer sebagai kata lain dari bulan Sya’ban, pen.)


I M T I H A N

Masih dalam rangkaian unggah-unggahan, kesibukan lain yang menjadi rutinitas bulan Ruwah di Gedongan adalah “Imtihan” (lidah orang Gedongan menyebutnya “Intihan”).

Secara harfiah Imtihan berarti "ujian" atau testing. Ujian yang dilakukan oleh para ustadz/ustadzah untuk mengukur kemampuan individu murid-muridnya, seberapa dalam mereka menguasai materi yang pernah diajarkan, baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini lazim dilakukan pada lembaga pendidikan sebagai barometer menentukan keberhasilan atau kegagalan proses pengajaran.

Namun, imtihan di Gedongan bukanlah demikian. Imtihan merupakan ajang unjuk (kemampuan) diri, dimana --pada puncak "Malam Imtihan"-- sang murid berkompetisi menunjukkan kepiawannya di atas panggung podium, tampil sebagai pengisi acara dengan merapal dan menghapal (apal-apalan) beberapa materi pelajaran yang pernah diberikan, diantaranya bacaan surat-surat (pendek) Juz Amma, bacaan do'a-do'a harian, nadzom/syair, shalawatan dan kidung Islami. Kepiawaian ini ditunjukkan oleh para murid di hadapan ratusan khalayak; ustadz/ustadzah, rekan sesama murid, orang tua/wali murid, juga hadirin tamu pengunjung.

Dalam ingatan penulis --yang juga pernah menjadi pesertanya--, di antara bait-bait syair yang ditampilakan antara lain :

"Sifat 20" (Sifat Wajib bagi Allah swt. : Wujud, Qidam, Baqa', ...... dan seterusnya) //

kemudian ada kidung Jawa tentang keesaan Allah berikut ini :

Gusti Allah iku Siji
Ora nana kang madani
Tanpa rama tanpa kanca
Tanpa ibu tanpa putra

Gusti Allah Pengeran kita
Ingkang paring gesang kula

......
dan seterusnya (lupa-lupa ingat) //

yang lain ada kidung tentang ibadah seperti ini :

Eman temen wong gagah
Ora sembayang
2x
Nabi Yusuf luwih
Gagah ya sembayang
2x

Eman temen wong ayu
Ora sembayan
g 2x
Siti Fatimah luwih
Ayu ya sembayang
2x

dan seterusnya //

Juga ada tembang kombinasi Arab-Jawa sebagai berikut :

من خلق الشّمش؟
الله الذى خلق الشّمش

(Sinten ingkang damel serngenge?
Gusti Allah ingkang damel serngenge ......
)

من خلق القمر ؟
الله الذى خلق القمر

(Sinten ingkang damel wulan?
Gusti Allah ingkang damel wulan
......)

من خلق النّجوم؟
الله الذى خلق النّجوم

(Sinten ingkang damel lintang?
Gusti Allah ingkang damel lintang ......
)

من خلق الأرض؟
الله الذى خلق الأرض

(Sinten ingkang damel bumi?
Gusti Allah ingkang damel bumi ......
) //

dan masih banyak lagi (yang penulis lupa syair dan nadanya).



Prosesi imtihan dimulai dengan Pawai Taaruf (karnaval) pada siang hari. Para siswa dan siswi Madrasah Diniyah peserta pawai mengenakan seragam SD (karena madrasah tidak memiliki pakaian seragam) putih-merah atau putih-putih. Mereka baris entres per-kelas di halaman madrasah, dengan masing-masing memegang klebet (bendera) 'merah-putih' dari bahan kertas wajik. Setelah persiapan sudah matang, barisan pawai berjalan berbanjar menyusuri jalan-jalan utama kampung hingga membentuk iring-iringan panjang. Dengan penuh keriangan mereka melambai-lambaikan bendera di tangan, menyapa setiap orang yang ramai menanti di tepian jalan, sambil tak bosan mulutnya mendendangkan Shalawatan.

Shalatullah, Salamullah
'Alaa Thaaha Rasulillah

Shalatullah, Salamullah
'Alaa Yasiin Habibillah
... dst.

Perjalanan berakhir setelah semua rute (Gedongan-Bangbango-Rakit) dilalui, dan peserta pawai kembali berkumpul di halaman madrasah untuk pembagian berkat sega buntel yang sudah disiapkan oleh panitia dari warga.

bersambung ......

(ASF)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar